Tugas Ulumul
Hadits
Dosen
: Dr.H.Tasmin Tangareng, M.Ag
MUKHTALAFUL
HADITS

Disusun Oleh :
Sandi
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
PUT UNISMUH MAKASSAR
TAHUN 2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirar Allah swt. Yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga kita dapat menikmati limpahan rahmatnya yang
begitu banyak. Dan tak lupa juga kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw yang
telah membawa suatu peradaban ilmu yang sangat spektakuler yang sampai saat ini
masih sangat terasa sekali berkat perjuangannya dalam menegakkan ajaran islam.
Alhamdulillah atas selesainya makalah yang saya buat ini
mudah-mudahan ada sedikit pencerahan dalam memahami hadits terutama pada ilmu
mukhtalaful hadits yang banyak terjadi di kalangan ulama klasik maupun yang
ulama kontemporer sehingga dengan mempelajari sedikit tentang mukhtalaful
hadits bisa membantu kitadalam memahaminya
Kritik dan saran saya perlukan kiranya dalam menyusun
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena saya juga sebagai manusia biasa
tak luput dari salah.
Makassar,
3 April 2014
Penyusun
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pada bagian terakhir ini yang akan dijelaskan tentang mukhtalaf
al-Hadis, meliputi pengertian, sebab-sebab terjadinya, baik karena ikhtilāf
al-riwāyah maupun karena perbedaan peristiwa (tanawwu’), kaidah
serta metode penyelesaiannya.
b. Permasalahan
1.
.Apa pengertian mukhtalaf al-Hadis.
2.
Apa sebab-sebab terjadinya mukhtalaf al-Hadis.
3.
Bagaimana posisi Ikhtilāf al-Riwāyah dalam Kajian Hadis
4.
.Bagaimana cara menyelesaikan hadis-hadis yang tampak
bertemtangan, baik disebabkan oleh ikhtilāf al-riwayah maupun oleh
perbedaan peristiwa (tanawwu’).
5. Apa saja faedah dari belajar ilmu Mukhtalaful
Hadits
PEMBAHASAN
Pengertian Mukhtalaf Hadits
Menurut
bahasa Mukhtaliful Hadits adalah yang bertentangan atau yang berselisih.
Mukhtaliful Hadits adalahhadits yang disamapaikan kepada kita, namun saling
bertentangan maknanya satu sama lain. Menurut istilah Mukhtaliful
Hadits adalah hadits yang diterima namun pada zhahirnyakelihatan
bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi
memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Para Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu Mukhtalaful Hadits
ini sejak masa sahabat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum,
memadukan hadadits yang tamapaknya bertentangan, menjelaskan maksudnya lalu
membuat kesimpulan. Ulama-ulama pada masa berikutnya mengikuti langkah-langkah
para sahabat sehingga umat terhindar dari keresahan yang ditebarkan oleh
sebagian kelompok. Pertama kaliyang menulis ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah
al-Syafi’i (w.204 H) dengan karyanya Ikhtilaaf Al-Hadits, Ibn Qutaybah (w. 276
H) dengan karyanya Ta’wil Mukhtaliful al-Hadits, al-Thahawi dengan karyanya
Musykil Al-Atsar, dan lain-lain.
Sebab-Sebab Terjadinya Mukhtalaful Hadts
1.
Penyebaran ikhtilāf al-riwāyah dalam kitab
hadis
Keragaman
redaksi yang digunakan dalam riwayat tidak hanya terjadi pada hadis yang memang
sangat memungkinkan untuk mempunyai redaksi yang beragam, seperti hadis-hadis
yang berbentuk perbuatan Nabi saw. (fi’liyyah), hadis yang mempunyai
redaksi yang panjang, hadis yangmempunyai banyak jalur ataupun hadis yang
kandungannya berkaitan dengan masalah-masalah keduniawian. Lebih dari itu,
perbedaan redaksi periwayatan juga terjadi pada hadis-hadis yang sebenarnya
sangat memungkinkan untuk mempunyai redaksi yang seragam, seperti hadis-hadis
yang termasuk dalam kategori mutawatirlafzī, hadis‘azīz, hadis yang bersifat ta’abbudī
seperti lafaz do’a dan zikir serta hadis yang kandungannya berupa jawāmi’
al-kalim.
2.
Faktor
penyebab terjadinya ikhtilāf
al-riwāyah
Adapun Faktor penyebab munculnya ikhtilāf al-riwāyah adalah:
a.
perbedaan
kasus atau peristiwa;
b.
periwayatan
hadis secara makna;
c.
meringkas
redaksi hadis;
d.
ketidaktelitian
periwayat; dan
e.
pemalsuan
hadis.
Posisi Ikhtilāf al-Riwāyah dalam Kajian
Hadis
Selain
istilah ikhtilāf al-riwāyah, terdapat beberapa istilah lain yang
memiliki kedekatan makna dengannya, yaitu mukhtalif al-Hadis, musykil al-Hadis,
ta’ārudh al-Hadisdanziyādat ‘ala al-na¡. Oleh karena itu, perbedaan
antara ikhtilāf al-riwāyah dengan beberapa istilah tersebut perlu
dikemukakan.
Istilah
mukhtalif al-hadīs lebih sering dijumpai dalam kitab-kitab ilmu hadis
dibandingkan dengan istilah ikhtilāf al-riwāyah. Keberadaannya sebagai
satu cabang ilmu dalam disiplin ilmu hadis telah mapan, oleh karena ia telah
banyak diuraikan dalam berbagai kitab-kitab ilmu hadis, baik dari aspek
ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya. Istilah mukhtalif al-hadīs berkaitan
dengan kandungan matan hadis yang kelihatan bertentangan. Menurut M. Syuhudi
Ismail, para ulama tidak sependapat dalam menyebut kandungan matan hadis yang
tampak bertentangan. Sebagian ulama menyebutnya dengan istilah mukhtalif al-Hadis,
sebagian lagi menyebutnya dengan istilah mukhālafat al-Hadisdan pada
umumnya ulama menyebutnya dengan al-ta’ārudh.
Menurut
penulis, terdapat perbedaan antara mukhtalif al-Hadisdengan mukhālafat
al-Hadīs. Istilah mukhtalif al-Hadisberkaitan dengan kandungan matan
yang tidak sejalan atau kelihatan bertentangan, sedangkan mukhālafat al-Hadīs
tidak hanya berkaitan dengan matan
secara khusus, tetapi juga berkaitan dengan sanad. Perbedaan lainnya di antara
kedua istilah tersebut adalah istilah mukhtalif al-Hadisditujukan kepada
hadis-hadis yang termasuk dalam kategori maqbul yang pada kandungannya
ditemukan perbedaan dengan hadis lain ataupun dengan al-Qur’an dan akal, namun
perbedaan tersebut masih dapat dikompromikan, sedangkan mukhālafah
merupakan salah satu sebab yang menjadikan satu hadis menjadi mardud .
Adapun
perbedaan antara al-ta’ārudh dengan mukhtalif al-Hadis adalah
istilah al-ta’ārudhlebih memberikan penekanan kepada pertentangan yang
secara lahiriah ditemukan pada dua atau beberapa hadis, sedangkan istilah mukhtalif
al-Hadislebih menunjukkan kepada hadisnya itu sendiri yang kandungannya terkesan
bertentangan, namun sebenarnya dapat dikompromikan.Dalam hal ini, para ulama
hadis lebih banyak menggunakan istilah mukhtalif al-Hadis, sedangkan
para ahli ushul lebih banyak menggunakan istilah al-ta’ārudh.
Sebagian
ulama memandang bahwa istilah mukhtalif al-Hadis semakna dengan istilah muyskil
al-Hadisdan ta’ārudh al-Hadis.Menurut Nāfiz Husain Muhammad musykil
al-Haditsdalam pandangan para ahli hadis adalah hadis-hadis yang
diriwayatkan dari Rasulullah saw. dengan sanad yang maqbul atau sahih,
tetapi dalam matannya terdapat sesuatu yang tidak diketahui maksudnya.
Menurut
penulis, perbedaan paling pokok di antara mukhtalif al-hadīs yang telah
dikenal secara luas dalam disiplin ilmu hadisdengan ikhtilāf al-riwāyah yang
terletak pada aspek kajiannya.Kalau mukhtalif al-hadīs, fokus kajiannya
adalah pada aspek substansial hadis, sedangkan ikhtilāf al-riwāyah,
kajiannya lebih dititik beratkan kepada aspek redaksionalnya.Memang keberadaan ikhtilāf
al-riwāyah pada hadis-hadis tertentu dapat menjadikan hadis-hadis tersebut
menimbulkan perbedaan substansial, sehingga dapat tergolong ke dalam mukhtalif
al-hadīs.Meskipun demikian, tidak semua ikhtilāf al-riwāyah melahirkan
mukhtalif al-hadīs. Di sisi lain, keberadaan mukhtalif al-hadīs,
tidak hanya disebabkan oleh adanya ikhtilāf al-riwāyah.
3.
Implikasi ikhtilāf al-riwāyahterhadap Kualitas dan Pemahaman Hadis
a.
Bentuk-bentuk
ikhtilāf al-riwāyah dan pengaruhnya terhadap kualitas hadis.
Berikut
ini akan dikemukakan bentuk-bentuk ikhtilāf al-riwāyah dan pengaruh yang
ditimbulkan terhadap kualitas hadis:
1)
Keragaman
dari Segi Keutuhan Redaksi
Ada
dua istilah pokok yang sering digunakan oleh para ulama hadis untuk menunjukkan
adanya perbedaan redaksional yang terjadi pada dua atau beberapa hadis yang berkaitan
dengan aspek keutuhan redaksinya.Kedua istilah tersebut adalah ziyādat al-tsiqah
dan idrāj. Berikut ini penjelasan tentang kedua istilah pokok
tersebut:
1)
Ziyādat
al-tsiqah
Ziyādah
yang terjadi pada matan diketahui dengan cara mengumpulkan beberapa
jalur sanad dan pokok-pokok bahasan hadis (al-Turuq wa al-abwāb).
Menurut al-Hakim tidak banyak ulama yang menekuni tentang ziyādah. Di
antara yang sedikit tersebut adalah Abu Bakar ‘Abdullāh ibn Muhammad ibn
Ziyād al-Naisāburī seorang ahli fikih yang tinggal di Bagdād dan Abu
Nu‘aim ‘Abd al-Mālik ibn Muhammad ibn ‘Adī al-Jurjānī di Khurasan.Selain
mereka berdua adalah Abu al-Walīd Hassān ibn Muhammad al-Qurasyī.
Adapun
menurut Ibn Hibbān, ulama yang banyak memberikan perhatian terhadap al-sunan
dan mengetahui tentang hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan lafalnya dan
ziyādah yang terdapat di dalamnya adalah Muhammad ibn Ishāq ibn
Khuzaimah.Sementara itu, menurut Ibn Rajab al-Hanbalī ulama yang paling banyak
memberikan perhatian terhadap ziyādah pada matan dan lafal hadis adalah
Abu Dāwud dalam kitab al-Sunan.
Meskipun
keberadaan ziyādat al-iqah telah banyak dikemukakan pada berbagai kitab
Mustalah Hadis, namun ulama hadis sangat beragam dalam memberikan
pengertian dan penjelasan tentang ziyādat al-tsiqah.
Perbedaan
pandangan di kalangan ulama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a)
Jumlah
periwayat yang mencantumkan ziyādah; sebagian ulama menetapkan satu
orang periwayat, sementara periwayat lainnya tidak membatasi pada satu periwayat
saja.
b)
Kategori
periwayat yang mengemukakan ziyādah; sebagian ulama membatasi bahwa yang
disebut dengan ziyādah adalah tambahan yang berasal dari periwayat yang
adil atau periwayat yang tsiqah, sementara ulamalainnya tidak menetapkan
syarat tertentu.
c)
Kandungan
ziyādah; sebagian ulama menetapkan bahwa kandungan lafal atau kalimat
yang dianggap sebagai ziyādah adalah yang berkaitan dengan persoalan
fikih (alfāz fiqhiyyah), sedangkan ulama lainnya tidak membatasi pada
satu persoalan tertentu saja.
d)
Letak
ziyādah; sebagian ulama menetapkan bahwa yang termasuk dalam kategori ziyādah
adalah tambahan yang berasal dari tabi’in dan setelahnya, sedangkan ulama
lainnya tidak membatasi letaknya.
Untuk
kepentingan penyelesaian ikhtilāf al-riwāyah, keempat faktor di atas
bukanlah merupakan hal yang esensial, karena yang menjadi tujuan utama adalah
menentukan kedudukan tambahan lafal atau kalimat yang terdapat di dalam suatu
riwayat hadis dan tidak terdapat pada riwayat lainnya.
Dengan
demikian, baik tambahan tersebut berasal dari satu orang periwayat atau bukan,
berasal dari sahabat atau dari tabi’in dan seterusnya ke bawah, berasal
dari periwayat yang diklaim adil, tsiqah atau tidak, kandungan tambahan
lafal atau kalimat tersebut berkaitan dengan masalah fikih atau masalah
lainnya, semuanya itu bukan merupakan persoalan pokok, namun yang menjadi
persoalan pokok adalah menentukan keakuratan tambahan lafal atau kalimat
tersebut sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi saw.
2)
Idrāj
Hadis
yang di dalamnya terdapat idrāj dinamakan dengan hadis mudraj.Nur
al-dīn ‘Itr mendefinisikan hadis mudraj sebagai hadis yang di dalamnya
terdapat ucapan sebagian periwayat, baik sahabat atau periwayat di bawahnya
yang terangkai dengan hadis, tanpa ada pemisah antara hadis dengan ucapan
tersebut; dalam arti tanpa menyebutkan siapa pengucapnya.
Kedua
istilah di atas, yaitu ziyādat al-tsiqah dan idrāj mempunyai
kemiripan. Syuhudi Ismail membedakan antara keduanya dengan mengatakan bahwa idrāj
berasal dari diri periwayat, sedangkan ziyādah merupakan bagian tak
terpisahkan dari hadis Nabi saw.
Menurut
penulis, ziyādat al-tsiqah dan idrāj yang terdapat pada matan
adalah lafal atau redaksi pada hadis yang dipertanyakan keotentikannya berasal
dari Nabi saw. Perbedaannya terletak pada tingkat kepastian bahwa lafal atau
redaksi tersebut tidak bersumber dari Nabi saw.
Apabila
dipastikan atau hampir dipastikan bahwa lafal atau redaksi tersebut tidak
berasal dari Nabi saw., maka dinamakan dengan idrāj. Penilaian ini
didasarkan kepada beberapa indikator seperti perbandingan dengan riwayat lain,
pernyataan dari salah seorang periwayat bahwa ia telah menyisipkan redaksi
tersebut ke dalam hadis atau dari segi substansi hadis yang menunjukkan
kemustahilan berasal dari Nabi saw.
Adapun
jika lafal atau redaksi tersebut tidak dapat dipastikan sebagai pernyataan yang
tidak berasal dari Nabi saw., bahkan sebaliknya mengandung kemungkinan sebagai
bagian dari hadis Nabi saw., maka dinamakan dengan ziyādah.Penilaian ini
didasarkan kepada kualitas periwayat yang mencantumkan lafal atau redaksi
tambahan tersebut termasuk dalam kategori periwayat yang berkualifikasi tsiqah.Itulah
sebabnya tambahan semacam ini dinamakan dengan ziyādat al-tsiqah.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa hadis yang di dalamnya terdapat ziyādah hanya
diketahui dengan membandingkan antara hadis tersebut dengan hadis lainnya,
sementara hadis yang di dalamnya terdapat idrāj tidak mensyaratkan
adanya hadis lain sebagai pembanding atasnya.
Dari
segi kualitas, kalau hadis yang termasuk dalam kategori ziyādat al-tsiqah
masih diperselisihkan keotentikannya oleh para ulama, tidak demikian halnya
dengan hadis yang di dalamnya terdapat idrāj.Hadis mudraj disepakati
oleh para ulama sebagai hadis dha‘īf.
2)
Keragaman
dari segi susunan redaksi
Beberapa
hadis Nabi saw. berisi rincian dari hal-hal tertentu. Susunan dari
rincian-rincian tersebut terkadang berbeda antara satu riwayat dengan riwayat
lainnya.
Misalnya hadis yang menjelaskan tentang tujuh kelompok
manusia yang dinaungi oleh Allah swt. pada hari kiamat riwayat al-Bukhārī,
Muslim dan al-Turmuzī sebagai berikut:
-
Riwayat al-Bukhārī, pemimpin yang adil, anak muda yang
tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah, seseorang yang mengingat Allah
dalam kesunyian lalu meneteslah air matanya, seseorang yang hatinya terikat
dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seseorang yang
diajak oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan sosial dan kecantikan
(untuk berzina) lalu ia mengatakan saya takut kepada Allah, seseorang yang
bersedekah lalu ia sembunyikan sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang dilakukan oleh tangan kanannya.
-
Riwayat Muslim, Pemimpin yang adil, anak muda yang tumbuh
dalam keadaan beribadah kepada Allah, dua orang yang saling mencintai karena Allah
bertemu dan berpisah atas dasar (kecintaan) itu seseorang yang diajak oleh
seorang perempuan yang mempunyai kedudukan sosial dan kecantikan (untuk
berzina) lalu ia mengatakan saya takut kepada Allah, seseorang yang hatinya
terikat dengan masjid, seseorang yang bersedekah lalu ia sembunyikan
sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan
kanannya, seseorang yang mengingat Allah dalam kesunyian lalu meneteslah air
matanya.
-
Riwayat al-Turmuzī, pemimpin yang adil anak muda yang
tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah seseorang yang hatinya terikat
dengan masjid apabila ia keluar darinya sampai ia kembali lagi dua orang yang
saling mencintai karena Allah bertemu dan berpisah atas dasar (kecintaan) itu,
seseorang yang mengingat Allah dalam kesunyian lalu meneteslah air matanya,
seseorang yang diajak oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan sosial
dan kecantikan (untuk berzina) lalu ia mengatakan saya takut kepada Allah,
seseorang yang bersedekah lalu ia sembunyikan sampai-sampai tangan kirinya
tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya.
Dari ketiga versi riwayat di atas, ditemukan perbedaan
susunan tujuh kelompok manusia antara satu versi dengan versi lainnya.Persamaan
pada ketiga riwayat tersebut hanya ditemukan pada urutan pertama dan kedua pada
ketiga versi riwayat dan pada urutan keenam dan ketujuh pada versi riwayat
al-Bukhārī dan Muslim.Adapun pada urutan lainnya semuanya mengalami
perbedaan.Dalam hal ini, ada penyebutan kelompok yang didahulukan dan ada yang
disebutkan kemudian.
3)
Keragaman
yang bersifat kontradiktif
Keragaman
yang terjadi pada hadis Nabi saw. terkadang ada yang bersifat kontradiktif,
dalam arti satu hadis menetapkan sesuatu hal, sedangkan hadis lainnya justru
meniadakannya. Misalnya saja hadis tentang hak yang terdapat pada harta seperti
berikut ini:
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُعَبْدِالرَّحْمَنِأَخْبَرَنَامُحَمَّدُبْنُالطُّفَيْلِعَنْشَرِيكٍعَنْأَبِيحَمْزَةَعَنْعَامِرٍالشَّعْبِيِّعَنْفَاطِمَةَبِنْتِقَيْسٍعَنْالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَإِنَّفِيالْمَالِحَقًّاسِوَىالزَّكَاة
Artinya:
‘Abdullāh
ibn ‘Abdurrahmān menyampaikan kepada kami, Muhammad ibn al-Tufayl dari Syarīk
dari Abī Hamzah dari ‘Amir al-Sya’bī dari Fatimah ibnti Qays dari Nabi saw. ia
bersabda: “Sesungguhnya di dalam harta terdapat (hak yang lain) selain zakat”.
حَدَّثَنَاعَلِيُّبْنُمُحَمَّدٍحَدَّثَنَايَحْيَىبْنُآدَمَعَنْشَرِيكٍعَنْأَبِيحَمْزَةَعَنْالشَّعْبِيِّعَنْفَاطِمَةَبِنْتِقَيْسٍأَنْهَاسَمِعَتْهُتَعْنِيالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَقُولُلَيْسَفِيالْمَالِحَقٌّسِوَىالزَّكَاةِ
Artinya:
‘Alī
ibn Muhammad menyampaikan kepada kami, Yahya ibn Adam menyampaikan kepada kami,
dari Syarīk dari Abī Hamzah dari ‘Amir al-Sya’bī dari Fatimah ibnti Qays bahwa
ia mendengarnya, yaitu Nabi saw. bersabda: “Tidak ada di dalam harta (hak yang
lain) selain zakat”.
Kedua
riwayat di atas, dari segi sanad mempunyai jalur yang sama mulai dari Syarīk
yang menyandarkan hadis kepada Abī Hamzah yang menyandarkan hadis kepada ‘²Amir
al-Sya‘bī yang menyandarkan hadis kepada Fā¯imah binti Qais.
Meskipun
demikian, dari segi matan keduanya mempunyai perbedaan, bahkan pertentangan.
Pada hadis yang pertama ditegaskan adanya hak yang lain pada harta benda yang
dimiliki oleh seseorang, selain hak yang berupa kewajiban bagi pemilik harta
tersebut untuk mengeluarkan
zakatnya. Adapun pada hadis yang kedua, sebaliknya memberikan
penegasan bahwa tidak ada lagi hak yang lain pada harta benda yang dimiliki,
selain zakat.
4)
Keragaman
dari segi bentuk matan
Berdasarkan
bentuknya, hadis ada yang berupa ucapan, perbuatan, pengakuan dan sifat Nabi
saw. baik fisik maupun psikis. Ucapan, perbuatan dan pengakuan itu sendiri, ada
yang bersifat eksplisit (¡arīH) dan ada yang bersifat implisit (Hukmī).
Keragaman
periwayatan hadis dapat pula terjadi dari segi bentuknya, seperti contoh
berikut ini:
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُيَزِيدَحَدَّثَنَاسَعِيدُبْنُأَبِيأَيُّوبَقَالَحَدَّثَنِيأَبُوالْأَسْوَدِعَنْعُرْوَةَبْنِالزُّبَيْرِعَنْعَائِشَةَرَضِيَاللَّهُعَنْهَاقَالَتْكَانَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِذَاصَلَّىرَكْعَتَيْالْفَجْرِاضْطَجَعَعَلَىشِقِّهِالْأَيْمَنِ
Artinya:
‘Abdullāh ibn Yazīd menyampaikan kepada kami, Sa‘īd ibn Abī Ayyub
berkata, Abu al-Aswad menyampaikan kepada saya dari ‘Urwah ibn Zubair dari
‘Aisyah ra., ia berkata: “Nabi saw. apabila telah melaksanakan dua raka’at
fajar beliau berbaring di atas lambung kanannya.”
حَدَّثَنَابِشْرُبْنُمُعَاذٍالْعَقَدِيُّحَدَّثَنَاعَبْدُالْوَاحِدِبْنُزِيَادٍحَدَّثَنَاالْأَعْمَشُعَنْأَبِيصَالِحٍعَنْأَبِيهُرَيْرَةَقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِذَاصَلَّىأَحَدُكُمْرَكْعَتَيْالْفَجْرِفَلْيَضْطَجِعْعَلَىيَمِينِهِقَالَوَفِيالْبَابعَنْعَائِشَةَقَالَأَبُوعِيسَىحَدِيثُأَبِيهُرَيْرَةَحَدِيثٌحَسَنٌصَحِيحٌغَرِيبٌمِنْهَذَاالْوَجْهِوَقَدْرُوِيَعَنْعَائِشَةَأَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَكَانَإِذَاصَلَّىرَكْعَتَيْالْفَجْرِفِيبَيْتِهِاضْطَجَعَعَلَىيَمِينِهِوَقَدْرَأَىبَعْضُأَهْلِالْعِلْمِأَنْيُفْعَلَهَذَااسْتِحْبَابًا
Artinya:
Bisyr ibn Mu‘āz al-‘Aqadī menyampaikan kepada kami, ‘Abd al-Wāhid
ibn Ziyād menyampaikan kepada kami, al-A‘masy menyampaikan kepada kami dari Abi
Sālih dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah
seorang di antara kalian telah melaksanakan dua raka’at fajar, maka hendaklah
ia berbaring ke sebelah kanannya.”
Dari
segi bentuk matan, kedua hadis di atas mempunyai perbedaan. Hadis yang
disandarkan kepada ‘Aisyah mempunyai matan yang berbentuk fi‘lī,
yaituberupa perbuatan Nabi saw., sedangkan hadis yang disandarkan kepada Ab
Hurairah mempunyai matan yang berbentuk qaulī, yaituberupa ucapan Nabi
saw.
5)
Keragaman
pada unsur kebahasaan
Keragaman
yang terjadi pada matan hadis juga ada yang berkaitan dengan unsur-unsur
kebahasaan seperti fonologi, morfologi dan sintaksis
b.
Implikasi
ikhtilāf al-riwāyah terhadap pemahaman hadis
a.
Perbedaan
penetapan status hukum
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca surah al-Fatihah dalam
shalat.Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu. Dengan
demikian, shalat seseorang tidak sah apabila ia tidak membacanya. Di sisi lain,
Abu Hanifah hanya memfardhukan pembacaan al-Qur’an secara umum tanpa menetapkan
pembacaan surah al-Fatihah secara khusus.
Perbedaan
pandangan ulama ini, di antaranya disebabkan keragaman riwayat hadis. Terdapat
satu hadis yang dikenal dengan sebutan hadis al-Musi’ fi al-Shalah (orang
yang keliru dalam pelaksanaan shalat) yang menjelaskan tentang tuntunan
Nabi saw. tentang tata cara pelaksanaan shalat.
Selain
itu, para ulama berbeda pendapat tentang hukum melaksanakan shalat jenazah di
masjid.Sekelompok ulama, seperti Syafi’ī berpendapat bahwa dibolehkan
melaksanakan shalat jenazah di masjid tanpa ada kemakruhan di dalamnya,
sedangkan Abu Hanīfah berpendapat bahwa hukumnya makruh.
Perbedaan
pendapat tersebut, di antaranya disebabkan adanya perbedaan riwayat dalam
masalah ini.
b.
Perbedaan
dalam menguatkan pilihan ibadah
Para
ulama berbeda pendapat tentang pembacaan basmalah dalam shalat.Sebagian
ulama berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca, sebagian lainnya
berpendapat dibaca secara jahr pada shalat jahriyyah, sebagian
lainnya berpendapat dibaca secara pelan pada semua jenis shalat, baik shalat sirriyyah
dan jahriyyah.
Salah
satu faktor penyebab timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah
terjadinya ikhtilāf al-riwāyah.
c.
Perbedaan
tata cara pelaksanaan ibadah
Ketika
ada seseorang yang ketinggalan raka’at dalam shalat berjama’ah dan hanya
mendapati raka’at tertentu bersama dengan imam, maka ia diwajibkan untuk
menyempurnakan kekurangan raka’atnya tersebut.
Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai cara yang harus dilakukan untuk
menyempurnakannya. Menurut Ab Hanīfah, yang harus dilakukan adalah qadhā’ yaitu
menjadikan raka’at yang didapatinya bersama dengan imam sebagai raka’at yang
terakhir baginya dan raka’at yang tidak didapatinya sebagai raka’at yang
pertama baginya.
Bertolak
belakang dengan itu, Syāfi’ī berpendapat bahwa yang harus dilakukan adalah bina’
yaitu menjadikan raka’at yang didapatinya bersama dengan imam sebagai
raka’at pertama baginya dan raka’at yang tidak didapatinya sebagai raka’at yang
terakhir baginya.
Adapun
Mālik mengambil sikap pertengahan.Menurut pendapatnya, yang harus dilakukan
adalah qadhā’ dari segi ucapan dan binā’ dari segi perbuatan.
d.
Perbedaan
metode penetapan waktu ibadah
Dalam
menentukan awal dan akhir puasa, para ulama berbeda pendapat dari segi
metodenya.Sebagian ulama mendasarkan kepada penglihatan hilal (ru’yah),
sebagian lainnya mendasarkan kepada perhitungan astronomi (hisāb).
Dari
beberapa contoh yang dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas bahwa ikhtilāf
al-riwāyah memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap terjadinya
perbedaan pendapat para ulama, meskipun ikhtilāf al-riwāyah, tentunya
bukan faktor satu-satunya yang menjadi penyebab munculnya perbedaan.
Selain
itu, juga terlihat bahwa di antara ulama ada yang memperlakukan riwayat-riwayat
yang beragam tersebut sebagai riwayat yang masing-masing berdiri sendiri,
padahal jika ditinjau dari segi sanad, terlihat bahwa riwayat-riwayat tersebut
adalah satu kasus, tetapi kemudian mengalami keragaman karena faktor
periwayatan.
Berdasarkan
hal tersebut, penulis berpandangan bahwa seharusnya keragaman periwayatan yang
terdapat di dalam hadis-hadis tersebut diselesaikan terlebih dahulu sebelum
menjadikannya sebagai dalil dalam berbagai persoalan agama.
Penyelesaian Hadits Yang Bertentangan
Ulama
hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang tampak bertentangan harus “diselesaikan”,
sehingga hilanglah pertentangan itu, tetapi mereka berbeda pendapat dalam
melakukan penyelesaian.Ibn Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan-matan hadis
yang bertentangan, masing-masing hadis harus diamalkan. Untuk itu, ia
menekankan perlunya penggunaan metode istisna(pengecualian atau exception)
dalam penyelesaian itu Syihab al-Din al-Qarafi (w. 684 H) menempuh cara al-tarjih
(penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argumen yang terkuat).
Dengan caraal-tarjih itu, mungkin penyelesaian yang dihasilkan berupa
penerapan al-nasikh wa al-mansukh(yakni hadis yang satu menghapuskan
petunjuk hadis yang lainnya) ataupun al-jam’u (yakni mengkompromikan,
hadis-hadis yang tampak bertentangan itu sama-sama diamalkan dengan melihat
seginya masing-masing
Berbeda dengan kedua ulama di atas, al-Syafi‘i (w. 204
H/820 M) memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadis yang tampak
bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (mujmal)
dan yang satunya bersifat rinci (mufassar); mungkin yang satu bersifat
umum (‘amm) dan yang lainnya bersifat khusus (khas}s}); mungkin
yang satu sebagai penghapus (al-nasikh) dan yang lainnya sebagai yang
dihapus; atau mungkin kedua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan
Dalam
menyelesaikan matan-matan hadis yang tampak bertentangan, al-Syafi‘i menempuh
caraal-jam’u kemudian al-nasikh wa al-mansukh. Sementara
al-Tahawani menempuh cara al-nasikh wa al-mansukh, kemudianal-tarjih
Salah al-Din Ahmad al-Adlabi menempuh cara al-jam’u, kemudian al-tarjih.Ibn
al-Shalah (w. 643
H.), Fasih al-Harawi (w. 837 H), dan lain-lain menempuh cara (1) al-jam’u; (2)
al-nasikh wa al-mansukh; dan (3) al-tarjihMuhammad Adib Shalih menempuh cara (1) al-jam’u; (2) al-tarjih; kemudian
(3) al-nasikh wa al-mansukhIbn Hajar al-‘Asqalani dan lain-lain menempuh
empat tahap, yakni (1) al-jam’u; (2) al-nasikh wa al-mansukh; (3)
al-tarjih; dan (4) al-tauqif(menunggu sampai ada petunjuk atau dalil
lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya
Dari berbagai metode penyelesaian yang cenderung ditempuh
oleh kalangan ulama dengan melihat kemungkinan masalah yang harus diselesaikan,
kata Syuhudi, tampaknya tahap-tahap penyelesaian yang dikemukakan oleh Ibn
hajar al-‘Asqalani lebih akomodatif. Dinyatakan
demikian karena dalam praktek penelitian matan, keempat tahap atau cara itu
memang lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan.
Dengan menempuh caraal-tauqif, setelah tidak dapat menyelesaikan dengan
tiga cara sebelumnya (al-jam’u, al-nasikh wa al-mansukh, dan al-tarjih)
pada penelitian hadis tertentu, peneliti akan dapat terhindar dari pengambilan
keputusan yang salah.
Mencermati pernyataan Syuhudi di atas dengan
membandingkan metode pemahaman hadis Nabi yang diajukannya, maka dapat
dinyatakan bahwa pernyataan itu menunjukkan sikap kehati-hatian semata. Sesungguhnya
metode Ibn Hazm yang mengatakan bahwa satu-sataunya cara yang dianggap sah
dalam menyelesaikan matan-matan hadis yang tampak bertentangan adalah cara al-jam’u,
justeru merupakan cara yang lebih akomodatif dan proporsional. Dinyatakan demikian karena jika hadis yang dimaksud dipahami dengan
mempertimbangkan bentuk dan cakupan petunjuk hadis bersangkutan; fungsi Nabi
tatkala hadis dinyatakan; dan peristiwa yang melatarbelakangi hadis tersebut,
maka mungkin hadis yang satu bersifat universal dan yang lain bersifat temporal
atau lokal, dan mungkin kedua-duanya bersifat temporal atau lokal.
Jika
pengertian al-nasikhwaal-mansukh (al-naskh) dimaksudkan adalah
pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang
berbeda. Maka, penggunakan pengertian nasakh seperti itu, sesungguhnya
tidak lain adalah salah satu bentuk penggunaan metode al-jam’u,
sebagaimana dimaksud di atas. Sebab, hadis yang tidak berlaku lagi bagi
masyarakat tertentu, tetap dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya
sama dengan kondisi mereka semula.
Metode
al-tarjihjuga tidak digunakan.Sebab, jika ternyata suatu hadis yang
tampak bertentangan diselesaikan dengan metode al-tarjih, memilih salah
satu di antaranya yang lebih kuat, maka itu berarti bahwa salah satu dari dua
hadis itu tidak memenuhi kriteria Kesahihan hadis, yakni mengandung syudzudz.
Adapun
metode al-tauqif, sesungguhnya dapat saja diterapkan jika upaya metode al-jam’u
(kompromi) mendapat kebuntuan atau belum menemukan kompromi.Akan tetapi,
penggunaan metode al-tauqif tersebut seyogyanya bersifat sementara,
untuk kondisi tertentu.Sementara upaya untuk mengadakan kompromi senantiasa
berlanjut.
Mencermati berbagai pandangan di atas, penulis
berpendapat bahwa kaidah penyelesaian mukhtalaf al-hadis dapat dibedakan
antara mukhtalaf yang disebabkan oleh perbedaan periwayatan (ikhtilaf
alriwayat) dengan yang disebabkan oleh perbedaan peristiwa (tanawwu’).
Jika terjadi mukhtalaf karena
perbedaan periwayatan, maka seharusnya menggunakan metode tarjih dalam
pengertian menempatkan atau mengembalikan redaksi hadis pada asalnya, yakni
jika ucapan Nabi, maka seharusnya diupayakan akan memilih redaksi yang “diduga
kuat” berasal dari Nabi saw. Dan, jika selain sabda, maka juga akan
dikembalikan pada redaksi awal, sekalipun terdapat perbedaan. Sedangkan, jika
terjadi mukhtalaf karena perbedaan persitiwa, maka seharusnya
menggunakan metode al-jam’u (kompromi) dalam menyelesaikannya. Sebab,
perbedaan peristiwa menunjukkan berbilangnya peristiwa dan sekaligus
menunjukkan elastisitas ajaran Islam.
Adapun
konstruksi teori penyelesaian ikhtilāf al-riwāyah
terdiri dari;
a)
Mengklasifikasi hadis berdasarkan periwayat
tertinggi (al-rāwi al-a‘lā);
b)
Mengklasifikasi hadis dari setiap al-rāwi al-a‘lāberdasarkan periwayat yang menyandarkan hadis
kepadanya dan common link-nya;
c)
Membandingkan seluruh riwayat dari setiap al-rāwi al-a‘lā untuk menentukan riwayat yang paling akurat
bagi setiap al-rāwi al-a‘lā;
d)
Membandingkan riwayat yang akurat dari tiap-tiap al-rāwi al-a‘lā untuk menentukan riwayat yang paling akurat
yang bisa disandarkan kepada Nabi saw.
Teori
penyelesaian tersebut terintegrasi dalam metode penelitian hadis yang tahapan pelaksanaannya terdiri dari langkah-langkah berikut:
a)
Menentukan hadis yang akan diteliti;
b)
Mengumpulkan sebanyak mungkin varian dari matan hadis
yang dilengkapi dengan isnad melalui takhrīj al-Hadis
c)
Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam
satu bundel isnad;
d)
Meneliti kualitas sanad dengan melihat persambungan dan
kualitas periwayat
e)
Mengidentifikasi sanad dan matan hadis untuk menentukan
hadis yang termasuk dalam kategori ikhtilāf al-riwāyah;
f)
Menganalisis matan-matan hadis yang termasuk dalam
kelompok periwayatan yang sama; dan
g)
Menyimpulkan hasil penelitian.
Faedah Belajar Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu ini membantu mempermudah dalam mengambil istimbat
hukum dari hadits-hadits yang tamapak berlawanan. Hal ini tidak mudah
memerlukan pemahaman yang mendalam tentang teori-teori ‘am , khas, muthlaq,
muqayyad serta hal-hal lain yang terkait dengannya. Ilmu ini dapat
menghilangkan keraguan yang di timbulkan oleh kelompok yang menyangsikan
penggunaan hadits sebagai sumber hukum, karena di antara hadits-hadits tersebut
terdapat pertentangan.
Rangkuman
1. Sebab-sebab terjadinya mukhtalaf al-Hadis pada
prinsipnya dapat dibagi kepada dua, yaitu: a) karena perbedaan periwayatan (ikhtilaf
al-riwayah) dan b) karena terjadinya perbedaan peristiwa hadis (tanawwu’).
2. Metode penyelesaian mukhtalaf riwayah dapat
dibedakan antara mukhtalaf yang disebabkan oleh perbedaan periwayatan (ikhtilaf
alriwayat) dengan yang disebabkan oleh perbedaan peristiwa (tanawwu’).
Jika terjadi mukhtalaf karena
perbedaan periwayatan, maka seharusnya menggunakan metode tarjih dalam
pegertian menempatkan atau mengembalikan redaksi hadis pada asalnya, yakni jika
ucapan Nabi, maka seharusnya diupayakan akan memilih redaksi yang “diduga kuat”
berasal dari Nabi sw. Dan, jika selain sabda, maka juga akan dikembalikan pada
redaksi awal, sekalipun terdapat perbedaan. Sedangkan, jika terjadi mukhtalaf
karena perbedaan persitiwa, maka seharusnya menggunakan metode al-jam’u (kompromi)
dalam menyelesaikannya. Sebab, perbedaan peristiwa menunjukkan berbilangnya
peristiwa dan sekaligus menunjukkan elastisitas ajaran Islam.
3. Konstruksi teori penyelesaian ikhtilāf
al-riwāyah terdiri dari: a) Mengklasifikasi hadis berdasarkan periwayat
tertinggi (al-rāwi al-a‘lā); b) Mengklasifikasi hadis dari setiap al-rāwi
al-a‘lā berdasarkan periwayat yang menyandarkan hadis kepadanya dan common
link-nya; c) Membandingkan seluruh riwayat dari setiap al-rāwi al-a‘lā
untuk menentukan riwayat yang paling akurat bagi setiap al-rāwi al-a‘lā;
dan d) Membandingkan riwayat yang akurat dari tiap-tiap al-rāwi al-a‘lā
untuk menentukan riwayat yang paling akurat yang bisa disandarkan kepada Nabi
saw.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali bin Ahmad Ibn Hazm, al-Ihka>m, Juz II, h. 151-165.
Syuhudi, Metodologi Penelitian, h. 143
Syihab al-Din Abu al-‘‘Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi, Syarh}
Tanqih al-Fusul (Beirut: Dar al-Fikr, 1393 H/1973 M), h. 420-425
Abu
‘Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi‘i, Kitab Ikhtilaf al-Hadis\(Beirut:
Dar al-Fikr, 1403 H/1983), h. 598-599 (diterbitkan bersama al-‘Umm).
Safar
Ahmad Usman al-Tahawani, Qawa>id fi ‘Ulum al-H{adis\, (Beirut:
Maktabah al-Nahdiya, 1392 H/1972 M), h.288 dan seterusnya.
Al-Adlabi>, Manhaj al-Naqd, h. 273 dan seterusnya.
Syuhudi, Metodologi Penelitian, h. 143; Ibn al-S}alah, Ulum
al-H{adis\, h. 257-258 dan al-Harawi, Jawahir al-Usul, h. 40.
Adib
S’Alih, Lamahat, h. 80-81.
Syuhudi,
Metodologi Penelitian, h. 144; lebih lanjut, lihat al-‘Asqalani, Nuzhat
al-Nazr, h. 24-25.
M.
Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), h.147.
Majid Khon, Bustamin, dan Abdul Haris, Ulumul Hadits. Pusat Studi
Wanita(PSW)UIN Jakarta. 2005