Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Selasa, 28 Oktober 2014

MUKHTALAFUL HADITS



Tugas Ulumul Hadits
Dosen :   Dr.H.Tasmin Tangareng, M.Ag




MUKHTALAFUL HADITS









Disusun Oleh :
   Sandi








UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
PUT UNISMUH MAKASSAR
TAHUN 2013/2014








KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirar Allah swt. Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kita dapat menikmati limpahan rahmatnya yang begitu banyak. Dan tak lupa juga kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw yang telah membawa suatu peradaban ilmu yang sangat spektakuler yang sampai saat ini masih sangat terasa sekali berkat perjuangannya dalam menegakkan ajaran islam.

Alhamdulillah atas selesainya makalah yang saya buat ini mudah-mudahan ada sedikit pencerahan dalam memahami hadits terutama pada ilmu mukhtalaful hadits yang banyak terjadi di kalangan ulama klasik maupun yang ulama kontemporer sehingga dengan mempelajari sedikit tentang mukhtalaful hadits bisa membantu kitadalam memahaminya

Kritik dan saran saya perlukan kiranya dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena saya juga sebagai manusia biasa tak luput dari salah.



                                                                                                                                          Makassar, 3  April 2014


Penyusun



































PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang
Pada bagian terakhir ini yang akan dijelaskan tentang mukhtalaf al-Hadis, meliputi pengertian, sebab-sebab terjadinya, baik karena ikhtilāf al-riwāyah maupun karena perbedaan peristiwa (tanawwu’), kaidah serta metode penyelesaiannya.

b.      Permasalahan
1.      .Apa pengertian mukhtalaf al-Hadis.
2.      Apa sebab-sebab terjadinya mukhtalaf al-Hadis.
3.      Bagaimana posisi Ikhtilāf al-Riwāyah dalam Kajian Hadis
4.      .Bagaimana cara menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertemtangan, baik disebabkan oleh ikhtilāf al-riwayah maupun oleh perbedaan peristiwa (tanawwu’).
5.      Apa saja faedah dari belajar ilmu Mukhtalaful Hadits
PEMBAHASAN

Pengertian Mukhtalaf Hadits
      Menurut bahasa Mukhtaliful Hadits adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Mukhtaliful Hadits adalahhadits yang disamapaikan kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain. Menurut istilah Mukhtaliful Hadits adalah hadits yang diterima namun pada zhahirnyakelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Para Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu Mukhtalaful Hadits ini sejak masa sahabat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan hadadits yang tamapaknya bertentangan, menjelaskan maksudnya lalu membuat kesimpulan. Ulama-ulama pada masa berikutnya mengikuti langkah-langkah para sahabat sehingga umat terhindar dari keresahan yang ditebarkan oleh sebagian kelompok. Pertama kaliyang menulis ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah al-Syafi’i (w.204 H) dengan karyanya Ikhtilaaf Al-Hadits, Ibn Qutaybah (w. 276 H) dengan karyanya Ta’wil Mukhtaliful al-Hadits, al-Thahawi dengan karyanya Musykil Al-Atsar, dan lain-lain.
 Sebab-Sebab Terjadinya Mukhtalaful Hadts
1.      Penyebaran ikhtilāf al-riwāyah dalam kitab hadis
Keragaman redaksi yang digunakan dalam riwayat tidak hanya terjadi pada hadis yang memang sangat memungkinkan untuk mempunyai redaksi yang beragam, seperti hadis-hadis yang berbentuk perbuatan Nabi saw. (fi’liyyah), hadis yang mempunyai redaksi yang panjang, hadis yangmempunyai banyak jalur ataupun hadis yang kandungannya berkaitan dengan masalah-masalah keduniawian. Lebih dari itu, perbedaan redaksi periwayatan juga terjadi pada hadis-hadis yang sebenarnya sangat memungkinkan untuk mempunyai redaksi yang seragam, seperti hadis-hadis yang termasuk dalam kategori mutawatirlafzī,  hadis‘azīz, hadis yang bersifat ta’abbudī seperti lafaz do’a dan zikir serta hadis yang kandungannya berupa jawāmi’ al-kalim.
2.      Faktor penyebab terjadinya ikhtilāf al-riwāyah
Adapun Faktor penyebab munculnya ikhtilāf al-riwāyah adalah:
a.       perbedaan kasus atau peristiwa;
b.      periwayatan hadis secara makna;
c.       meringkas redaksi hadis;
d.      ketidaktelitian periwayat; dan
e.       pemalsuan hadis.

Posisi Ikhtilāf al-Riwāyah dalam Kajian Hadis

Selain istilah ikhtilāf al-riwāyah, terdapat beberapa istilah lain yang memiliki kedekatan makna dengannya, yaitu mukhtalif al-Hadis, musykil al-Hadis, ta’ārudh al-Hadisdanziyādat ‘ala al-na¡. Oleh karena itu, perbedaan antara ikhtilāf al-riwāyah dengan beberapa istilah tersebut perlu dikemukakan.
Istilah mukhtalif al-hadīs lebih sering dijumpai dalam kitab-kitab ilmu hadis dibandingkan dengan istilah ikhtilāf al-riwāyah. Keberadaannya sebagai satu cabang ilmu dalam disiplin ilmu hadis telah mapan, oleh karena ia telah banyak diuraikan dalam berbagai kitab-kitab ilmu hadis, baik dari aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya. Istilah mukhtalif al-hadīs berkaitan dengan kandungan matan hadis yang kelihatan bertentangan. Menurut M. Syuhudi Ismail, para ulama tidak sependapat dalam menyebut kandungan matan hadis yang tampak bertentangan. Sebagian ulama menyebutnya dengan istilah mukhtalif al-Hadis, sebagian lagi menyebutnya dengan istilah mukhālafat al-Hadisdan pada umumnya ulama menyebutnya dengan al-ta’ārudh.
Menurut penulis, terdapat perbedaan antara mukhtalif al-Hadisdengan mukhālafat al-Hadīs. Istilah mukhtalif al-Hadisberkaitan dengan kandungan matan yang tidak sejalan atau kelihatan bertentangan, sedangkan mukhālafat al-Hadīs  tidak hanya berkaitan dengan matan secara khusus, tetapi juga berkaitan dengan sanad. Perbedaan lainnya di antara kedua istilah tersebut adalah istilah mukhtalif al-Hadisditujukan kepada hadis-hadis yang termasuk dalam kategori maqbul yang pada kandungannya ditemukan perbedaan dengan hadis lain ataupun dengan al-Qur’an dan akal, namun perbedaan tersebut masih dapat dikompromikan, sedangkan mukhālafah merupakan salah satu sebab yang menjadikan satu hadis menjadi mardud .
Adapun perbedaan antara al-ta’ārudh dengan mukhtalif al-Hadis adalah istilah al-ta’ārudhlebih memberikan penekanan kepada pertentangan yang secara lahiriah ditemukan pada dua atau beberapa hadis, sedangkan istilah mukhtalif al-Hadislebih menunjukkan kepada hadisnya itu sendiri yang kandungannya terkesan bertentangan, namun sebenarnya dapat dikompromikan.Dalam hal ini, para ulama hadis lebih banyak menggunakan istilah mukhtalif al-Hadis, sedangkan para ahli ushul lebih banyak menggunakan istilah al-ta’ārudh.
Sebagian ulama memandang bahwa istilah mukhtalif al-Hadis semakna dengan istilah muyskil al-Hadisdan ta’ārudh al-Hadis.Menurut Nāfiz Husain Muhammad musykil al-Haditsdalam pandangan para ahli hadis adalah hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dengan sanad yang maqbul atau sahih, tetapi dalam matannya terdapat sesuatu yang tidak diketahui maksudnya.
Menurut penulis, perbedaan paling pokok di antara mukhtalif al-hadīs yang telah dikenal secara luas dalam disiplin ilmu hadisdengan ikhtilāf al-riwāyah yang terletak pada aspek kajiannya.Kalau mukhtalif al-hadīs, fokus kajiannya adalah pada aspek substansial hadis, sedangkan ikhtilāf al-riwāyah, kajiannya lebih dititik beratkan kepada aspek redaksionalnya.Memang keberadaan ikhtilāf al-riwāyah pada hadis-hadis tertentu dapat menjadikan hadis-hadis tersebut menimbulkan perbedaan substansial, sehingga dapat tergolong ke dalam mukhtalif al-hadīs.Meskipun demikian, tidak semua ikhtilāf al-riwāyah melahirkan mukhtalif al-hadīs. Di sisi lain, keberadaan mukhtalif al-hadīs, tidak hanya disebabkan oleh adanya ikhtilāf al-riwāyah.

3.      Implikasi ikhtilāf al-riwāyahterhadap Kualitas dan Pemahaman Hadis
a.       Bentuk-bentuk ikhtilāf al-riwāyah dan pengaruhnya terhadap kualitas hadis.
Berikut ini akan dikemukakan bentuk-bentuk ikhtilāf al-riwāyah dan pengaruh yang ditimbulkan terhadap kualitas hadis:
1)        Keragaman dari Segi Keutuhan Redaksi
Ada dua istilah pokok yang sering digunakan oleh para ulama hadis untuk menunjukkan adanya perbedaan redaksional yang terjadi pada dua atau beberapa hadis yang berkaitan dengan aspek keutuhan redaksinya.Kedua istilah tersebut adalah ziyādat al-tsiqah dan idrāj. Berikut ini penjelasan tentang kedua istilah pokok tersebut:
1)             Ziyādat al-tsiqah
Ziyādah yang terjadi pada matan diketahui dengan cara mengumpulkan beberapa jalur sanad dan pokok-pokok bahasan hadis (al-Turuq wa al-abwāb). Menurut al-Hakim tidak banyak ulama yang menekuni tentang ziyādah. Di antara yang sedikit tersebut adalah Abu Bakar ‘Abdullāh ibn Muhammad ibn Ziyād al-Naisāburī seorang ahli fikih yang tinggal di Bagdād dan Abu Nu‘aim ‘Abd al-Mālik ibn Muhammad ibn ‘Adī al-Jurjānī di Khurasan.Selain mereka berdua adalah Abu al-Walīd Hassān ibn Muhammad al-Qurasyī.
Adapun menurut Ibn Hibbān, ulama yang banyak memberikan perhatian terhadap al-sunan dan mengetahui tentang hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan lafalnya dan ziyādah yang terdapat di dalamnya adalah Muhammad ibn Ishāq ibn Khuzaimah.Sementara itu, menurut Ibn Rajab al-Hanbalī ulama yang paling banyak memberikan perhatian terhadap ziyādah pada matan dan lafal hadis adalah Abu Dāwud dalam kitab al-Sunan.
Meskipun keberadaan ziyādat al-iqah telah banyak dikemukakan pada berbagai kitab Mustalah Hadis, namun ulama hadis sangat beragam dalam memberikan pengertian dan penjelasan tentang ziyādat al-tsiqah.
Perbedaan pandangan di kalangan ulama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a)             Jumlah periwayat yang mencantumkan ziyādah; sebagian ulama menetapkan satu orang periwayat, sementara periwayat lainnya tidak membatasi pada satu periwayat saja.
b)             Kategori periwayat yang mengemukakan ziyādah; sebagian ulama membatasi bahwa yang disebut dengan ziyādah adalah tambahan yang berasal dari periwayat yang adil atau periwayat yang tsiqah, sementara ulamalainnya tidak menetapkan syarat tertentu.
c)             Kandungan ziyādah; sebagian ulama menetapkan bahwa kandungan lafal atau kalimat yang dianggap sebagai ziyādah adalah yang berkaitan dengan persoalan fikih (alfāz fiqhiyyah), sedangkan ulama lainnya tidak membatasi pada satu persoalan tertentu saja.
d)             Letak ziyādah; sebagian ulama menetapkan bahwa yang termasuk dalam kategori ziyādah adalah tambahan yang berasal dari tabi’in dan setelahnya, sedangkan ulama lainnya tidak membatasi letaknya.
Untuk kepentingan penyelesaian ikhtilāf al-riwāyah, keempat faktor di atas bukanlah merupakan hal yang esensial, karena yang menjadi tujuan utama adalah menentukan kedudukan tambahan lafal atau kalimat yang terdapat di dalam suatu riwayat hadis dan tidak terdapat pada riwayat lainnya.
Dengan demikian, baik tambahan tersebut berasal dari satu orang periwayat atau bukan, berasal dari sahabat atau dari tabi’in dan seterusnya ke bawah, berasal dari periwayat yang diklaim adil, tsiqah atau tidak, kandungan tambahan lafal atau kalimat tersebut berkaitan dengan masalah fikih atau masalah lainnya, semuanya itu bukan merupakan persoalan pokok, namun yang menjadi persoalan pokok adalah menentukan keakuratan tambahan lafal atau kalimat tersebut sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi saw.
2)             Idrāj
Hadis yang di dalamnya terdapat idrāj dinamakan dengan hadis mudraj.Nur al-dīn ‘Itr mendefinisikan hadis mudraj sebagai hadis yang di dalamnya terdapat ucapan sebagian periwayat, baik sahabat atau periwayat di bawahnya yang terangkai dengan hadis, tanpa ada pemisah antara hadis dengan ucapan tersebut; dalam arti tanpa menyebutkan siapa pengucapnya.
Kedua istilah di atas, yaitu ziyādat al-tsiqah dan idrāj mempunyai kemiripan. Syuhudi Ismail membedakan antara keduanya dengan mengatakan bahwa idrāj berasal dari diri periwayat, sedangkan ziyādah merupakan bagian tak terpisahkan dari hadis Nabi saw.
Menurut penulis, ziyādat al-tsiqah dan idrāj yang terdapat pada matan adalah lafal atau redaksi pada hadis yang dipertanyakan keotentikannya berasal dari Nabi saw. Perbedaannya terletak pada tingkat kepastian bahwa lafal atau redaksi tersebut tidak bersumber dari Nabi saw.
Apabila dipastikan atau hampir dipastikan bahwa lafal atau redaksi tersebut tidak berasal dari Nabi saw., maka dinamakan dengan idrāj. Penilaian ini didasarkan kepada beberapa indikator seperti perbandingan dengan riwayat lain, pernyataan dari salah seorang periwayat bahwa ia telah menyisipkan redaksi tersebut ke dalam hadis atau dari segi substansi hadis yang menunjukkan kemustahilan berasal dari Nabi saw.
Adapun jika lafal atau redaksi tersebut tidak dapat dipastikan sebagai pernyataan yang tidak berasal dari Nabi saw., bahkan sebaliknya mengandung kemungkinan sebagai bagian dari hadis Nabi saw., maka dinamakan dengan ziyādah.Penilaian ini didasarkan kepada kualitas periwayat yang mencantumkan lafal atau redaksi tambahan tersebut termasuk dalam kategori periwayat yang berkualifikasi tsiqah.Itulah sebabnya tambahan semacam ini dinamakan dengan ziyādat al-tsiqah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadis yang di dalamnya terdapat ziyādah hanya diketahui dengan membandingkan antara hadis tersebut dengan hadis lainnya, sementara hadis yang di dalamnya terdapat idrāj tidak mensyaratkan adanya hadis lain sebagai pembanding atasnya.
Dari segi kualitas, kalau hadis yang termasuk dalam kategori ziyādat al-tsiqah masih diperselisihkan keotentikannya oleh para ulama, tidak demikian halnya dengan hadis yang di dalamnya terdapat idrāj.Hadis mudraj disepakati oleh para ulama sebagai hadis dha‘īf.
2)        Keragaman dari segi susunan redaksi
Beberapa hadis Nabi saw. berisi rincian dari hal-hal tertentu. Susunan dari rincian-rincian tersebut terkadang berbeda antara satu riwayat dengan riwayat lainnya.

Misalnya hadis yang menjelaskan tentang tujuh kelompok manusia yang dinaungi oleh Allah swt. pada hari kiamat riwayat al-Bukhārī, Muslim dan al-Turmuzī sebagai berikut:
-            Riwayat al-Bukhārī, pemimpin yang adil, anak muda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah, seseorang yang mengingat Allah dalam kesunyian lalu meneteslah air matanya, seseorang yang hatinya terikat dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seseorang yang diajak oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan sosial dan kecantikan (untuk berzina) lalu ia mengatakan saya takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah lalu ia sembunyikan sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya.
-         Riwayat Muslim, Pemimpin yang adil, anak muda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah, dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu dan berpisah atas dasar (kecintaan) itu seseorang yang diajak oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan sosial dan kecantikan (untuk berzina) lalu ia mengatakan saya takut kepada Allah, seseorang yang hatinya terikat dengan masjid, seseorang yang bersedekah lalu ia sembunyikan sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya, seseorang yang mengingat Allah dalam kesunyian lalu meneteslah air matanya.
-         Riwayat al-Turmuzī, pemimpin yang adil anak muda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah seseorang yang hatinya terikat dengan masjid apabila ia keluar darinya sampai ia kembali lagi dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu dan berpisah atas dasar (kecintaan) itu, seseorang yang mengingat Allah dalam kesunyian lalu meneteslah air matanya, seseorang yang diajak oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan sosial dan kecantikan (untuk berzina) lalu ia mengatakan saya takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah lalu ia sembunyikan sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya.
Dari ketiga versi riwayat di atas, ditemukan perbedaan susunan tujuh kelompok manusia antara satu versi dengan versi lainnya.Persamaan pada ketiga riwayat tersebut hanya ditemukan pada urutan pertama dan kedua pada ketiga versi riwayat dan pada urutan keenam dan ketujuh pada versi riwayat al-Bukhārī dan Muslim.Adapun pada urutan lainnya semuanya mengalami perbedaan.Dalam hal ini, ada penyebutan kelompok yang didahulukan dan ada yang disebutkan kemudian.
3)        Keragaman yang bersifat kontradiktif
Keragaman yang terjadi pada hadis Nabi saw. terkadang ada yang bersifat kontradiktif, dalam arti satu hadis menetapkan sesuatu hal, sedangkan hadis lainnya justru meniadakannya. Misalnya saja hadis tentang hak yang terdapat pada harta seperti berikut ini:
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُعَبْدِالرَّحْمَنِأَخْبَرَنَامُحَمَّدُبْنُالطُّفَيْلِعَنْشَرِيكٍعَنْأَبِيحَمْزَةَعَنْعَامِرٍالشَّعْبِيِّعَنْفَاطِمَةَبِنْتِقَيْسٍعَنْالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَإِنَّفِيالْمَالِحَقًّاسِوَىالزَّكَاة
Artinya:
‘Abdullāh ibn ‘Abdurrahmān menyampaikan kepada kami, Muhammad ibn al-Tufayl dari Syarīk dari Abī Hamzah dari ‘Amir al-Sya’bī dari Fatimah ibnti Qays dari Nabi saw. ia bersabda: “Sesungguhnya di dalam harta terdapat (hak yang lain) selain zakat”.
حَدَّثَنَاعَلِيُّبْنُمُحَمَّدٍحَدَّثَنَايَحْيَىبْنُآدَمَعَنْشَرِيكٍعَنْأَبِيحَمْزَةَعَنْالشَّعْبِيِّعَنْفَاطِمَةَبِنْتِقَيْسٍأَنْهَاسَمِعَتْهُتَعْنِيالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَقُولُلَيْسَفِيالْمَالِحَقٌّسِوَىالزَّكَاةِ
Artinya:
‘Alī ibn Muhammad menyampaikan kepada kami, Yahya ibn Adam menyampaikan kepada kami, dari Syarīk dari Abī Hamzah dari ‘Amir al-Sya’bī dari Fatimah ibnti Qays bahwa ia mendengarnya, yaitu Nabi saw. bersabda: “Tidak ada di dalam harta (hak yang lain) selain zakat”.
Kedua riwayat di atas, dari segi sanad mempunyai jalur yang sama mulai dari Syarīk yang menyandarkan hadis kepada Abī Hamzah yang menyandarkan hadis kepada ‘²Amir al-Sya‘bī yang menyandarkan hadis kepada Fā¯imah binti Qais.
Meskipun demikian, dari segi matan keduanya mempunyai perbedaan, bahkan pertentangan. Pada hadis yang pertama ditegaskan adanya hak yang lain pada harta benda yang dimiliki oleh seseorang, selain hak yang berupa kewajiban bagi pemilik harta tersebut untuk mengeluarkan

zakatnya. Adapun pada hadis yang kedua, sebaliknya memberikan penegasan bahwa tidak ada lagi hak yang lain pada harta benda yang dimiliki, selain zakat.
4)        Keragaman dari segi bentuk matan
Berdasarkan bentuknya, hadis ada yang berupa ucapan, perbuatan, pengakuan dan sifat Nabi saw. baik fisik maupun psikis. Ucapan, perbuatan dan pengakuan itu sendiri, ada yang bersifat eksplisit (¡arīH) dan ada yang bersifat implisit (Hukmī).
Keragaman periwayatan hadis dapat pula terjadi dari segi bentuknya, seperti contoh berikut ini:
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُيَزِيدَحَدَّثَنَاسَعِيدُبْنُأَبِيأَيُّوبَقَالَحَدَّثَنِيأَبُوالْأَسْوَدِعَنْعُرْوَةَبْنِالزُّبَيْرِعَنْعَائِشَةَرَضِيَاللَّهُعَنْهَاقَالَتْكَانَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِذَاصَلَّىرَكْعَتَيْالْفَجْرِاضْطَجَعَعَلَىشِقِّهِالْأَيْمَنِ
Artinya:
‘Abdullāh ibn Yazīd menyampaikan kepada kami, Sa‘īd ibn Abī Ayyub berkata, Abu al-Aswad menyampaikan kepada saya dari ‘Urwah ibn Zubair dari ‘Aisyah ra., ia berkata: “Nabi saw. apabila telah melaksanakan dua raka’at fajar beliau berbaring di atas lambung kanannya.”
حَدَّثَنَابِشْرُبْنُمُعَاذٍالْعَقَدِيُّحَدَّثَنَاعَبْدُالْوَاحِدِبْنُزِيَادٍحَدَّثَنَاالْأَعْمَشُعَنْأَبِيصَالِحٍعَنْأَبِيهُرَيْرَةَقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِذَاصَلَّىأَحَدُكُمْرَكْعَتَيْالْفَجْرِفَلْيَضْطَجِعْعَلَىيَمِينِهِقَالَوَفِيالْبَابعَنْعَائِشَةَقَالَأَبُوعِيسَىحَدِيثُأَبِيهُرَيْرَةَحَدِيثٌحَسَنٌصَحِيحٌغَرِيبٌمِنْهَذَاالْوَجْهِوَقَدْرُوِيَعَنْعَائِشَةَأَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَكَانَإِذَاصَلَّىرَكْعَتَيْالْفَجْرِفِيبَيْتِهِاضْطَجَعَعَلَىيَمِينِهِوَقَدْرَأَىبَعْضُأَهْلِالْعِلْمِأَنْيُفْعَلَهَذَااسْتِحْبَابًا
Artinya:
Bisyr ibn Mu‘āz al-‘Aqadī menyampaikan kepada kami, ‘Abd al-Wāhid ibn Ziyād menyampaikan kepada kami, al-A‘masy menyampaikan kepada kami dari Abi Sālih dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian telah melaksanakan dua raka’at fajar, maka hendaklah ia berbaring ke sebelah kanannya.”
Dari segi bentuk matan, kedua hadis di atas mempunyai perbedaan. Hadis yang disandarkan kepada ‘Aisyah mempunyai matan yang berbentuk fi‘lī, yaituberupa perbuatan Nabi saw., sedangkan hadis yang disandarkan kepada Ab­ Hurairah mempunyai matan yang berbentuk qaulī, yaituberupa ucapan Nabi saw.
5)        Keragaman pada unsur kebahasaan
Keragaman yang terjadi pada matan hadis juga ada yang berkaitan dengan unsur-unsur kebahasaan seperti fonologi, morfologi dan sintaksis
b.      Implikasi ikhtilāf al-riwāyah terhadap pemahaman hadis
a.              Perbedaan penetapan status hukum
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca surah al-Fatihah dalam shalat.Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu. Dengan demikian, shalat seseorang tidak sah apabila ia tidak membacanya. Di sisi lain, Abu Hanifah hanya memfardhukan pembacaan al-Qur’an secara umum tanpa menetapkan pembacaan surah al-Fatihah secara khusus.
Perbedaan pandangan ulama ini, di antaranya disebabkan keragaman riwayat hadis. Terdapat satu hadis yang dikenal dengan sebutan hadis al-Musi’ fi al-Shalah (orang yang keliru dalam pelaksanaan shalat) yang menjelaskan tentang tuntunan Nabi saw. tentang tata cara pelaksanaan shalat.
Selain itu, para ulama berbeda pendapat tentang hukum melaksanakan shalat jenazah di masjid.Sekelompok ulama, seperti Syafi’ī berpendapat bahwa dibolehkan melaksanakan shalat jenazah di masjid tanpa ada kemakruhan di dalamnya, sedangkan Abu Hanīfah berpendapat bahwa hukumnya makruh.
Perbedaan pendapat tersebut, di antaranya disebabkan adanya perbedaan riwayat dalam masalah ini.
b.             Perbedaan dalam menguatkan pilihan ibadah
Para ulama berbeda pendapat tentang pembacaan basmalah dalam shalat.Sebagian ulama berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca, sebagian lainnya berpendapat dibaca secara jahr pada shalat jahriyyah, sebagian lainnya berpendapat dibaca secara pelan pada semua jenis shalat, baik shalat sirriyyah dan jahriyyah.
Salah satu faktor penyebab timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah terjadinya ikhtilāf al-riwāyah.
c.              Perbedaan tata cara pelaksanaan ibadah
Ketika ada seseorang yang ketinggalan raka’at dalam shalat berjama’ah dan hanya mendapati raka’at tertentu bersama dengan imam, maka ia diwajibkan untuk menyempurnakan kekurangan raka’atnya tersebut.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai cara yang harus dilakukan untuk menyempurnakannya. Menurut Ab­ Hanīfah, yang harus dilakukan adalah qadhā’ yaitu menjadikan raka’at yang didapatinya bersama dengan imam sebagai raka’at yang terakhir baginya dan raka’at yang tidak didapatinya sebagai raka’at yang pertama baginya.
Bertolak belakang dengan itu, Syāfi’ī berpendapat bahwa yang harus dilakukan adalah bina’ yaitu menjadikan raka’at yang didapatinya bersama dengan imam sebagai raka’at pertama baginya dan raka’at yang tidak didapatinya sebagai raka’at yang terakhir baginya.
Adapun Mālik mengambil sikap pertengahan.Menurut pendapatnya, yang harus dilakukan adalah qadhā’ dari segi ucapan dan binā’ dari segi perbuatan.
d.             Perbedaan metode penetapan waktu ibadah
Dalam menentukan awal dan akhir puasa, para ulama berbeda pendapat dari segi metodenya.Sebagian ulama mendasarkan kepada penglihatan hilal (ru’yah), sebagian lainnya mendasarkan kepada perhitungan astronomi (hisāb).
Dari beberapa contoh yang dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas bahwa ikhtilāf al-riwāyah memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap terjadinya perbedaan pendapat para ulama, meskipun ikhtilāf al-riwāyah, tentunya bukan faktor satu-satunya yang menjadi penyebab munculnya perbedaan.
Selain itu, juga terlihat bahwa di antara ulama ada yang memperlakukan riwayat-riwayat yang beragam tersebut sebagai riwayat yang masing-masing berdiri sendiri, padahal jika ditinjau dari segi sanad, terlihat bahwa riwayat-riwayat tersebut adalah satu kasus, tetapi kemudian mengalami keragaman karena faktor periwayatan.
Berdasarkan hal tersebut, penulis berpandangan bahwa seharusnya keragaman periwayatan yang terdapat di dalam hadis-hadis tersebut diselesaikan terlebih dahulu sebelum menjadikannya sebagai dalil dalam berbagai persoalan agama.

Penyelesaian Hadits Yang Bertentangan
Ulama hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang tampak bertentangan harus “diselesaikan”, sehingga hilanglah pertentangan itu, tetapi mereka berbeda pendapat dalam melakukan penyelesaian.Ibn Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan-matan hadis yang bertentangan, masing-masing hadis harus diamalkan. Untuk itu, ia menekankan perlunya penggunaan metode istisna(pengecualian atau exception) dalam penyelesaian itu Syihab al-Din al-Qarafi (w. 684 H) menempuh cara al-tarjih (penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argumen yang terkuat). Dengan caraal-tarjih itu, mungkin penyelesaian yang dihasilkan berupa penerapan al-nasikh wa al-mansukh(yakni hadis yang satu menghapuskan petunjuk hadis yang lainnya) ataupun al-jam’u (yakni mengkompromikan, hadis-hadis yang tampak bertentangan itu sama-sama diamalkan dengan melihat seginya masing-masing
Berbeda dengan kedua ulama di atas, al-Syafi‘i (w. 204 H/820 M) memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadis yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (mujmal) dan yang satunya bersifat rinci (mufassar); mungkin yang satu bersifat umum (‘amm) dan yang lainnya bersifat khusus (khas}s}); mungkin yang satu sebagai penghapus (al-nasikh) dan yang lainnya sebagai yang dihapus; atau mungkin kedua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan
Dalam menyelesaikan matan-matan hadis yang tampak bertentangan, al-Syafi‘i menempuh caraal-jam’u kemudian al-nasikh wa al-mansukh. Sementara al-Tahawani menempuh cara al-nasikh wa al-mansukh, kemudianal-tarjih Salah al-Din Ahmad al-Adlabi menempuh cara al-jam’u, kemudian al-tarjih.Ibn al-Shalah (w. 643 H.), Fasih al-Harawi (w. 837 H), dan lain-lain menempuh cara (1) al-jam’u; (2) al-nasikh wa al-mansukh; dan (3) al-tarjihMuhammad Adib  Shalih menempuh cara (1) al-jam’u; (2) al-tarjih; kemudian (3) al-nasikh wa al-mansukhIbn Hajar al-‘Asqalani dan lain-lain menempuh empat tahap, yakni (1) al-jam’u; (2) al-nasikh wa al-mansukh; (3) al-tarjih; dan (4) al-tauqif(menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya
Dari berbagai metode penyelesaian yang cenderung ditempuh oleh kalangan ulama dengan melihat kemungkinan masalah yang harus diselesaikan, kata Syuhudi, tampaknya tahap-tahap penyelesaian yang dikemukakan oleh Ibn hajar al-‘Asqalani lebih akomodatif. Dinyatakan demikian karena dalam praktek penelitian matan, keempat tahap atau cara itu memang lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan. Dengan menempuh caraal-tauqif, setelah tidak dapat menyelesaikan dengan tiga cara sebelumnya (al-jam’u, al-nasikh wa al-mansukh, dan al-tarjih) pada penelitian hadis tertentu, peneliti akan dapat terhindar dari pengambilan keputusan yang salah.
Mencermati pernyataan Syuhudi di atas dengan membandingkan metode pemahaman hadis Nabi yang diajukannya, maka dapat dinyatakan bahwa pernyataan itu menunjukkan sikap kehati-hatian semata. Sesungguhnya metode Ibn Hazm yang mengatakan bahwa satu-sataunya cara yang dianggap sah dalam menyelesaikan matan-matan hadis yang tampak bertentangan adalah cara al-jam’u, justeru merupakan cara yang lebih akomodatif dan proporsional. Dinyatakan demikian karena jika hadis yang dimaksud dipahami dengan mempertimbangkan bentuk dan cakupan petunjuk hadis bersangkutan; fungsi Nabi tatkala hadis dinyatakan; dan peristiwa yang melatarbelakangi hadis tersebut, maka mungkin hadis yang satu bersifat universal dan yang lain bersifat temporal atau lokal, dan mungkin kedua-duanya bersifat temporal atau lokal.
Jika pengertian al-nasikhwaal-mansukh (al-naskh) dimaksudkan adalah pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Maka, penggunakan pengertian nasakh seperti itu, sesungguhnya tidak lain adalah salah satu bentuk penggunaan metode al-jam’u, sebagaimana dimaksud di atas. Sebab, hadis yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat tertentu, tetap dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Metode al-tarjihjuga tidak digunakan.Sebab, jika ternyata suatu hadis yang tampak bertentangan diselesaikan dengan metode al-tarjih, memilih salah satu di antaranya yang lebih kuat, maka itu berarti bahwa salah satu dari dua hadis itu tidak memenuhi kriteria Kesahihan hadis, yakni mengandung syudzudz.
Adapun metode al-tauqif, sesungguhnya dapat saja diterapkan jika upaya metode al-jam’u (kompromi) mendapat kebuntuan atau belum menemukan kompromi.Akan tetapi, penggunaan metode al-tauqif tersebut seyogyanya bersifat sementara, untuk kondisi tertentu.Sementara upaya untuk mengadakan kompromi senantiasa berlanjut.
Mencermati berbagai pandangan di atas, penulis berpendapat bahwa kaidah penyelesaian mukhtalaf al-hadis dapat dibedakan antara mukhtalaf yang disebabkan oleh perbedaan periwayatan (ikhtilaf alriwayat) dengan yang disebabkan oleh perbedaan peristiwa (tanawwu’). Jika terjadi  mukhtalaf karena perbedaan periwayatan, maka seharusnya menggunakan metode tarjih dalam pengertian menempatkan atau mengembalikan redaksi hadis pada asalnya, yakni jika ucapan Nabi, maka seharusnya diupayakan akan memilih redaksi yang “diduga kuat” berasal dari Nabi saw. Dan, jika selain sabda, maka juga akan dikembalikan pada redaksi awal, sekalipun terdapat perbedaan. Sedangkan, jika terjadi mukhtalaf karena perbedaan persitiwa, maka seharusnya menggunakan metode al-jam’u (kompromi) dalam menyelesaikannya. Sebab, perbedaan peristiwa menunjukkan berbilangnya peristiwa dan sekaligus menunjukkan elastisitas ajaran Islam.
Adapun konstruksi teori penyelesaian ikhtilāf al-riwāyah terdiri dari;
a)     Mengklasifikasi hadis berdasarkan periwayat tertinggi (al-rāwi al-a‘lā);
b)    Mengklasifikasi hadis dari setiap al-rāwi al-a‘lāberdasarkan periwayat yang menyandarkan hadis kepadanya dan common link-nya;
c)     Membandingkan seluruh riwayat dari setiap al-rāwi al-a‘lā untuk menentukan riwayat yang paling akurat bagi setiap al-rāwi al-a‘lā;
d)     Membandingkan riwayat yang akurat dari tiap-tiap al-rāwi al-a‘lā untuk menentukan riwayat yang paling akurat yang bisa disandarkan kepada Nabi saw.
Teori penyelesaian tersebut terintegrasi dalam metode penelitian hadis yang tahapan pelaksanaannya terdiri dari langkah-langkah berikut:
a)      Menentukan hadis yang akan diteliti;
b)      Mengumpulkan sebanyak mungkin varian dari matan hadis yang dilengkapi dengan isnad melalui takhrīj al-Hadis
c)      Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad;
d)     Meneliti kualitas sanad dengan melihat persambungan dan kualitas periwayat
e)      Mengidentifikasi sanad dan matan hadis untuk menentukan hadis yang termasuk dalam kategori ikhtilāf al-riwāyah;
f)       Menganalisis matan-matan hadis yang termasuk dalam kelompok periwayatan yang sama; dan
g)      Menyimpulkan hasil penelitian.

Faedah Belajar Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu ini membantu mempermudah dalam mengambil istimbat hukum dari hadits-hadits yang tamapak berlawanan. Hal ini tidak mudah memerlukan pemahaman yang mendalam tentang teori-teori ‘am , khas, muthlaq, muqayyad serta hal-hal lain yang terkait dengannya. Ilmu ini dapat menghilangkan keraguan yang di timbulkan oleh kelompok yang menyangsikan penggunaan hadits sebagai sumber hukum, karena di antara hadits-hadits tersebut terdapat pertentangan.
Rangkuman
1.      Sebab-sebab terjadinya mukhtalaf al-Hadis pada prinsipnya dapat dibagi kepada dua, yaitu: a) karena perbedaan periwayatan (ikhtilaf al-riwayah) dan b) karena terjadinya perbedaan peristiwa hadis (tanawwu’).
2.      Metode penyelesaian mukhtalaf riwayah dapat dibedakan antara mukhtalaf yang disebabkan oleh perbedaan periwayatan (ikhtilaf alriwayat) dengan yang disebabkan oleh perbedaan peristiwa (tanawwu’). Jika terjadi  mukhtalaf karena perbedaan periwayatan, maka seharusnya menggunakan metode tarjih dalam pegertian menempatkan atau mengembalikan redaksi hadis pada asalnya, yakni jika ucapan Nabi, maka seharusnya diupayakan akan memilih redaksi yang “diduga kuat” berasal dari Nabi sw. Dan, jika selain sabda, maka juga akan dikembalikan pada redaksi awal, sekalipun terdapat perbedaan. Sedangkan, jika terjadi mukhtalaf karena perbedaan persitiwa, maka seharusnya menggunakan metode al-jam’u (kompromi) dalam menyelesaikannya. Sebab, perbedaan peristiwa menunjukkan berbilangnya peristiwa dan sekaligus menunjukkan elastisitas ajaran Islam.
3.      Konstruksi teori penyelesaian ikhtilāf al-riwāyah terdiri dari: a) Mengklasifikasi hadis berdasarkan periwayat tertinggi (al-rāwi al-a‘lā); b) Mengklasifikasi hadis dari setiap al-rāwi al-a‘lā berdasarkan periwayat yang menyandarkan hadis kepadanya dan common link-nya; c) Membandingkan seluruh riwayat dari setiap al-rāwi al-a‘lā untuk menentukan riwayat yang paling akurat bagi setiap al-rāwi al-a‘lā; dan d) Membandingkan riwayat yang akurat dari tiap-tiap al-rāwi al-a‘lā untuk menentukan riwayat yang paling akurat yang bisa disandarkan kepada Nabi saw.






















                  DAFTAR PUSTAKA
Ali bin Ahmad Ibn Hazm, al-Ihka>m, Juz II, h. 151-165.
Syuhudi, Metodologi Penelitian, h. 143
Syihab al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi, Syarh} Tanqih al-Fusul (Beirut: Dar al-Fikr, 1393 H/1973 M), h. 420-425
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi‘i, Kitab Ikhtilaf al-Hadis\(Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983), h. 598-599 (diterbitkan bersama al-‘Umm).
Safar Ahmad Usman al-Tahawani, Qawa>id fi ‘Ulum al-H{adis\, (Beirut: Maktabah al-Nahdiya, 1392 H/1972 M), h.288 dan seterusnya.
Al-Adlabi>, Manhaj al-Naqd, h. 273 dan seterusnya.
Syuhudi, Metodologi Penelitian, h. 143; Ibn al-S}alah, Ulum al-H{adis\, h. 257-258 dan al-Harawi, Jawahir al-Usul, h. 40.
Adib S’Alih, Lamahat, h. 80-81.
Syuhudi, Metodologi Penelitian, h. 144; lebih lanjut, lihat al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazr, h. 24-25.
M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), h.147.
Majid Khon, Bustamin, dan Abdul Haris, Ulumul Hadits. Pusat Studi Wanita(PSW)UIN Jakarta. 2005