Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Rabu, 28 Juni 2017

BEKERJA ADALAH IBADAH


Sumber : Dokumen Pribadi
Kajian Islam Akhir Pekan, yang menjadi agenda rutin Mahasiswa PUT Unismuh Makassar setiap pekan kembali di adakan. Dan yang menjadi pemateri pada kesemptan tersebut, Sabtu ( 05/09/15 ), yaitu Prof. Minhajuddin. Beliau merupakan pakar dalam bidang Fiqhi Islam, utamanya yang membahas mengenai pemahaman-pemahaman dalam agama islam yang berkembang saat sekarang ini atau yang lebih di kenal dengan fiqhi kontenporer, 
Yang menjadi tema pokok pembahasan beliau pada kesempatan tersebut yaitu pentingnya seorang muslim untuk bekerja, beliau mengatakan, “ Untuk mendapatkan harta benda sebagai landasan ekonomi, apa ekonomi rumah tangga, ekonomi negara, dasarnya harus bekerja, berusaha dengan sungguh-sungguh.”
Lanjutnya,” mencari rezki halal merupakan kewajiban setiap pribadi muslim, tingkat kewajiban mencari rezeki halal merupakan kewajiban kedua setelah menunaikan kewajiban pertama yaitu shalat.”
Mencari rezki halal sama nilainya dengan jihad, dalam islam jihad sama dengan mengangkat senjata tapi dalam mencari rezeki,sama dengan  bersungguh-sungguh dalam bekerja,” terangnya
Selanjutnya beliau pula mengangkat salahsatu ayat Al-Qur’an di dalam surah Al-Mulk ayat 15 yang berbunyi,” Dialah ( Allah ) Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”


Logika Ber-IPM dalam Dakwah Komunitas



 
Sandi Ibnu Syam
IPM sebagai organisasi gerakan dakwah dikalangan pelajar memiliki etos yang kuat terhadap dua hal, yang pertama adalah keislaman, dan yang kedua adalah kemajuan. Subjek yang memiliki etos tersebut adalah pelajar[1]. Sebagai pelajar tentunya harus memiliki khasanah keislaman dan mampu berpikir maju dalam dunia pelajar. Seorang pelajar harus peka terhadap apa yang ada di sekitarnya, sehingga mereka mampu melihat dan merasakan apa yang sangat dibutuhkan seorang pelajar saat ini. Mengapa demikian? Karena pelajar hari ini telah berada dalam perangkat-perangkat yang kapan saja akan terjebat di dalamnya. Oleh karena itu, pelajar membutuhkan model dakwah yang bisa memasuki alam pikiran para pelajar.
Hal ini telah diungkapkan oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si mengatakan bahwa pada saat ini penting dioperasionalkan model dakwah komunitas baik di pedesaan maupun di perkotaan, termasuk di lingkungan perumahan-perumahan umum dan eksklusif. Model dakwah dihadirkan dengan cara pengajian dan kajian dengan menarik dengan materi-materi yang meneguhkan akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Umat (Pelajar,red) haus akan nilai-nilai Islam yang meneguhkan sekaligus mencerahkan. Semua harus dikemas secara bernas dan menarik, tidak konvensionaldan membosankan. Di sinilah kehadiran Majelis Tabligh dan Majelis Tarjih menjadi sangat penting dan menentukan keberhasilannya[2].
Setidaknya ada sedikit catatan penting dalam mengaktualisasikan model dakwah yang ditawarkan oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si guna dapat menjadi salah satu inspirasi dalam melakukan sebuah perubahan di dalam dunia pelajar. Yakin dan percaya semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi jika semua elemen bersatu dan mempunyai tujuan bersama baik itu Muhammadiyah, Aisyiyah, dan semua ortom-ortm turut andil maka kemungkinan besar aka nada hasil dari apa yang mesti dilakukan dalam melakukan sebuah rekonstruksi dalam dunia pelajar.
Semua itu perlu ada rasa keikhlasan dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan dan melakukan inisiatif guna mencapai keridhaan Allah swt. semata. Apalagi dakwah di kalangan pelajar masih sangat minim dan perlu ada semacam sebuah yang bisa mencerahkan jiwa dan membangun semangat dalam menuntut ilmu terutama di kalangan pelajar. Pada Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar tahun 2015, memperkenalkan sebuah model dakwah yang menjadi pengembangan dari Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ) yaitu “Model Dakwah Pencerahan berbasis Komunitas”, merupakan bentuk aktualisasi dakwah Islam yang diperankan gerakan Islam ini dengan perhatian atau focus pada kelompok-kelompok social secara khusus yang disebut “komunitas”. Namun dalam dakwah pencerahan tersebut dikembangkan pendekatan dan strategi yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai komunitas yang berkembang di masyarakat sesuai dengan karakternya masing-masing ke dalam suatu model dakwah yang actual. Pendekatan dan strategi dakwah tersebut difokuskan pada kelompok-kelompok masyarakat yang tergolong dengan “komunitas” Community).[3]
Berdasarkan apa yang ada di atas sebagai realisasi dari sebuah model dakwah di IPM maka di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Ikatan Pelajar Muhammadiyah mempunyai nilai-nilai dasar sebagaimana yang ada di bawah ini.
1.      Nilai Keislaman (Menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam). Islam yang dimaksud adalah agama rahmatan lilalamin yang membawa kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan ketentraman bagi seluruh umat manusia yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-SUnnah. Artinya, Islam yang dihadirkan IPM adalah Islam yang sesuai dengan konteks zaman yang selalu berubah-ubah dari satu masa ke masa selanjutnya.
2.      Nilai Keilmuan (Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu). Nilai ini menunjukkan bahwa IPM memiliki perhatian serius terhadap ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita akan mengetahui dunia secara luas, tidak hanya sebagian saja. Karena dari waktu ke waktu, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan berubah. IPM berkeyakinan, ilmu pengetahuan adalah jendela ilmu.
3.      Nilai Kekaderan (Terbentuknya pelajar muslim yang militan dan berakhlak mulia). Sebagai organisasi kader, nilai ini menjadi konsikuensi tersendiri bahwa IPM sebagai anak panah Muhammadiyah untuk mewujudkan kader yang memiliki militansi dalam berjuang. Tetapi militansi itu ditopang dengan nilai-nilai budi pekerti yang mulia.
4.      Nilai Kemandirian (Terbentuknya pelajar muslim yang terampil). Nilai ini ingin mewujudkn kader-kader IPM yang memiliki jiwa yang independen dan memiliki keterampilan pada bidang tertentu (skill) sebagai bentuk kemandirian personal dan gerakan tanpa tergantung pada pihak lain.
5.      Nilai kemasyarakatan (terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya/ the real Islamic societ). Nilai kemasyakatan dalam gerakan IPM berangkat dari kesadaran IPM untuk selalu berpihak kepada cita-cita penguatan masyarakat sipil. Menjadi suatu keniscayaan jika IPM sebagai salah satu ortom Muhammadiyah menyempurnakan tujuan Muhammadiyah di kalangan pelajar[4].
Sedangkan dalam Musyawarah Wilayah ke- XXI IPM Sulsel merumuskan beberapa putusan penting yang perlu dicermati terutama dalam agenda – agenda aksi di antaranya adalah pendampingan teman sebaya, Sahabat Qur’an, Korps Fasilitator, Gerakan Pelajar anti Narkoba atau perangi Narkoba, Komunitas Olahraga dan Seni, Konservasi Lingkungan Hidup, Gerakan Kewirausahaan Pelajar, dan Jihad Literasi[5].  Pelajar harus mampu mengembangkan potensi kreativitas luar biasa yang dimiliki oleh tiap-tiap diri pelajar dengan beragam keunikannya, tersistematika dalam sebuah gerakan jamaah/komunitas. Sehingga kedepannya diharapkan kreativitas ini mampu menjadi suatu usaha produktif serta mampu terdistribusi dengan baik. Penyadaran dan pengembangan potensi ini diarahkan agar pelajar mampu mengalisis potensi diri (sebagai pelaku / subjek) dan lingkungan sekitar (sebagai objek).[6]
Demikian kiranya tulisan ini mudah-mudahan menjadi sebuah refleksi dalam menyampaikan logika ber-ipm terutama dalam konteks dakwah yang menjadi dasar kebutuhan pelajar saat ini. Dan harus dimaklumi bahwa masih ada kekurangan-kekurangan dalam tulisan ini sehingga menjadi sebuah pengejewantahan dan mengaktualisasikan serta membumikan ideology IPM dalam kehidupan sehari-har baik yang telah lalu, kini dan masa depan IPM terutama bagaimana pelajar mampu berpikir kritis dan dapat membangun IPM sebagai gerakan dakwah di kalangan pelajar yang telah termaktub dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pelajar Muhammadiyah.


[1] PP IPM, SPI Kuning, hal. 33. Dalam bentuk PDF
[2] Suara Muhammadiyah edisi 04 thn 2017, kolom bingkai, hal. 14
[3] PP Muhammadiyah, Model Dakwah Pencerahan Berbasis Komunitas, hal. 8. 2015
[4] PP IPM, Naskah Perubahan AD & ART IPM. Hal. 7 – 8. 2016
[5] PW IPM Sulsel,Buku Panduan Musywil XXIIPM Sulsel, 31 – 41. 2016
[6] PP IPM, Indonesia Maju dan Bermartabat Refleksi Pemikiran Aktivis IPM. Hal. 84 – 85. 2012

Selasa, 27 Juni 2017

SISI LAIN DARI KI BAGUS HADIKUSUMO (2)

 
Sandi Ibnu Syam

Tokoh-tokoh terkemuka BPUPKI dari pihak nasionalis “sekuler” semuanya hasil didikan Barat – adalah Radjiman Wediodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonagoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Buntaran Martoatmodjo. Sementara itu dari kelompok pembela dasar Islam, juru bicara terkemuka Ki Bagus Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Abdul Kahar Muzakkir, dan KH. Abdul Wahid Hasyim. Di dalam BPUPKI kemudian dibentuklah sebuah panitia kecil yang beranggotakan 9 orang – karena itu disebut juga Panitia Sembilan- untuk membahas prinsip-prinsip dasar Negara. Panitia Sembilan orang akhirnya mencapai sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian menjadi preambul konstitusi yang diajukan ke siding BPUPKI. Dalam alinea keempat piagam itu disebutkan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan “dengan menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sebagai orang yang tidak termasuk dalam Panitia Sembilan, Ki Bagus Hadikusumo  kemudian memepertanyakan ketujuh kata tersebu. Ia menginginkan kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dibuang sehingga rumusannya menjadi Ketuhanan, dengan kewajiban syariat Islam” saja. Pembicaraan tentang tujuh kata ini mengundang perdebatan hangat, sebagaimana juga terjadi di Panitia Sembilan. Namun akhirnya, Piagam Jakarta diterima pada tanggal 11 Juli 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan, para anggota PPKI diundang untuk mengadakan rapat darurat pada tanggal 18 Agustus 1945. Ketika itu Jepang telah member tahu Hatta, bahwa kaum nasionalis dan mereka yang benar-benar bukan muslim benar-benar keberatan terhadap beberapa rumusan Islam dalam undang-undang dasar sementara itu. Maka, sebelum rapat, Hatta mengadakan pertemuan informal dengan tokoh-tokoh Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman singodimejo, dan Mr. Teuku M. Hasan.
Dalam pertemuan itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dalam kenyataannya Indonesia hanya dapat menjadi satu kesatuan dan tetap bersatu jika di dalam undang-undang dasar tidak terdapat suatu ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan Islam. Oleh karena itu, Piagam Jakarta mengalami perubahan dengan implikasinya di dalam batang tubuh undang-undang.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kesempatan rapat PPKI itu Soekarno dan Mohammad Hatta, masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua, menyatakan bahwa undang-undang tersebut bersifat sementara dan menjanjikan bahwa pada suatu saat yang tepat, undang-undang yang lebih terperinci dan lebih sempurna akan dirumuskan dalam Majelis Permusyawaratan Rakayat. Dalam kesempatan itu, menurut keduanya, umat Islam dapat mengajukan aspirasi politik keagamaannya.
Ki Bagus Hadikusumo, berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini ia memilih diam. Dalam hatinya ia sebenarnya menolak ajakan Mohammad Hatta itu. Hal itu dikemukakannya kepada Mr. Kasman, orang kepercayaannya, yang mendesaknya untuk menerima saran Hatta itu. Akan tetapi, ia tidak ingin dituduh menyemai perpecahan. Untuk menyalurkan ketidakpuasan dan amarahnya, ia segera mengirim kawat kepada Majelis Tanwir Muhammadiyah, yang kebetulan bersidang di Yogyakarta. Ia meminta agar penutupan siding ditunda sampai ia kembali dari Jakarta. Setelah sampai di Yogyakarta dan memasuki siding Tanwir, ia kemudian mengemukakan ketidakpuasannya tentang apa yang terjadi dengan pengesahan UUD 1945. Ia mengecam kalangan nasionalis “secular” dalam PPKI. Ia pun mengingatkan Majelis Tanwir, dan secara tidak langsung umat Islammasih perlu terus bersiap-siap menghadapi segala tantangan pada masa berikutnya.
Piagam Jakarta kemudian mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka. Perubahan itu berkenaan dengan alinera keempat preambul, yang semula berbunyi “Ketuhan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi Ketuhan Yang Maha Esa”. Rumusan terakhir ini didapat atas usul Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan itu diusulkan karena menurutnya mempunyai pengertian yang sama (tauhid). Sebagai juru bicara nasionalis Islami yang memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, Ki Bagus Hadikusumo menulis sebuah buku berjudul Islam sebagai dasar Negara dan Akhlak Pemimpin (Yogyakarta: Pustaka Rahayu, 1954) yang menggambarkan pengalamannya sebagai anggota BPUPKI ketika ia berhadapan dengan golongan nasionalis “secular”. Melalui karya ini, pemikirannya tentang politik dapat disimak. Ia memperjuangkan penerapan hokum Islam di Indonesia dan membelanya terhadap tuduhan-tuduhan yang menurutnya tidak tepat sasaran. Ia mengatakan, seringkali terdengar suara yang mengatakan bahwa hokum Islam itu adalah peraturan yang sudah tua, tidak dapat dilakukan lagi di zaman sekarang ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan pendudukna beragama Islam, tetapi hokum Islam nyata tak dapat berjalan.
Memang benar, tetapi …. Harus diingat juga apa yang menyebabkan hokum Islam tak dapat berjalan dengan sempurna di Indonesia. Sebab tak lain ialah karena tipu muslihat curang yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha hendak melenyapkan agama Islam, tentu tidak akan menguntungkan dia. Oleh karena itu, hokum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia sedikit demi sedikit hendak dihapuskan dan digantikan dengan hokum lain yang dikehendakinya.
Di dalam BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo mengingatkan apa yang terjadi pada hokum Islam pada tahun 1922, yaitu usaha Pemerintah HIndia Belanda mengganti hokum warisan Islam dengan hokum adat dengan melaksanakan propaganda hokum ada secara gencar di seluruh tanah Jawa. Ia juga menjelaskan bagaimana usaha pemerintah Hindia Belanda dalam mengubah hokum perkawinan Islam dengan “kawin-cacat”, yang akhirnya diurungkan karena khawatir akan timbulnya peristiwa yang tidak diinginkan. Sebagai seorang yang mempunyai visi politik, di samping memimpin organisasi Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo juga aktif dalam partai politik Masyumi. Pada kepengurusan masa Bakti 1945-1949, ketika Masyumi baru berdiri, ia menjadi ketua muda I Majelis Syura (Dewan Pertimbangan Partai) Pimpinan Pusat Masyumi. Pada pengurusan masa bakti 1949-1951 dan masa bakti 1951-1954, ia termasuk salah seorang anggota Pimpinan Pusat Masyumi.
Sebagai seorang nasionalis Islami, ia ikut berpartisipasi aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer yang merupakan usaha Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Pada tahun 1948, ia ikut memprakarsai berdirinya Markas Ulama dan  Laskar Angkatan Perang Sabil (MU-LAPS), sebuah wadah social keagamaan semimiliter, yang resmi berdiri pada 23 Juli 1948. Dalam susunan Pimpinan MU-LAPS, Ki Bagus Hadikusumo duduk sebagai penasehat.
Selain Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, ia juga menulis beberapa buku lagi dalam bahasa Jawa,yaitu : Risalah Katresnan Djati (Mataram, Persatoean, 1935) Poestaka Hadi, (Mataram, Persatoean, 1936) Poestaka Islam, (Mataram, Persatoean, 1940), Poestaka Ihsan, (Mataram, Persatoean, 1941), dan Poestaka Imam (Mataram, Persatoean, 1954). Beberapa pandangannya dapat disimpulkan dari karya-karya itu. Iman (tauhid), menurutnya tidak saja mengandung nilai transcendental yang berhenti sampai disitu, tetapi juga mengandung tujuan hidup manusia yang hakiki, yaitu terwujudnya ketertiban, ketentraman, dan kedamaian. Dengan demikian, iman harus termanifestasi dalam kehidupan manusia.
Dalam kesempatan membahas keimanan, ia mendorong umat Islamuntuk menggunakan rasio. Ia mengingatkan banyaknya ayat Al-Qur’an yang menganjurkan manusia untuk menggunakan rasio dalam rangka memperkokh keimanan. Namun, ia mengingatkan, rasio itu tidak boleh menafikan adanya nilai-nilai yang bersifat batiniah. Oleh Karen itu, ia melontarkan kritik pedas terhadap materialisme –ateisme, yang begitu menggantungkan diri pada rasio dan menolak iman. Pada tanggal 9 November 1995 Ki Bagus Hadikusumo mendapat anugrah Bintang Republik Indonesia Utama dari pemerintah RI atas jasanya sebagai salah satu tokoh perancang Pembukaan UUD-1945.