Sandi Ibnu Syam |
Mengenai system politik Islam dalam bukunya yang
berjudul Pemerintahan Islam dan Islam dan Pembaruan. Menurutnya, Islam tidak
pernah menentukan bentuk Negara yang harus dibangun oleh kaum muslimin. Bagi
Islam, yang lebih penting adalah substansi atau isi. Menurutnya, bisa saja
suatu Negara berbentuk demokratik, tetapi bersubstansi ototriter atau bahkan
totaliter. Tambahnya lagi, tidak ditemukannya suatu perintah untuk mendirikan
Negara Islam baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits, justru mendukung segi
keabadian wahyu Allah swt. jika missal ada perintah seperti itu dalam Al-Qur’an
tentu Al-Qur’an atau hadits akan memberikan tuntunan terperinci tentang
struktur dari institusi-institusi Negara yang dimaksudkan, misalnya tentang
system perwakilan rakyat, system pemilihan umum, hubungan antara badan-badan
legislative, eksekutif, dan yudikatif, dan sebagainya.
Bila demikian halnya, pasti perturan-peraturan yang
terperinci itu tidak akan tahan zaman dan pasti pula tidak akan serasi dengan
dinamika sejarah yang terus mengalami perubahan dan pertumbuhan sesuai dengan
sunnatullah. Dalam kaitan antara Islam dan Negara Pancasila, ia menjelaskan
Islam tidak bertentangan dengan Negara Pancasila selama Pancasila itu dimengerti
secara wajar dan benar karena tidak ada satupun dari nilai-nilai Pancasila yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Tentang Islam dan sekularisme, dengan tegas
dikatakannya bahwa keduanya merupakan hal yang antagonistis. Islam bangkit dari
iman kepada Allah swt, sementara sekularisme berangkat dari sikap tidak peduli
kepada iman dan Tuhan. Lebih lanjut Amien Rais mengatakan Islam tidak
memberikan tempat bagi sekularisme karena Islam tidak mengenal dikotomi antara
kehidupan dunia dan akhirat, serta antara yang protan dan sacral, atau antara
yang imanensial dan transendial. Islam juga tidak mengenal doktrin “Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi
haknya dan berikan kepada Gereja apa yang menjadi haknya” yang merupakan
benih timbulnya sekularisme. Bahkan, ia sampai kepada kesimpulan bahwa
sekularisasi dan sekularisme bukanlah pilihan yang tepat buat
negara-negara non Barat,
setidak-tidaknya dunia Islam.
Selanjutnya menanggapi isu tentang fundamentalisme
Islam yang akhir-akhir ini banyak dikaitkan dengan aksi terorisme, Amien Rais
menjelaskan bahwa istilah fundamentalisme Islam adalah istilah yang keliru dan
sangat tidak tepat ditujukan kepada Islam. Menurutnya, kata fundamentalisme
awalnya muncul dalam konteks sejarah Barat-Kristen dengan makna khusus, yaitu suatu
gerkan yang memberikan interpretasi skripturalis atau literalis pada kitab
Injil dank arena itu kelompok-kelompok fundamentalis mengambil posisi
religious-politik yang dianggap redaksioner dan tidak realistis. Oleh karena
itu, menamakan gerakan-gerakan Islam yang mendambakan kebangunan berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits dengan metode tajdid sebagai fundamentalisme Islam yang
merupakan suatu kekeliruan besar, berhubung gerakan-gerakan kebangkitan Islam
sangat berbeda dengan fundamentalisme Kristen dalam menghadapi modernitas.
Pada umumnya gerakan kebangkitan Islam selalu
berorientasi ke depan, sadar terhadap masalah-masalah yang muncul dalam konteks
modernitas dan memahami sepenuhnya tantangan-tantangan akibat kemajuan ilmu dan
teknologi. Adapun perujukannya. Pada Al-Qur’an dan Hadits disertai dengan
interpretasi yang kratif dan inovatif sehingga tidak pernah bersifat literalis
skripturalis (harfiah). Walaupun demikian, Amin Rais juga mengakui tidak semua
gerakan kebangkitan Islam bersifat future-oriented
seperti yang disebutkan. Ada juga yang bersifat konservatif dan hanya memegangi
pendapat satu mazhab fikih dan tidak bersedia meletakkan Islam dalam perspektif
yang cukup luas yang justru bertentangan dengan hakikat ajaran Islam itu
sendiri.
Sumber Tulisan :
Ensiklopedi Islam, cetakan 1 hal. 31-32. Penerbit PT Ichtiar Baru van Hoeve,
Jakarta. 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar