Tugas Ulumul Hadits
Dosen : Prof.Dr.H. Arifuddin Ahmad .M.Ag
HADITS
SHAHIH
Disusun Oleh :
Sandi
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
PUT UNISMUH MAKASSAR
TAHUN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits mutawatir memberikan
faidah “ yaqin bil qathi” atau positif bahwa Nabi Muhammad SAW
benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan persetujuannya di hadapan para
sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka
sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena itu,
sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu
diselidiki lebih dalam identitas para perawinya.
Berlainan dengan hadits ahad,
yang memberikan faidah “dhanny” atau prasangka yang kuat akan penyelidikan
yang seksama mengenai identitas para perawinya. Hadits ahad dibagi menjadi tiga
macam, seperti hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if . Dalam makalah ini saya akan memaparkan hadits shahih
dan bagaimana permaslahannya sesuai dengan tugas mandiri yang saya dapat.
1.2 Latar Belakang
Sesuai yang telah dijelaskan
dalam latar belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Apa definisi dari hadits shahih ?
2.
Bagaimana klasifikasi suatu hadits shahih ?
3.
Bagaimana
martabat hadits shahih ?
4.
Bagaimana
permasalahan suatu hadits shahih ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah
inintidak lain hanyalah untuk menjelaskan dan memaparkan lebih lanjut terhadap
rumusan masalah, yaitu :
1.
Menjelaskan
definisi dari hadits shahih.
2.
Menjelaskan
klasifikasi suatu hadits shahih.
3.
Menjelaskan
martabat suatu hadits shahih.
4.
Menjelaskan
permasalahan-permasalahan hadits shahih.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hadits
Shahih
Hadis sahih
menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yang benar berasal
dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati kebenarannya oleh
para ahli hadits, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang bersambung sanadnya
yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain yang (juga) adil dan
dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak cacat
(illat).[1]
Shahih menurut lughat adalah
lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit, hak lawan bathil. Menurut
ahli hadits, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh
orang-orang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada
Rasulallah SAW, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang
menyebabkan cacat dalam menerimanya.[2]
Dalam definisi lain, hadits
shahih adalah ;
“Hadits
yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal ” [3]
2.2 Syarat-Syarat Hadits Shahih
Dari definisi hadits shahih di atas, mengandung lima
syarat yang harus dimiliki oleh suatu hadits agar dapat dinilai sebagai hadits
shahih, yaitu :
A. Rawinya Harus Adil
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi
diterimanya suatu riwayat. Menurut Ar-Razi, keadilan adalah
tenaga jiwa yang mendorong untuk bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi dosa
kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang menodai muruah (harga
diri), seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, dan
bergurau yang berlebihan.[4]
Menurut Syuhudi Ismail, Kriteria periwayat yang adil
adalah :
·
Beragama
Islam
·
Berstatus
Mukallaf
·
Melaksanakan
ketentuan agama
·
Memelihara
muruah (harga diri)
B.
Rawinya Bersifat Dhabit
Dhabit
adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang
diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan
kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.[5] Persyaratan
ini menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika
menerima dan menyampaikannya.
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak
menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup
dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendakinya, maka orang itu
disebut dhabtu shabri. Sedangkan, kalau apa yang disampaikan itu
berdaar pada buku catatannya, maka ia disebut dhabtu kitab. Dan
rawi yang adil sekaligus dhabit, maka ia disebut tsiqat
C. Sanadnya Bersambung
Sanadnya bersambung maksudnya adalah bahwa setiap rawi
hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada
diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.[6] Sanad suatu hadits dianggap tidak
bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para
rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang
dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung,
apabila :
· Seluruh rawi
dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
· Antara
masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut
ketentuan tahamul wa ada al-hadits.[7]
D. Tidak Ber-illat
Maksudnya ialah bahwa hadits yang bersangkutan
terbebas dari cacat haditsnya. Yakni hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar
yang membuatnya, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya
cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang
shahih.[8]
E.
Tidak Janggal (Syadz)
Syadz
adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang
lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan
rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya
atau hapalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain
itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena
kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang
bersangkutan.[9]
Sebenarnya
kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat
sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup
potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya.
Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus
kehilangan predikat ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain.
Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja
2.3
Klasifikasi Hadits Shahih
Hadits
shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih al-dzatih dan shahih
li ghairih, berikut penjelasannya :
1.
Hadits Shahih Al-Dzatih
Merupakan
hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal dan rawinya berada
pada tingkatan pertama. Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah
memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan rawinya berada pada tingkatan
kedua, maka hadits tersebut dinamakan hadits hasan.
2.
Hadits Shahih Li Ghairih
Merupakan hadits shahih yang tidak memenuhi
syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, rawinya adil yang tidak sempurna
dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain, hadits tersebut menjadi
hadits li ghairih. Dengan demikian shahih li
ghairih adalah hadits yang keshahihannya disebabkan oleh faktor lain
karena tidak memenuhi syarat secara maksimal. Misalnya hadits hasan yang
diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajatnya dari hadits hasan
menjadi derajat hadits shahih.[10]
2.4 Martabat Hadits Shahih
Mengingat bahwa mengetahui hadits shahih pada
sumber-sumber khusus yang memuat hadits shahih begitu penting, maka para ulama
membagi hadits shahih menjadi beberapa tingkatan.
Hadits shahih yang paling tinggi tingkatannya adalah
yang bersanadashatul asa’id. Kemudian beturut-turut sebagai berikut :
1. Hadits yang
disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim
2. Hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari sendiri
3. Hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim sendiri
4. Hadits yang
diriwayatkan oleh rawi lain yang sejalan dengan syarat
Al-Bukhari dan Muslim
5. Hadits
shahih menurut syarat selain Al-Bukhari dan Muslim, maksudnya bahwa pentakhrij
tidak mengambil hadits dari rawi-rawi atau guru-guru, seperti Al-Bukhari dan
Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan.[11] Akan tetapi hadits yang ditakhrijkan tersebut
dishahihkan oleh imam-imam hadits, seperti hadits Ibnu Khuzauimah, Shahih Ibnu
Hibban, Shahih Al-Hakim.
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai
Ashahhul A’sanid. sebagian mengatakan, sebagai berikut :
1. Riwayat ibn syibah az-zuhriy dari salim ibn
abdillah ibn umar dari ibn umar.
2. Sebagian lain mengatakan, ashahhul asanid adalah
riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari ‘Al qomah ibn Qois
Abdullah ibn mas’ud.
3. Imam bukhari dan yang lain mengatakan, sahahhul
asnid adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’ maula ibn umar dari ibn
umar. Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang paling utama yang
meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang yang paling utama
yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’ muta’akhirin cenderung
menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad dari imam syafi’I dari
imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang disebut dengan silsilah adz-
dzahab (rantai emas).
2.5 Karya-Karya yang Hanya Memuat Hadits Shahih
Ada beberapa
kitab yang akan saya paparkan dalam makalah ini, antara lain :
A. Shahih
Al-Bukhari
Kitab ini
disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah
Al-Bukhari Al-Jufi (dengan nisbat perwalian). Beliau lahir pada 194 H di
Kartank, suatu desa dekat Bukhara dan wafat di desa yang sama pada 256 H.
Dalam
menyusun kitabnya ini, beliau bermaksud mengungkap fiqh hadits shahih dan
menggali berbagai kesimpulan hukum yang berfaidah. Beliau
juga menjadikan kesimpulan tersebut sebagai judul bab. Oleh karena itu,
kadang-kadang beliau membuang seorang atau lebih dari awal sanad. Al-Bukhari
banyak mengulang-ulang hadits di beberapa tempat dalam kitabnya yang ada
hubungannya sesuai hasil penyimpulannya dalam hadits tersebut.[12]
B. Shahih Muslim
Kitab ini disusun oleh Imam
Muslim bin Al-Hajjaj Al-Naisaburi. Beliau lahir di kota Naisabur pasa 206 H dan
Wafat di kota yang sama pada 261 H.
Beliau adalah seorang imam agung dan
disegani. Beliau sangat antusias terhadap sunnah dan memeliharanya. Beliau
cukup lama berguru kepada dan senantiasa menyertai Al-Bukhari, dan oleh
karenanya beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan
Al-Bukhari.
Kitab Musnal Al-Shahih dan
disebut pula Al-Jami Al-Shahih disusun dengan metode yang berbeda dengan metode
yang dipakai oleh Al-Bukhari dalam menyusunnya kitab shahihnya. Perbedaan
metode penyusunan kitab ini adalah bahwa Muslim tidak bermaksud untuk
mengungkap fiqh hadits, melainkan ia bermaksud untukmengemukakan ilmu-ilmu yang
bersanad.Karena beliau meriwayatkan setiap
hadits dengan di tempat yang paling sesuai, serta menghimpun jalur-jalur dan
sanad-sanadnya di tempat tersebut. Sedangkan Al-Bukhari memotong-motong suatu
hadits di beberapa tempat dan pada pada setiap tempat ia sebutkan lagi
sanadnya.[13]
C. Shahih Ibnu Khuzaimah
Kitab ini disusun oleh Imam dan
Muhanditsin besar Abu Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin
Khuzaimah. Beliau dikenal sangat teliti,
sehingga dalam menshahihkan suatu hadits beliau menggunakan ungkapan yang
paling ringan dalam sanad.[14]
D. Sahih Ibnu Hibban
Kitab ini disusun oleh Imam dan
Muhanditsin Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti, beliau seorang
murid Ibnu Khuzaimah. Beliau memberi nama kitabnya dengan Al-Taqasim wa
Al-Anwa’. Kitab ini disusun dengan sistematika tersendiri, tidak berdasarkan
bab, juga tidak berdasarkan musnad, dan sulit untuk di ungkapkan.
Kitab ini telah disusun kembali
berdasarkan bab oleh Al-Amir Ala’uddin Abu Al-Hasan Ali bin Balaban Al-Farisi
Al-Hanafi dan diberi nama Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban.
Kedua kitab shahih Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban iniberisi hadits shahih menurut para penyusunnya, hanya saja
para ulama tidak sepakat terhadap mereka, bahkan banyak kritik terhadap hadits
mereka, disebabkan mereka terlalu mudah dalam menentukan dan memutuskan dan
menshahihkan suatu hadits.[15]
E. Al –
Muktharah
Kitab ini
disusun oleh Hafizh Dhiya’uddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi. Dalam
kitab Al-Risalat Al-Musthathafah, nama kitab ini
disebut Al-Hadits Al-Jiyad
Al-Mukhatarah Mimma Laisa fi Shahihain au Ahaditsina. Kitab ini hanya memuat
hadits yang dapat dipakai sebagai hujjah dan termasuk kitab yang seluruh
haditsnya shahih.[16] Kitab
ini disusun berdasarkan Musnad yang diurutkan sesuai urutan huruf mu’jam dan
bukan berdasarkan bab.
2.6 Permasalahan Hadits Shahih
Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau
tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang yang menerangkan hadits
shahih. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak
terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan
sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah
satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna.
Dalam artian tingkatdlabithnya berada pada tingkat kedua (lihat
tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya hadits itu
masuk dalam kategori haditsshahih lighoirihi. Dan apabila ada sebuah
hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu kelemahanpun dan
tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang pertama , maka hadits
itu dikatakan sebagai haditsshahih lidatihi.
Untuk hadits
shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan
yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan
lidatihi. Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan
naik derajatnya menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat
menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh
beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits
tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.
Adapun derajat hadist hasan sama dengan hadist shahih
dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah
hadist shahih. Oleh karena itu mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin (ahli
Ushul) berpendapat bahwa hadist hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan boleh
mengamalkannya.
Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun (garis
keras) yang menyatakan bahwa hadist hasan tidak ada, serta tidak dapat
dijadikan hujjah. Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat)
seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke
dalam jenis hadist yang bisa dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya
dibawah hadits sahih.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadits
shahih adalah hadits yang dinukilkan atau diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat
atau cacat, dan tidak janggal. Jadi suatu hadits dapat dikatakan sebagai
hadits shahih apabila telah memenuhi lima syarat tersebut. Hadits shahih
terbagi menjadi dua bagian, yaitu shahih
al-dzatih dan shahih li ghairih.
Dalam tingkatanya, hadits shahih memiliki beberapa tingkatan, dimana tingkatan
yang paling tinggi adalah asatul asa’id dan seterusnya
berturut-turut hadits yang baik disepakati atau diriwayatkan sendiri oleh
Bukhari dan Muslim. Banyak karya-karya yang memuat shahih shahih seperti shahih
al-bukhri, shahih muslim, shahih ibnu khuzaimah, shahih ibnu hibban, dan
al-mukhtarah.
Permasalahan dapat kita lihat
dari syarat-syarat hadits shahih itu sendiri, seperti rawi hadits yang tidak
kuat hapalannya, tidak adil, terdapat kejanggalan dan cacat yang dapat
menurunkan secara otomatis tingkatan hadits shahih tersebut.
Daftar
Pustaka
M.Solahudin
dan Agus Suyadi. 2010. Ulumul Hadits. Bandung :Pustaka Setia
Mujiyo,Drs.
1997. Ulum Al-Hadits 2. Bandung :PT.Remaja Rosdakarya
Soetari,Endang.
2000. Ilmu Hadits;Kajian Diriwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka
Al-Manna’ Al-Qaththan,Syaikh,2012.PengantarStudiIlmuHadits. Jakarta Timur
:PustakaAksara
[1] Drs.Mujiyo.Ulum
Al-Hadits 2.,PT.Remaja Rosdakarya,.h.2
[2] Ibid,.h.132
dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Ulum Hadits.Pustaka Setia,.h.141
[3] M.Solahudin
dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h141
[4] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[5] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[6]‘Itr.Op.Cit,.h.2
dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Op.Cit,.h.143
[7] Ismail.,Op.Cit,.h.128
dalam Ibid,.Op.Cit,.h.13
[8] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.4
[9] Endang
Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah dan Diriyah.Bandung : Mimbar
pustaka,.h.140
[10] M.Solahudin
dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h.144
[12] Endang
Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.143
[13] Endang
Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.145
[15] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.20
[16] Ibid,.Op.Cit,.h.146-147