Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Selasa, 13 Januari 2015

Tinta dan pena

Tinta dan pena
 Benda sederhana  Harganya tak seberapa tapi nilainya luar biasa  Wahana mengubah dunia
Tinta dan pena
 Simbol kecerdasan dan keterdidikan  Melahirkan kemajuan dan peradaban  Tuhan bersumpah dengannya
Tinta dan pena
 Perekam berbagai penemuan  Penyebar ilmu pengetahuan  Tak terhitung literatur dan kepustakaan  Bertebaran di semua negeri  Tuhan bersumpah dengannya
Tinta dan pena
 Menghilangkan sekat generasi  Merobohkan batas geografi  Ilmu pengetahuan menjadi milik bersama  milik kita bersama  Tuhan bersumpah dengannya
Tinta dan pena
 Membebaskan manusia  dari kebodohan dan kegelapan  Mendorong kemajuan mendatangkan pencerahan  Dan Tuhan bersumpah dengannya 
 
~ johan Effendi~
S Sumber : Khoirudin,Azaki, buku Nun-Tafsir Gerakan Al-Qalam: Implikasi QS Al-Qalam ayat 1 dengan Paradigma Gerakan IPM
 

Sistem Perkaderan IPM





Oleh : Ahmad Fanani (PW IPM Jawa Tengah)


“Di dunia ini tak ada yang abadi kecuali perubahan. Perubahan system perkaderan dengan demikian merupakan suatu keniscayaan”.
 (Dr. Khoiruddin Bashori)
Bagi organisasi kader seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah, perkaderan merupakan  suatu bagian integral yang menjadi elan vital dan mempunyai peran strategis serta posisi sentral dalam upaya melangsungkan agenda gerakan menuju ciata- cita ideal mewujudkan masyarakat islam yang sebenar- benarnya. Tanpa dukungan sistem perkaderan yang baik dan kontekstual, IPM tidak akan bisa bertahan dan melangsungkan gerakannya sesuai dengan khittah perjuangan yang dikibarkan. Tujuan yang dicita-citakan hanya akan menjadi hiasaan mimpi atau teks utopis tanpa adanya sokongan kader unggul yang memahami benar hakikat gerakan, karena pada hakikatnya kader adalah aksentuator dan ujung tombak perjuangan organisasi. Dengan demikian, keberadaan kader unggul yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi serta memahami benar  hakikat gerakan merupakan jaminan atas kelangsungan dan perkembangan organisasi dimasa depan.
Perkaderan sebagai suatu proses dan sistem pembinaan anggota untuk terwujudnya kualitas sumber daya manusia yang menjadi kekuatan pelaku dan ujung tombak gerakan menuju pencapaian yang di cita-citakan pada hakikatnya merupakan sesuatu yang sangat penting dan strategis. IPM tidak akan bertahan dan mampu melangsungkan gerakannya sesuai dengan misi dan tujuannya manakala tidak didukung dan digerakkan oleh para kadernya yang memahami hakikat IPM dan sekaligus memiliki kualitas yang unggul dalam menggerakkan organisasi. Kenyataan yang demikian makin memperteguh pandangan betapa penting dan strategis posisi dan peran kader dalam IPM. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah peran strategis perkaderan IPM tidak hanya berimplikasi pada kelangsungan organisasi pelajar ini sendiri, melainkan juga mempunyai korelasi positif bagi perkembangan dan kemajuan Muhammadiyah sebagai inang dari organisasi ini. Karena sebagai organisasi otonom, idealnya IPM merupakan pemasok utama kader penerus muhammadiyah.  Sebagaimana termaktub dalam tanfidz terbarunya bahwa IPM adalah lembaga kaderisasi yang salah satu fungsinya adalah melakukan proses penyiapan kader-kader untuk terlibat dalam aktifitas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang lebih luas dari lingkup IPM. Dan satu pertimbangan yang tidak bisa dipungkiri IPM adalah bahwa IPM merupakan organisasi otonom Muhammadiyah dan berfungsi menjaga proses kaderisasi di Muhammadiyah. ltu artinya IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah.

Perkaderan: Unteleologis Process
Perkaderan merupakan pendidikan atas realitas yang selelu mengikuti hukum perubahan, never ending proses yang unteleologis.  Seperti halnya pendidikan, perkaderan juga harus dijalani sepanjang hayat dalam kapasitasnya sebagai anggota atau fungsionaris pimpinan organisasi. Merujuk pada asal dan makna katanya,  kader dalam bahasa perancis adalah cadre yang berarti bagian inti tetap dari suatu resimen; kelompok elit yang terpilih karena terlatih dengan baik. Jadi kader merupakan kelompok elit yang smapta dan terlatih dengan baik, yang menjadi tulang punggung organisasi dengan kualitas dan nilai lebih yang dimiliki. (Asep Purnama Bakhtiar, Kedaulatan Rakyat, 19/9194 dalam Asep P.B, Membaca ulang Dinamika Muhammadiyah). Sebagai kelompok elit terpilih dan terlatih yang mempunyai kualifikasi dan nilai lebihnya, maka kader- kader tersebut tidak bisa dilahirkan dalam tempo yang singkat (instan)., tanpa melalui proses pelatihan dan kaderisasi yang mapan. Kader–kader tersebut terbentuk melalui pembinaan dalam ajang pelatihan dan wahana proses didik diri yang terencana, bertahap dan berkelanjutan(perkaderan formal, informal, dan nonformal).  Pada dasarnya, pembentukan kader itu tidak bisa lepas dari proses kaderisai  dan pendidikan yang harus dijalaninya dalam kurun waktu yang tak terbatas.
Sebagaimana perubahan adalah keniscayaan, laju regenerasi kepemimpinan terus bergulir mengikuti arus waktu yang tak bisa dielakkan. Proses perkaderan  merupakan upaya preventif atas tuntutan regenerasi dan upaya melangsungkan agenda mencapai tujuan mewujudkan masyarakat islam sebenar-benarnya dalam jangka panjang. Dalam setiap tahap dan periode keberadaan kader sangat diperlukan sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna cita – cita besar organisasi. Disamping itu, keberadaan kader mapan yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi tinggi secara berkesinambungan, akan menjadi salah satu parameter keberhasilan IPM dalam penataan kader dan pengembangan organisasi secara akseleratif, sesuai dengan dinamika dan tuntutan zaman.
Sebagai organisasi otonom Muhammadiyah dengan ketersediaan fasilitas dan sumber anggota yang melimpah, mustahil rasanya bagi IPM mengalami krisis kader. Namun, ekalipun melimpah anggota yang diperlukan, tetapi seringkali kapasitasnya dibawah standar (under estimate dan underquality). Jika hal ini terus berlanjut, maka muncul skeptisisme kedepan IPM akan mengalami penurunan kualitas gerak dan involusi. Oleh karenanya, IPM memang dituntut untuk melakukan reformulasi perkaderan jika memang ingin merancang masa depan yang lebih baik dengan keunggulan dan andalan sumber daya manusianya. Pada tingkat konsep atau pemikiran harus di sepakati mengenai hakikat perkaderan dalam IPM yang selama ini mengalami kegamangan konseptual. System perkaderan harus terus dikontekstualkan dengan arus kemajuan zaman, jangan sampai kemajuan zaman mengikuti deret ukur sedangkan perkaderan mengikuti deret hitung.
Pasca muktamar XVI Surakarta IPM menegaskan diri kembali ke khittah perjuangan dengan nama IPM dan mendeklarasikan diri untuk menjadi “pelopor gerakan advokasi pelajar yang berkemajuan”. Momen perubahan ini semestinya tidak sekedar pergantian nama dan atribut logistic, kredo yang diusung tidak sekadar menjadi kata mutiara namun semestinya benar-benar diartikulasikan dan dimanifestasikan melalui penataan kembali dan pembaruan gerakan dengan komitmen teguh untuk terlibat aktif pada persoalan-persoalan riil di tingkatan pelajar. Konsekuensinya, agenda revitalisasi dan reformulasi perkaderan adalah sesuaatu yang tak terelakkan. Dan mesti ada upaya integral dan holistic dari seluruh elemen organisasi untuk mewujudkan agenda besar ini, dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada untuk konsen pada daratan kepelajaran.
  
Evolusi SPI: Merah, Biru, Hijau, ……. Kuningkah?
Dalam perjalanannya, SPI mengalami beberapa kali formulasi dan perubahan. Penyusunan SPI diawali pada periode 1986 yang kemudian dikenal dengan SPI Merah. Pada awal 1990-an, SPI Merah ini menghadapi kritik beberapa kader karena isinya secara umum dogmatis, kurang dialogis, eksklusif dan kurang mencerminkan sebuah system pemikiran seorang kader. Kritik atas SPI Merah ini kemudian diakomodir dengan kelahiran SPI Biru pada tahun1993. Pada tahun 1998, SPI Biru kembali menghadapi gugatan dari kelompok minoritas di tingkat elit, dengan alas an bahwa SPI Biru dari segi content terlihat gemuk, menggelembung, dan kurang sistematis. Lantas muncul model- model perkaderan formal yang kurang memperhatikan panduan SPI banyak pimpinan ditingkat local yang melakukan kreasi model perkaderan yang diramu dari satu unsure ke unsure lain. Walhasil, muktamar 2000 di Jakarta merekomendasikan PP IRM untuk meninjau ulang SPI Biru dan melakukan rekonstruksi yang kemudian melahirkan SPI Baru yang selanjutnya dikenal dengan SPI Hijau.
SPI hijau sebagai sebuah satuan kurikulum perkaderan diidealkan bisa melahirkan kader-kader unggul dan berbobot serta mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan nilai-nilai gerakan melalui rangkaian proses perkaderan yang terencana, berjenjang dan berkelanjutan. Sebagai sebuah anti-tesis dari SPI sebelumnya, sistem perkaderan yang lahir dari TMU Tawang Mangu ini mencoba mengakomodir kekurangan SPI terdahulu dengan merapikan system, memperjelas terminology, elaborasi matan, dan memperluas implikasi. Upaya ini dilakukan melalui tiga jalur yaitu, penjenjangan, materi dan follow up. Proses penjenjangan dalam SPI Hijau dipersempit dengan mengutamakan perkaderan formal utama, dan setelahnya baru pelengkap dan pendukung. Materi di buat lebih fleksibel untuk menjembatani penyeragaman dengan membuka ruang kreasi materi local. Dan upaya penjagaan dan elaborasi dilakukan melalui proses pendampingan ( Follow Up ). Sekilas SPI ini terlihat sangat ideal baik konsep, materi maupun sebagai satuan system perkaderan. Namun dalam ranah praksis di akar rumput, banyak teridentifikasi problematika dalam penerapannya. Problematika penerapan SPI Hijau tersebut antara lain:
1.         Macetnya proses transformasi nilai-nilai kekaderan, terminology, konsep, bahkan paradigma yang di usung dalam SPI Hijau. Dari pengalaman penulis di grass root, banyak anggota dan kader ex-trainer Taruna Melati yang masih tak memahami benar konsep dan terminology yang melingkupi paradigma kritis transformative yang menjadi kredo SPI Hijau. Bahkan tidak sedikit sekaliber kader madya eks-trainer TM III masih  asing dengan falsafah gerakan yang menjadi pijakan paradigm ini.
2.       Di daratan akar rumput, materi yang direkomendasikan kurikulum SPI Hijau ini sering kali terkendala minimnya sumber daya pemateri maupun fasilitator yang benar-benar capable manyampaikan materi-materi tersebut. Soft ware (materi) yang begitu ideal tak berarti tanpa ditunjang hardware (SDM) yang supportable.
3.       Tidak berjalannya proses need assessment yang semestinya menjadi dasar pijakan penyusunan materi pelatihan. Proses need assessment yang menjadi prasyarat penyusunan materi pelatihan sering kali di abaikan, fasilitator di akar rumput sering kali sama sekali tidak hirau dengan basic wawasan dan pengetahuan peserta pelatihan sehingga pelatihan tidak berjalan optimal pun output yang dihasilkan tidak ideal  sesuai dengan yang diharapkan karena adanya kesenjangan antara basic wawasan peserta dengan materi, peserta diperkosa untuk menangkap materi yang melangit, perkaderan pun menjadi tidak kontekstual. Hal ini tak ubahnya dengan upaya doktrinasi, yang jelas sangat bertentangan dengan paradigma kritis yang mengusung pendidikan penyadaran.
4.        Adanya kesenjangan yang cukup tajam antara material kurikulum perkaderan dengan basic pengetahuan kader. Materi-materi yang di rekomendasikan dalam kurikulum SPI Hijau memang cukup ideal, namun sering kali hal ini justru menjadi determinan kendala pelatihan. Ada beberapa daerah yang berani berkreasi, melaksanakan TM dengan konsepnya sendiri meski lebih mirip pesantren kilat, dan ada daerah yang memaksakan diri dan memperkosa kader dengan materi yang sama sekali diluar jangkauannya. Hal ini bisa jadi karena rangkaian materi, konsep dan paradigma ini memang jauh dari tema diskursus ke-pelajar-an yang merupakan basis massa IPM.

Agenda Reformulasi
                Melihat vital dan strategisnya peran sentral perkaderan, rasanya ad urgensitas bagi IPM untuk melakukan agenda reformulasi dan revitalisasi perkaderan untuk mencapai target menjadi gerakan advokasi pelajar yang berkemajuan. Reformulasi sistem perkaderan mesti mempertimbangkan factor kendala, ketersediaan sarana, potensi organisasi dan aspek realitas akar rumput serta konteks lingkungan yang melingkupinya sehingga sistem perkaderan benar-benar kontekstual dan bisa menjawab tantangan zaman. Upaya yang bisa dipertimbangkan antara lain:
1.         Perkaderan IPM mesti benar-benar concern pada kepentingan pelajar dengan memperhatikan isu-isu yang melingkupi dunia ke-pelajar-an. Selama ini energy IPM banyak terkuras pada ambisi kritis transformative yang hanya ada pada diskusus tingkat elit dan kadang justru mengabaikan kepentingan sentral pelajar sebagai basis massanya. 
2.       Adanya penegasan bahwa nomenklatur pergantian nama dari IRM ke IPM bukanlah sekadar pergantia baju semata. Jangan sampai agenda menjadi gerakan advokasi pelajar yang berkemajuan hanya dianggap penting dan strategis di ranah slogan namun terlantar dalam kenyataan. Oleh karenanya, materi – materi yang diangkat hendaknya adalah tema – tema yang secara de facto menjadi diskursus ke-pelajar-an.
3.       Adanya kesatuan dan keterpaduan antara ranah epistimologis ( teologi/falsafah gerakan ), ontologis ( paradigma ), dan methodologi ( instrumen analisis ).
4.        Adanya ketersediaan ruang public yang secara intens megupas topic-topik seputar tema besar kekaderan untuk proses introduksi dan menperlancar arus transformasi nilai-nilai gerakan. Berangkat dari asumsi bahwa kader tidak bisa lahir oleh proses instan, maka mesti ada ruang pubik yang secara intens membahas diskursus nilai-nilai gerakan yang memungkinkan adanya sharing literasi.
5.       Adanya upaya integral semua elemen organisasi untuk mendukung, mengawal, menjaga, dan meningkatkan kualitas kader.
Perkaderan dalam IPM memegang peran vital, serta menemapati posisi sentral dan strategis, namun pada realitanya masih banyak terdapat sejumlah problematika yang harus diselesaikan secara tuntas, baik yang berkaitan dengan rancang bangun konsep, sistem maupun aplikasinya. Momen pergantian nama IRM ke IPM semestinya tidak sekedar pergantian nama dan atribut logistic, kredo yang diusung tidak sekadar menjadi kata mutiara namun semestinya benar-benar diartikulasikan dan dimanifestasikan melalui penataan kembali dan pembaruan gerakan dengan komitmen teguh untuk terlibat aktif pada persoalan-persoalan riil di tingkatan pelajar. Konsekuensinya, agenda revitalisasi dan reformulasi perkaderan adalah sesuaatu yang tak terelakkan. Dan mesti ada upaya integral dan holistic dari seluruh elemen organisasi untuk mewujudkan agenda besar ini, dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada untuk konsen pada daratan kepelajaran.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Awalnya filsafat disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau segala hal, baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan perannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Filsafat Islam  ?
2. Siapa sajakah  Pelopor Filsafat Islam ?

BAB II
  PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM
A.  Faktor Munculnya Filsafat Islam
Pemikiran filsafat masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai kaum Muslimin pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve dijelaskan bahwa kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah-daerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, penguasa Macedonia (336-323 SM), setelah mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di kawasan Arbela (sebelah timur Tigris).
Alexander Agung datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya, ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah memunculkan pusat-pusat kebudayaan Yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antiokia di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia.
Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu nampak karena ketika itu perhatian penguasa Umayyah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah karena orang-orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan pusat.
Para Khalifah Abbasiyah pada mulanya hanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunani berikut dengan sistem pengobatannya. Tetapi kemudian mereka juga tertarik pada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman Khalifah Al-Makmun (198-218 H/813-833 M).
Kelahiran ilmu filsafat Islam tidak terlepas dari adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam.  Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban disebutkan bahwa usaha penerjemahan ini tidak hanya dilakukan terhadap naskah-naskah berbahasa Yunani saja, tetapi juga naskah-naskah dari bebagai bahasa, seperti bahasa Siryani, Persia, dan India.[1]
Perkembangan filsafat Islam, hidup dan memainkan peran signifikan dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-Dīn al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra saat di Persia, menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir, sebagian tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti Abd. al-Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar al-marhum, menjadi  pengikutnya.
Filsafat Islam di Persia, juga terus berkembang dan memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat pertentangan dari kelompok ulama Syi’ah. Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah Khoemeni, juga mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat Islam) selama berpuluh puluh tahun di Qum, sebelum memasuki arena politik, dan juga Murtadha Muthahhari, pemimpin pertama Dewan Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979, adalah seorang filosof terkemuka. Demikian pula di Irak, Muhammad Baqir al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang terkenal, adalah juga pakar filsafat Islam.[2]
B.  Periodisasi  Perkembangan  Filsafat  Islam
Jalaluddin dan Usman Said dalam bukunya Filsafat Pendidkan Islam Konsep dan Perkembangan mengemukakan perkembangan periodisasi filsafat pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Periode awal perkembangan Islam
Pemikiran mengenai filsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadis, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi Islam. Dengan kata lain, bahwa pemikiran pendidikan Islam dilihat dari segi al-Qur’an dan hadis, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti yang digambarkan oleh Islam. Pemikiran itu berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan yang dilihat dalam al-Qur’an dan hadis mendapatkan nilai ilmiahnya. Pada periode kehidupan Rasulullah Saw tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Qur’an yang diteladani oleh masyarakat dari sikap dan prilaku hidup Nabi Muhammad saw.
2. Periode klasik
Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa’ al-Rasyidun hingga awal masa imperialis Barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga awal abad ke-19.
            Walaupun pembagian ini bersifat tentative, namun terdapat beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian itu. Pertama, sistem pemerintahan; kedua, luas wilayah kekuasaan; ketiga, kemajuan-kemajuan yang dicapai; dan  keempat, hubungan  antar  negara.
Dari dasar pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa di awal periode klasik terlihat munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran mengenai pendidikan tersebut tampak disesuaikan dengan kepentingan dan tempat serta waktu. Beberapa karya ilmuan Muslim pada periode klasik yang karya-karyanya secara langsung memuat pembahasan  mengenai  pendidikan  yaitu:
Ibn Qutaibah (213-276 H), nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim Qutaibah al-Dainuri, keahliannya adalah bahasa Arab dan sejarah; karya yang terkenal : al-Ma’ani al-Kabirah, syakl al-Qur’an, Gharib al-Qur’an, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Fadhl al-Arab, al-Syi’r wa al-Syu’ara; al-Ma’arif, al-Radd ‘ala al Jahimmiyah wa al-Musyibbihah, Imamah wa al-Siyasah, dan ‘Uyun al-Akhbar. Pemikirannya menyangkut tentang masalah pendidikan bagi kaum wanita, ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilai bagi yang mengembangkannya.
Perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode klasik ini masih menyimpan tokoh-tokoh seperti ; Ibnu Masarrah (269-319) yang pemikirannya menyangkut tentang jiwa dan sifat-sifat manusia, Ibnu Maskawaih (330-421), pemikirannya tentang pentingnya pendidikan akhlak, Ibnu Sina (370-428), karya besarnya as-Syifa dan al-Qanun al-Tibb sebuah karya ensiklopedi kedokteran, dan Al-Gazali (450/1058-505/1111 M), karya besarnya sering menjadi acuan berbagai pandangan masyarakat dan sangat terkenal yaitu Ihya’ Ulum al-Din, menurutnya bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat mengantarkan manusia kepada keridhaan Allah swt., yang tentunya selamat hidup dunia dan akhirat.
3. Periode Modern
Periode modern merujuk pada pembagian periodesasi sejarah Islam, yaitu menurut Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. periode ini ditandai dengan dikuasainya Bani Abbas dan Bani Ummaiyah secara politik dan dilumpuhkan oleh imperialis Barat. Namun ada tiga kerajaan besar Islam yang masih memegang hegemoni kekuasaan Islam, yaitu Turki Usmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), kerajaan Safawi (Persia), dan kerajaan Mughol (India).
Beberapa pemikir pendidikan yang tersebar di sejumlah kekuasaan Islam tersebut sebagai tokoh yang ada kaitannya dengan perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode modern, seperti:
Isma’il Raj’i al-Faruqi (1921-1986), membidangi secara profesional bidang pengkajian Islam, pemikirannya tersebar di berbagai dunia Islam, dan karya pentingnnya; Cristian Ethics, An Historical Atlas of Religions of the World, Trialogue of Abrahamic Faith, dan The Cultural Atlas of Islam, pandangannya bahwa umat Islam sekarang berada dalam keadaan yang lemah, dan dualisme sistem pendidikan yang melahirkan kejumudan dan taqlid buta. Oleh sebab itu pendidikan harus dikembangkan ke arah yang lebih modern dan berorientasi  ketauhidan.
Puncak dari pemikiran filsafat pendidikan Islam periode modern terangkum dalam komperensi pendidikan Islam sedunia di Makkah tahun 1977 sebagai awal pencetusan konsep tentang penanganan pendidikan Islam. Selanjutnya di Islamabad (1980) menghasilkan pedoman tentang pembuatan pola kurikulum, di Dhakka (1981) menghasilkan tentang perkembangan buku teks, dan di Jakarta (1982) telah menghasilkan tentang metodologi pengajaran.
C.  Ciri - Ciri Filsafat  Islam
Filsafat Islam  mempunyai ciri-ciri  sebagai berikut :
1.      Sebagai Filsafat Relegius.                                                                                                                                                                                              
Topik-topik filsafat Islam bersifat relegius, dimulai dengan meng-Esakan Tuhan dan menganalisis secara universal dan menukik ke teori keTuhanan yang tak terdahuluaisebelunya. Seolah-olah menyaingi alairan kalamiah Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang mengoreksi kekurangan nya dan berkonsentrasi mengambarkan Allah Yang Maha Agung dalam pola yang berlandasan tajrid (pengabstrakan), tanzih (penyucian), keesaan mutlak dan kesempurnaan total. Dari Yang Esa ber-emanasi segala sesuatu. Karena Ia  pencita, maka Ia menciptakan dari bukan sesuau, menciptakan alam sejak azzali, mengatur dan menatanya. Karena alam merupakan akibat bagi-Nya, maka dalam wujud dan keabadian-Nya, maka Ia menciptakannya karena semata-mata anugerah-Nya.  
2.      Filsafat  Rasional.                                                                                                                                                                                             
Akal manusia juga merupakan salah satu potensi jiwa dan disebut rasional soul. Walaupun berciri khas relegius-spritual, tetapi tetap bertumpu pada akal dalam menafsirkan problematika ketuhanan, manusia dan alam, karena wajib al-wujud adalah akal murni. Ia adalah obyek berpikir sekaligus obyek pemikiran.
3.      Filsafat Sinkretis                                                                                                                                                                           
Filsafat Islam memadukan antara sesama filosof. Memadukan berarti mendekatkan dan mengumpulkan dua sudut, dalam filsafat ada aspek-aspek yang tidak  sesuai dengan agama. Sebaliknya sebagian dari teks agama ada yang tidak sejalan dengan sudut pandang filsafat. Para filosuf Islam secara khusus konsentrasi mempelajari Plato dan Ariestoteles. Untuk itu mereka menerjemahkan dialog-dialog penting Plato. Republik, hukum, Themaus, Sophis, Paidon, dan Apologia (pidato pembelaan Socretes).
4.      Filsafat yang Berhubungan Kuat dengan Ilmu Pengetahuan
Saling take and give, karena dalam kajian-kajian filosof terdapat ilmu pengetahun dan sejumlah problematika saintis, sebaliknya dalam saintis terdapat prinsip-prinsip dan teori-teori filosofis.  Filosof Islam menganggap ilmu-ilmu pengetahuan rasional sebagai bagian dari filsafat.  Misalnya adalah buku As-Syifa’   milik Ibnu  Sina yang merupakan Encyclopedia,  Al-Qanun, kemudian Al-Kindi mengkaji masalah-masalah matematis dan fisis. Al-Farabi mempunyai kajian Ilmu ukur dan mekanik.
D.  Tokoh – Tokoh  Filsafat  Islam
1.   Al-Kindi
Hidup  pada tahun 796-873 M  pada masa  khalifah al-Makmun dan  al-Mu’tashim. Al-Kindi  menganut aliran Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat.  Menurut Al-Kindi filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan. Kata Al-Kindi : Filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab dari segala yang benar. Masih menurut Al-Kindi kebenaran ialah bersesuaian apa yang ada dalam akal dan yang  ada diluar akal.
Di dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra. Benda-beanda ini merupakan juz’iyat. Yang terpenting bagi filsafat bukan  juz’iyat yang tak terhingga banyaknya, tetapi yang terpenting adalah hakekat yang terdapat dalam juz’iyat, yaitu kauliyat.  Kemudian filsafatnya  yang lain yaitu tentang jiwa d an  roh. [3]
2.  Al-Farabi
Al-Farabi hidup tahun 870-950 M, dia meninggal dalam usia 80 tahun. Filsafatnya yang terkenal adalah teori emanasi (pancaran). Filsafatnya mengatakan bahwa yang banyak ini timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu tidak berubah, jauh dari materi , jauh dari arti banyak, Maha sempurna dan tidak berhajat apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam  materi yang banyak ini dari yang Maha satu  ?
Menurut Al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi atau pancaran dari Tuhan yang berubah menjadi suatu maujud. Perubahan itu mulai dari akal pertama sampai akal kesepuluh. Kemudian dari akal kesepuluh muncullah berupa bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari empat unsur: api, udara, air dan tanah. Pada falsafat kenabian dia mengatakan bahwa Nabi dan rasul adalah pilihan, dan komunikasi dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri tetapi atas pemberian Tuhan.
3.  Ibnu Sina
Ibnu Sina lahir di Asyfana 980 M dan wafat di Isfahana tahun 1037 M. Pemikiran terpenting yang dihasilkan oleh Ibnu Sina adalah tentang jiwa.  Ibnu Sina juga menganut paham pancaran, jiwa manusia memancar dari akal kesepuluh. Dia membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan (nafsu nabatiyah), jiwa binatang ( nafsu hayanawiyah), dan jiwa manusia (nafsu  natiqah).
Filsafat tentang wahyu dan nabi ia berpendapat, bahwa Tuhan menganugrahkan akal meteriil yang besar lagi kuat yang disebut al-hads (intuisi). Tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif  dan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang seperti ini mempunyai daya suci (quwwatul qudsiyah). Ini bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Dari beberapa kajian diatas, filosof muslim dalam pemikirannaya selalu bersandar kepada Tuhan, meskipun rasio digunakan secara bebas dan radikal,  namun masih terkendali oleh wahyu yang merupakan  pangkal dari agama Islam.
4.      Ibnu Miskawaih (W. 1030 M).
Beliau lebih dikenal dengan filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya, Tahzib al-Akhlak. Menurutnya, akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran yang dibawa sejak lahir. Kemudian ia berpendapat bahwa jiwa tidak berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk tersendiri. Jiwa memiliki tiga daya yang pembagiannya sama dengan pembagian al-Kindi. Kesempurnaan yang dicari oleh manusia ialah kebajikan dalam bentuk  ilmu  pengetahuan dan tidak tunduk pada hawa nafsu  serta  keberanian dan  keadilan.
BAB III
PENUTUP
1.       Kesimpulan
Filsafat telah berkembang dan berubah fungsi dari induk ilmu pengetahuan menjadi semacam pendekatan dan perekat berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat dan terpisah satu dengan lainnya (interdisciplinary approach), dan lebih kental lagi bahwa filsafat sebagai alat analisis dalam memecahkan permasalahan filosofis dari dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia (philosophical analysis)
Perkembangan filsafat pendidikan Islam terbagi dalam periode awal jaman permulaan Islam yang dibawa Rasul Muhammad saw., dan khulafa al-Rashidin, periode klasik yang dimulai dari pasca pemerintahan khulafa al-Rashidun sampai awal masa imperialisme Barat, rentang itu dapat pula dimulai dari awal kekuasaan Bani Ummayyah sampai pada kemuduran kekuasaan Islam secara politis hingga abad ke-19, dan periode modern dan perkembangan filsafat pendidikan Islam yang mencuat dalam sebuah konferensi pendidikan Islam sedunia.
Perbandingan  antara  Filsafat Barat dan Filsafat Islam   adalah  sebagai berikut :
Persamaannya, sama-sama berpikir radikal, bebas. Kedua-duanya menggunakan logikal akal, dialektika.  Kedua-duanya berfikir tentang realitas alam, kosmologi.
Perbedaannya:
a.    Filsafat Barat  - Mengguakan rasio,  Berpijak pada hal-hal yang konkrit,   Hanya berfilsafat.
b.     Filsafat Islam  -   Berfilsafat  menggunakan akal dan  bersandar  pada wahyu, -   Ruang lingkup pembahasannya yang abstrak maupun konkrit, fisik maupun metafisik,    Berfilsafat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami realitas alam, Berfilsafat dimulai dengan keimanan kepada Allah.
2.      Saran
Di samping mempelajari ilmu dalam perspektif fardhu ‘ain. Juga tak kalah pentingnya mempelajari ilmu perspektif Fardhu Kifayah seperti Ilmu tentang Filsafat Islam serta sejarahnya.
DAFTAR PUSTAKA
 Arifin, H.M, 2000. Filsafat Pendidikan Islam.  Jakarta: Bumi Aksara.
 Jalaluddin dan Usman Said, 1999. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Rajawali Pers.
 Langgulung, Hasan, 1995. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
 www.republika.co.id
www.referensimakalah.com


 
Sumber : http://makalahkiita.blogspot.com/2013/10/sejarah-dan-perkembangan-filsafat-islam.html