Dakwah
pencerahan adalah dakwah yanh dilakukan untuk memberdayakan menjadi
manusia/masyarakat mandiri. Secara metodologis, konsep dakwah pencerahan ala
Muhammadiyah dilakukan dan meliputi tiga dimensi. Dimensi pertama, dakwah pencerahan
dalam arti membebaskan. Membebaskan manusia dari berbagai hal, bukan hanya
tahayul, bid’ah, dan khurafat, tetapi juga dari kemiskinan dan kebodohan.
Dimensi kedua, pemberdayaan. Yaitu membedayakan masyarakat, agar mereka mampu
hidup secara mandiri. Ini merupakan modal sosial yang sangat penting yang akan
membantu mendorong terciptanya masyarakat yang berkemajuan, sehingga tercipta
masyarakat khaeru ummah, sebagaimana diinginkan oleh Al-Qur’an. Simensi ketiga,
adalah dakwah yang bersifat memajukan masyarakat. Memajukan ini merupakan
konsep yang penting sebab dunia selalu berubah dan selalu terjadi kemajuan.
Dengan berbagai perkembangan teknologi, makan Muhammadiyah kemudian melakukan
berbagai kemajuan.
Muhammadiyah tidak bekerja menggunakan
otot, melainkan bekerja dengan otak. Secara sosiologis, Muhammadiyah juga
dikenal sebagai kelas menengah. Banyak para pendukung Muhammadiyah umumnya
berasal dari kelas menengah ini. Kyai Dahlan sendiri adalah berasal dari kelas
menengah; beliau merupakan seorang priyayi, adbi dalem keraton, seorang ulama
dan juga menekuni profesi sebagai pedagang. Para pendukungnya juga banyak dan
kaum pedagaang dan kaum terpelajar.
Kebanyakan masyarakat kelas menengah
tertarik dengan pengajian yang lebih mengedepankan ritual dzikir-dzikir serta
do’a-do’a tertentu. Pengajian di Muhammadiyah lebih memperhatikan aspek dzikir
dan fikir umat Islam dan manusia secara umum agar masyarakat tidak terdorong
hanya membenahi spiritualismenya saja, namun mereka mampu membenahi negeri ini.
Secara teoretik, definisi tentang kelas menengah sangat bervariasi. Max Weber
mendefinisikan elas mengah tiada lain adalah kelompok lapisan masyarakat yang
lebih terdidik, berkesadaran literasi tinngi, beretos kerja ulet, tidak mudah
putus asa, rasional dan sekaligus menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Karl
Marx, sebagai tokoh klasik, juga
mendifinisikan kelas menengah tiada lain adalah kamum borjuis, kelas pemilik
modal, yang umumnya bersifat parasit, eksploitatif, pemnghambat dan penindas
masyarakat kelas proletar, yaitu kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi,
yang dalam teologi al-Ma’un, disebut dengan mustadh’afin, kelompok masyarakat
yang lemah. Kelas menengah adalah penindas kaum dhu’afa.
Menarik bahwa menurut perhitungan ADB
(Asian Development Bank) jumlah kelas menengah di Indonesia senantiasa
mengalami penaikan dari waktu ke waktu. ADB menunjukkan, dalam sepuluh tahun
terakhir, terjadi peningkatan distribusi populasi kelompok menengah di
Indonesia dari sekitar 25 % pada tahun 1999 menjadi 43% atau sejumlah 93,3 juta
jiwa pada tahun 2009. Dalam pandangan BPS (Badan Pusat Statistik), kenaikan
jumlah lapisan menengah ini terjadi dengan seiring menyusutnya jumlah penduduk
miskin sejak 1999. Hampir di seluruh dunia sedang mengalami pertumbuhan atau
kenaikan dalam jumlah yang signifikan.
Naiknya
jumlah kelas menengah dalam sebuah negara juga berkontribusi positif secara
politik dan budaya. Tesis Almold dan Verba, misalnya, dinyatakan bahwa semakin
tinggi derajat ekonomi suatu negara akan semakin demokratis, begitu juga dengan
riset yang dikukan oleh Pew Global Attiude Survey, seperti di Chile, Rusia,
Polandia, Afrika Selatan, Malaysia, Meksiko, Brasil, Mesir dan India. Apakah
gejla tersebut juga berlaku di Indonesia?. Penelitian Merlyna dari Arizona State
University, Amerika Serikat di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masih pada
tahapa memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri, dan belum mampu memberdayakan
orang lain. Kelas menengah di Indonesia cenderung bersifat aautis dan abai dan
tidak peduli terhadap lingkungannya. Selain itu, tingkat kepatuhan terhadap
peraturan rendah (misalnya; bangga melanggar peraturan rambu-rambu di jalan
raya, tidak mengindahkan infornasi dari crew pesawat untuk mematikan HP dan
alat elektronik lainnya saat pesawat sedang melaju di run way, suka membuang
sampah sembarang tempat, tidak mau tertib antri dan lain sebagainya). Alih-alih
produktif, kelas menengah di Indonesia sangat konsumtif juga apolitis.
Membenarkan tesis Karl Marx tentang kelas menengah, terutama di Indonesia
adalah penghisap darah rakyat dengan menjadi perampok berdasi dan suka
melakukan korupsi terhadap uang negara.
Muhammadiyah sebagai gerakan
pencerahan sudah semestinya membangun dan mengembangkan proposal dakwahnyanya
untuk masyarakat kelas menengah. Kelas menengah yang ideal yang harus
dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah kelas menengah yang bisa menjadi pelaku
tajdid (perubahan dan pembaruan), yang dengan modal iman, ilmu dan amalnya
mampu membuat kemajuan, progress, kebajikan di tengah masyarakat dan peradaban
global seperti saat ini. Kemudian perlu diktahui bahwa dunia sedang
menghadapi sembilan K: kelaparan,
kemiskinan, ketimpangan, kebodohan, kemerosotan, kerusakan, kekerasan,
ketidakadialan, dan korupsi. Pada tahap dan untuk kepantingan inilah,
seharusnya dakwah Muhammadiyah kepada kaum kelas menengah seharusnya dilakukan.
Menurt Elizabeth Warren, Amerika mampu
berdiri sebagai super adidaya, karena adanya kelompok kelas menengah yang
banyak dan kuat (Strong middle class). Amerika mampu hidup dan mempertahankan
life style kelas menegahnya di atas tumpukan hutang. Sehingga sejatinya mereka
keropos dari dalam. Uang dan barang, siapa saja yang memiliki kedua sumber
pokok tersebut akan menggenggam dunia. Tak perlu diragukan lagi bahwa IMF
adalah biang kekacauan di dunia. Karena kekuatannya, IMF berhasil memaksa
negara-negara terutama negara berkembang untuk berhutang. Daftar tour IMF yang
telah terbukti dalam catatan sejarah menyebabkan krisis ekonomi pada negara
brsangkutan : a. Chile pada tahun 1973, b. Zaire pada tahun 1980, c. Rumania
pada tahun 1982, d. Rusia pada tahun 1992, e. Indonesia pada tahun 1997, f.
Brazil pada tahun 1998, g. Argentina pada tahun 2001, h, Latvia pada tahun 2010
dan i. Yunani pada tahun 2010. Di negeri Amerika sendiri, menurut Rainjan
Sarkar dan Ravi Batara, terdapat tiga kelompok yang sangat menentukan bulat
lonjongnya Amerika. Ketiga kelompok tersebut yakni, kelompok intelektual (rule
og ideas), acquisitor (rule of wealth), dan warrior (rule of force). Presiden
Amerika, John F. Kennedy membenarkan hal itu. Ia pernah mengungkapkan bahwa
“ada plot di negeri ini untuk memperbudak setiap orang, sebelum saya
meninggalkan jabatan dan mulia, saya berniat untuk mengekspos plot ini”.
Masyarakat
kapitalisme adalah masyarakat konsumen. Konsumsi merupakan barang penting dalam
abad modern yang serba materi sekarang ini, sehingga muncul adigium yang
berlaku bahwa hidup manusia dalam balutan kapitalisme, hanyalah sekedar work,
eat, buy, konsume then die. Ada tiga tipe penduduk dunia; Mereka yang membuat
sesuatu terjadi, mereka yang menonton sesuatu terjadi, dan mereka
bertanya-tanya apa yang terjadi. Dalam survey Happy Planet Index, Indonesia
termasuk dalam kategori negara miskin tapi bahagia (poor but happy), bersam dengan
negara Bhutan, Burma, Cina, India, Laos, Malaysia, Maroko, Pakistan, Filipina,
Thailand, dan Vietnam. Sementara itu negara yang termasuk miskin dan tidak
bahagia adalah Kamboja, Etiopia, Georgia, Irak, Kenya, Madagaskar, Mongolia,
Nogeria, Polandia, Rusia, Sudan, dan Uganda. Negara kaya dan bahagia adalah
Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, Jerman, Belanda, Singapura, Swedia dan
Swiss. Negara kaya namun tidak bahagia adalah Australia, Kanada, Yunani, Iran,
Jepang, Kuwait, Luxemburg, Selandia baru, Norwegia, Spanyol, Inggris dan
Amerika. Kissinger mengatakan; Control oil and
you contrl nations, control food and you control people.
Dalam hal benih dan bahan baku poko
dalam indistri pangan, misalnya dikuasai oleh Dupon, Mosanto, Syngenta, dan
Limograin. Keempat raksasa tersebut menguasai dan mendominasi lebih dari 50%
industri bibit dunia. Sementara itu, Cargill, Bunge dan ADM menguasai lebih
dari 90% perdaganagan gandum sejagad. Industri makanan dunia nyaris dikuasai
oleh Nestle. Perusahaan ini merupakan perusahaan makanan terbesar di dunia. Konsumsi
masyarakat Indonesia tidak disuplai oleh negara tetapi disediakan oleh
perusahaan global. Soekarno jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa urusan
pangan adalah hidup-mati bangsa. Sampai pada tahapan ini, kondisi tersebut
membuat Muhammadiyah berada dalam posisi dilematis dalam melakukan penguatan
kebijakan dan mempengaruhi dunia dalam bidang ekonomi. Pada sisi yang lain,
perbankan yang didirikan/dirintis oleh Muhammadiyah pun “guling tikar” karena
masih lemah dalam manajerial dan permainan perbankan dunia.
Nasr menggunakan istialah “kelas
menegah Muslim baru”. Seperti diungkapkan Nasr, konsumerisme menjadi salah satu
karakter kelas menengah Muslim baru di negara Muslim yang mengalami economic
booming. Tetapi, itu hanya sebagian saja dari keseluruhan kisah kelas menengah
Muslim baru. Indonesia sepanjang sejarah kebangkitannya, kelas menengah Muslim
baru semula bersikap a-polits vis-a-vis- rejim Soeharto; tetapi dengan segera
mereka menjadi salah satu pilar utama gerakan Indonesia menuju demokratisasi
Indonesia. Apa ukuran seseorang atau satu keluarga tertentu termasuk kelas
menengah (middle class)? Secara sederhana, ukrannya adalah perbelanjaan per
kapita sekitar 5-20 dollar (45.000-180.000) perhari. Sebaliknya, mereka dengan
pendapatan kurang dari jumlah itu, apalagi Cuma dua dollar perhari, termasuk
kelas bawah (lower class). Tegasnya bahkan miskin. Termasuk kelas menengah jika
memiliki gelar sarjana, pekerjaan tetap (apakah ayah atau ibu atau kedua-duanya)
dengan pemasukan tetap, rumah dan sejumlah kendaraan (meski secara cicilan) dan
sejumlah tabungan. Untuk tambahan lain, mampu membiayai liburan dengan segenap
anggota kelaurga minimal sekali dalam setahun. Sekitar 88,2 persen penduduk
Indonesia beragama Islam; sehingga ada orang yang berkata, jika batu
dilemparkan ke tengah kumpulan orang, ‘pastilah’ yang terkna lemparan itu
adalah orang Muslim. Berkat kemerdekaan, sejak akhir 1950an terjadi ekspansi
kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak bangsa pada berbagai tingkatannya. Hasil
ekspansi pendidikan tinggi ini jelas sudah. Sejak akhir 1960an dan selanjutnya
sampai sekarang terjadilah apa yang disebut almarhum Nurcholish Madjid sebagai
“panen sarjana” kaum Muslimin Indonesia. Mobilitas pendidikan dan intektual
hampir secara progresif menghasilkan mobilitas ekonomi dan sosial. Mereka yang
beroleh pendidikan, khususnya perguruan tinggi, dapat berbagai lapangan kerja
pada beragam sektor, yang sebelumnya tidak pernah diduduki kaum santri. Perkembangan
membaik dalam ekonomi dan keuangan ini menimbulkan berbagai dampak perubahan
yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Sekali lagi lihatlah dalam bidang
pendidikan. Berkat kondisi ekonomi dan keuangan keluarga yang kian stabil,
mereka dapat menabung untuk pendidikan anak-anak mereka. Sekolah dan madrasah
elit ini segera menjadi “status sosial” baru kelas menengah Muslim.
Mengingat amat pentingnya peran
pendidikan dalam mobilitas intelektual, ekonomi, sosial dan keagamaan
tantangan, dan tuntutan ke depan adalah meningkatkan mutu dan keterjangkauan
sekolah/madrasah, khususnya swasta. Hal ini tidak lain, karena masih banyak
sekolah/madrasah yang bukan hanya bermutu rendah, bahkan prasarana belajarnya
saja sangat memprihatinkan. Pertumbuhan lapisan kelas menengah Muslim yang
melibatkan proses santrinisasi dan resantrinisasi memunculkan berbagai dampak
luas dan panjang dalam berbagai lapangan kehidupan. Santrinisasi kelas menengah
Muslim selain lewat pendidikan, proses yang sama juga terlihat dalam bidang
keagamaan. Santrinisasi dan resantrinisasi yang berlangsung secara konstan
meningkatkan ‘kelengketan’ (attachment) kepada Islam. Dan ini terlihat dalam
berbagai gejala dan ekspresi keagamaan baik bersifat substantif maupun
simbolik.Gejala ini terlihat jelas dengan meningkat dan meluasnya pemakaian
jilbab. Peningkatan attachment itu juga
terlihat dari terus bertambahnya jumlah calon jamaah haji dari tahun ke tahun. Dengan
begitu, masa tunggu untuk bisa diberangkatkan menjadi kian dan makin panjang
atara enam sampai duabelas tahun. Hasilnya, kian banyak yang melakukan umrah,
yang disebut fiqh sebagai ‘haji kecil’ menurut berbagai kalkulasi jumlah jmaah
umrah setiap tahunnya lebih dari dua juta orang. Dengan berbagai ekspresi
attachment kepada Islam, kelas menengah Muslim Indonesia telah dan terus
menjadi tulang punggung proliferasi lembaga-lembaga Islam yang bergerak hampir
dalam seluruh bidang kehidupan. Bisa dipastikan, kecenderungan ini terus
meningkat di tahun-tahun mendatang. Harus diakui, ekspresi keagamaan kelas
menengah Muslim Indonesia lebih terfokus dalam bidan-bidang yang selama ini
sebagai ranah ‘Islam Kultural’.
Dalam
bidang politik, kelas menengah terlihat tidak memiliki dampak yang signifikan.
Sepanjang masa pasca-Soeharto, partai-partai Islam dan atau berbasis massa
Muslim gagal memperoleh dukungan suara signifikan dalam tiga kali Pemilu 1999,
2004 dan 2009. Bagi ahli dan pengamat asing kenyataan ini sulit mereka pahami
karena dalam persepsi mereka dengan terus meluasnya pemakaian jilbab, maka
kekuatan politik Islam pasti menemukan momentumnya pula sesuai dengan teori
‘jebakan demokrasi’ (demicracy trap) yang mereka percayai. Kenyataan ini pada
dasarnya merupakan konsekuensi dari santrinisasi dan resantrinisasi yang
mengakibatkan lumernya batas-batas kategori keagamaan kuno seperti ‘santri’ dan
‘abangan’ yang pernah memunculkan ‘politik aliran’. Dengan pelumeran
batas-batas itu, kelas menengah Muslim tidak lagi memberikan dukungan suaranya
atas dasar politik aliran tersebut.
Membicarakan
tentang kelas menengah, tidak bisa dilepaskan dari dunia kerja dan pendidikan.
Tulisan ini ingin membicarakan sekilas pengantar tentang dinamika keberagamaan
masyarakat kelas menengah dikaitkan dengan dua ranah utama kehidupan mereka,
yakni dunia kerja dan pendidikan. Dunia
kerja terutama Protestan dan Katholik mempunyai perbedaan yang sangat kontras
yakni etika kerja Protestan dinila progresif, sedangkan etika kerja Katholik
justru lebih berpihak pada status quo dan lebih mengedepankan “kondisi perekonomian
dan kehidupan masyarakat yang steady ... kerjasama, keamanan dan otoritas”.
Etika
profesional sedemikina rupa tidak melulu diperkenalkan manakala individu
memasuki dunia kerja. Pengenalan sejak kanak-kanak telah tertanam sejak usia
dini pada kecenderungan ibu-ibu Katholik yang lebih puas apabila anak-anak
mereka memperoleh pekerjaan dengan ciri adanya jaminan kstabilan dan keamanan
kerja, betapapun pekerjaan semacam itu kebanyakan memberikan status dan
penghasilan lebih rendah. Para ibu Yahudi dan Protestan berada pada kutub
seberang. Ada tiga jenis kebutuhan menurut David McCelland, kebutuhan akan
prestasi, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan akan afiliasi, warga
Protestan Amerika memiliki kebutuhan akan prestasi ebih tinggi ketimbang warga
Katolik. Berdasarkan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa keberhasilan
Amerika, dan spesifik warga Protestan Paman Sam, ditentukan oleh seberapa jauh
pula keberhasilan keluarga menginjeksikan nilai-nilai hidup sekaligus etika
kerja Protestan ke dalam anggota keluarga mereka sejak masih usia belia. Hanya
sekitar lima belas persen dari keluruhan subjek yang memandang bekerja sbagai
ibadah (calling). Gaya berpikir pragmatis sekuler, bercirikan pertimbangan
untung rugi, tetap merukan faktor dominan dibalik perilaku kerja sebagian besar
penelitian. Untuk mengubah perilaku individu adalah penting untuk mengubah
sikapnya trlebih dahulu juga ketika ransformasi dalam sebuah organisasi secara
kolektif. Sikap mendahului perilaku. Dunia dalam berlaku sebelum dunia luar.
Untuk menuju situasi yang lebih baik, perubahan tidak mutlak hsrus berawal
dengan perubahan dimensi yang tidak kasat mata. Justru dengan terlebih dahulu
mengubah aspek kasat mata (perilaku), sikap nantinya akan menyesuaikan dirinya.
Titik
krusial pendidikan ini bisa diamati secara nyata pada komunitas Yahudi,
masyarakat Yahudi yang tidak memiliki sentra pendidikan sungguh tak
terbayangkan. Orientasi pada menjadi kaum terdidik itu menemukan habitat
sempurna di masyarakat. Sepanjang 1930an hingg tahun 1990an, tokoh-tokoh
ternama Yahudi meningkat hingga 900%. Di kalangn Nobel laureates (penerima
hadiah Nobel), Yahudi terwakili sebanyak 30 hingga 40%. Sebuah angka yang luar
biasa. Kebanyankan orang Yahudi, prestasi bermakna sebagai keberhasilan
memperoleh pengetahuan agama yang diikuti dengan kesuksesan kerja. Fakta komunitas “mencandu” akan prestasi
menjadi peneguh akan pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Survey Pew Recearch
Center pada tahun 2009 di tiga belas negara sedang berkembang dengan middle income
menunjukkan bahwa kaum menengah, yang secara umum memiliki derajat kepuasan
lebih tinggi atas hidup mereka, juga mengalami pergeseran terkait nilai-nilai
hidup yang mereka anggap penting. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang
warga Amerika tempuh, semakin rendah keterlibatan agama dalam aktivitas
pengambila keputusan mereka sehari-hari. Demikian pula dikaitkan dengan tingkat
pendapatan, semakin tinggi pendapatan warga, semakin mimin pula mereka
menjadikan agama sebagai salah satu pertimbangan mereka dalam perbuatan
keputusan hidup. Deskripsi ringkas penulis, akan jauh dari sasarannya apabila
dakwah tetap berkutat pada sisi gelap manusia sebagai makhluk bergelimang dosa.
Dalam
nomenklatur Muhammadiyah, dakwah bil-hal atau praksis yang membebaskan,
meberdayakan, dan mencerahkan itulah yang kemudian hari disebut-sebut sebagai
dakwah ‘pencerahan’. Ciri kelas menengah ke atas antara lain, pertama:
kemapanan ekonomi dan profesi. Kedua, pendidikan dan intektual yang tinggi.
Ketiga, kedudukan dan status sosial yang tinggi. Dari segi perilaku sosial dan
keagamaan, kelas menengah ini memiliki tiga karakteristik. Pertama, tingkat
kemandirian yang tinggi. Kedua, pemikiran dan perilaku keagamaan yang kritis.
Ketiga, kebuthan akan pengakuan status yang diekspresikan melalui berbagai
perilaku sosial keagamaan. Setelah seratus tahun pergerakan Muhammadiyah di
tanah air, orang miskin, terlantar, tidak berpendidikan, kelas bawah masih ada
dan banyak, tetapi berbeda dari yang terdahulu, sekarang di berbagai kota di
Indonesia telah benar0benar muncul kelas menengah seperti yang digambarkan di
atas, kaya berkecukupan, terdidik-terpelajar, berwawasan luas, terpandang,
berpengaruh, dan begitu seterusnya. Tiga kata kuci penting yaitu, ‘penceahan’,
‘kelas menengah’, dan perspektif ‘teologis’. Teologi adalah juga world-view,
pandangan dunia, cosmology, pandangan hidup yang dibentuk oleh pemahaman dan
penafsiran seseorang, kelompok, madzhab pemikiran atau organisasi keagamaan
terhadap seperangkat system of belief yang dimiliki oleh agama. Teologi adalah
dinamis, memotivasi dan menggerakkan kehidupan, dan bukannya statis, melemahkan
dan mendiamkan persoalan. Ternyata, menurut hasil kajian sosio-antropologi
agama, pemikiran keagamaan dan keislaman sebenarnya tidak dapat dipisahkan
begitu saja dari perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya kapanpun dan
dimanapun. Dakwah pencerahan untuk kelas menengah ke atas hampir-hampir tidak
dapat dipahami urgensinya, sebelum para da’i dan juru dakwah mampu dan dapat
mendamaikan dan melerai pergumulan dan ketegangan pemikiran keagamaan yang ada
dalam dirinya sendiri, yang terrepresentasikan dalam pergumulan dan perdebatan
antara absolutist dan relativist tersebut.
Masih
ada lagi lima corak penafsiran teologi Islam. Pertama, apologetic
Interprestation (Interprstasi keagamaan yang bercorak apologetik, pembelaan
berlebihan pada jenis atau corak pemahaman, tafsiran dan pandangannya sendiri
atau kelompok dengan mengetepikan, menolak pandangan dan pemahaman yang lain).
Kedua, menyadari perlunya penafsiran dalam memahami teks-teks keagamaan yang
ada (mu’awwal). Ketiga, dalam memahami teks keagamaan diperlukan bukti
pendukung yang lain, pendukung dari keilmuan yang lain, misalnya (isti’nas).
Keempat, masih ada catatan-catatan kecil atau kritik minor yang perlu diajukan
dan penting untuk dipertimbangkan (fihi syai’). Kelima, bahkan ada yang
berpendapat bahwa diperlukan penafsiran yang radikal terhadap pemahaman dan
tafsiran keagamaan yang ada (radical interpretation).