Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Senin, 23 November 2015

DAKWAH PENCERAHAN KELAS MENENGAH

  
Dakwah pencerahan adalah dakwah yanh dilakukan untuk memberdayakan menjadi manusia/masyarakat mandiri. Secara metodologis, konsep dakwah pencerahan ala Muhammadiyah dilakukan dan meliputi tiga dimensi. Dimensi pertama, dakwah pencerahan dalam arti membebaskan. Membebaskan manusia dari berbagai hal, bukan hanya tahayul, bid’ah, dan khurafat, tetapi juga dari kemiskinan dan kebodohan. Dimensi kedua, pemberdayaan. Yaitu membedayakan masyarakat, agar mereka mampu hidup secara mandiri. Ini merupakan modal sosial yang sangat penting yang akan membantu mendorong terciptanya masyarakat yang berkemajuan, sehingga tercipta masyarakat khaeru ummah, sebagaimana diinginkan oleh Al-Qur’an. Simensi ketiga, adalah dakwah yang bersifat memajukan masyarakat. Memajukan ini merupakan konsep yang penting sebab dunia selalu berubah dan selalu terjadi kemajuan. Dengan berbagai perkembangan teknologi, makan Muhammadiyah kemudian melakukan berbagai kemajuan.
          Muhammadiyah tidak bekerja menggunakan otot, melainkan bekerja dengan otak. Secara sosiologis, Muhammadiyah juga dikenal sebagai kelas menengah. Banyak para pendukung Muhammadiyah umumnya berasal dari kelas menengah ini. Kyai Dahlan sendiri adalah berasal dari kelas menengah; beliau merupakan seorang priyayi, adbi dalem keraton, seorang ulama dan juga menekuni profesi sebagai pedagang. Para pendukungnya juga banyak dan kaum pedagaang dan kaum terpelajar.
          Kebanyakan masyarakat kelas menengah tertarik dengan pengajian yang lebih mengedepankan ritual dzikir-dzikir serta do’a-do’a tertentu. Pengajian di Muhammadiyah lebih memperhatikan aspek dzikir dan fikir umat Islam dan manusia secara umum agar masyarakat tidak terdorong hanya membenahi spiritualismenya saja, namun mereka mampu membenahi negeri ini. Secara teoretik, definisi tentang kelas menengah sangat bervariasi. Max Weber mendefinisikan elas mengah tiada lain adalah kelompok lapisan masyarakat yang lebih terdidik, berkesadaran literasi tinngi, beretos kerja ulet, tidak mudah putus asa, rasional dan sekaligus menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Karl Marx, sebagai tokoh klasik,  juga mendifinisikan kelas menengah tiada lain adalah kamum borjuis, kelas pemilik modal, yang umumnya bersifat parasit, eksploitatif, pemnghambat dan penindas masyarakat kelas proletar, yaitu kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi, yang dalam teologi al-Ma’un, disebut dengan mustadh’afin, kelompok masyarakat yang lemah. Kelas menengah adalah penindas kaum dhu’afa.
          Menarik bahwa menurut perhitungan ADB (Asian Development Bank) jumlah kelas menengah di Indonesia senantiasa mengalami penaikan dari waktu ke waktu. ADB menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan distribusi populasi kelompok menengah di Indonesia dari sekitar 25 % pada tahun 1999 menjadi 43% atau sejumlah 93,3 juta jiwa pada tahun 2009. Dalam pandangan BPS (Badan Pusat Statistik), kenaikan jumlah lapisan menengah ini terjadi dengan seiring menyusutnya jumlah penduduk miskin sejak 1999. Hampir di seluruh dunia sedang mengalami pertumbuhan atau kenaikan dalam jumlah yang signifikan.
Naiknya jumlah kelas menengah dalam sebuah negara juga berkontribusi positif secara politik dan budaya. Tesis Almold dan Verba, misalnya, dinyatakan bahwa semakin tinggi derajat ekonomi suatu negara akan semakin demokratis, begitu juga dengan riset yang dikukan oleh Pew Global Attiude Survey, seperti di Chile, Rusia, Polandia, Afrika Selatan, Malaysia, Meksiko, Brasil, Mesir dan India. Apakah gejla tersebut juga berlaku di Indonesia?. Penelitian Merlyna dari Arizona State University, Amerika Serikat di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masih pada tahapa memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri, dan belum mampu memberdayakan orang lain. Kelas menengah di Indonesia cenderung bersifat aautis dan abai dan tidak peduli terhadap lingkungannya. Selain itu, tingkat kepatuhan terhadap peraturan rendah (misalnya; bangga melanggar peraturan rambu-rambu di jalan raya, tidak mengindahkan infornasi dari crew pesawat untuk mematikan HP dan alat elektronik lainnya saat pesawat sedang melaju di run way, suka membuang sampah sembarang tempat, tidak mau tertib antri dan lain sebagainya). Alih-alih produktif, kelas menengah di Indonesia sangat konsumtif juga apolitis. Membenarkan tesis Karl Marx tentang kelas menengah, terutama di Indonesia adalah penghisap darah rakyat dengan menjadi perampok berdasi dan suka melakukan korupsi terhadap uang negara.
          Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan sudah semestinya membangun dan mengembangkan proposal dakwahnyanya untuk masyarakat kelas menengah. Kelas menengah yang ideal yang harus dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah kelas menengah yang bisa menjadi pelaku tajdid (perubahan dan pembaruan), yang dengan modal iman, ilmu dan amalnya mampu membuat kemajuan, progress, kebajikan di tengah masyarakat dan peradaban global seperti saat ini. Kemudian perlu diktahui bahwa dunia sedang menghadapi  sembilan K: kelaparan, kemiskinan, ketimpangan, kebodohan, kemerosotan, kerusakan, kekerasan, ketidakadialan, dan korupsi. Pada tahap dan untuk kepantingan inilah, seharusnya dakwah Muhammadiyah kepada kaum kelas menengah seharusnya dilakukan.
          Menurt Elizabeth Warren, Amerika mampu berdiri sebagai super adidaya, karena adanya kelompok kelas menengah yang banyak dan kuat (Strong middle class). Amerika mampu hidup dan mempertahankan life style kelas menegahnya di atas tumpukan hutang. Sehingga sejatinya mereka keropos dari dalam. Uang dan barang, siapa saja yang memiliki kedua sumber pokok tersebut akan menggenggam dunia. Tak perlu diragukan lagi bahwa IMF adalah biang kekacauan di dunia. Karena kekuatannya, IMF berhasil memaksa negara-negara terutama negara berkembang untuk berhutang. Daftar tour IMF yang telah terbukti dalam catatan sejarah menyebabkan krisis ekonomi pada negara brsangkutan : a. Chile pada tahun 1973, b. Zaire pada tahun 1980, c. Rumania pada tahun 1982, d. Rusia pada tahun 1992, e. Indonesia pada tahun 1997, f. Brazil pada tahun 1998, g. Argentina pada tahun 2001, h, Latvia pada tahun 2010 dan i. Yunani pada tahun 2010. Di negeri Amerika sendiri, menurut Rainjan Sarkar dan Ravi Batara, terdapat tiga kelompok yang sangat menentukan bulat lonjongnya Amerika. Ketiga kelompok tersebut yakni, kelompok intelektual (rule og ideas), acquisitor (rule of wealth), dan warrior (rule of force). Presiden Amerika, John F. Kennedy membenarkan hal itu. Ia pernah mengungkapkan bahwa “ada plot di negeri ini untuk memperbudak setiap orang, sebelum saya meninggalkan jabatan dan mulia, saya berniat untuk mengekspos plot ini”.
Masyarakat kapitalisme adalah masyarakat konsumen. Konsumsi merupakan barang penting dalam abad modern yang serba materi sekarang ini, sehingga muncul adigium yang berlaku bahwa hidup manusia dalam balutan kapitalisme, hanyalah sekedar work, eat, buy, konsume then die. Ada tiga tipe penduduk dunia; Mereka yang membuat sesuatu terjadi, mereka yang menonton sesuatu terjadi, dan mereka bertanya-tanya apa yang terjadi. Dalam survey Happy Planet Index, Indonesia termasuk dalam kategori negara miskin tapi bahagia (poor but happy), bersam dengan negara Bhutan, Burma, Cina, India, Laos, Malaysia, Maroko, Pakistan, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Sementara itu negara yang termasuk miskin dan tidak bahagia adalah Kamboja, Etiopia, Georgia, Irak, Kenya, Madagaskar, Mongolia, Nogeria, Polandia, Rusia, Sudan, dan Uganda. Negara kaya dan bahagia adalah Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, Jerman, Belanda, Singapura, Swedia dan Swiss. Negara kaya namun tidak bahagia adalah Australia, Kanada, Yunani, Iran, Jepang, Kuwait, Luxemburg, Selandia baru, Norwegia, Spanyol, Inggris dan Amerika. Kissinger mengatakan; Control oil and  you contrl nations, control food and you control people.
          Dalam hal benih dan bahan baku poko dalam indistri pangan, misalnya dikuasai oleh Dupon, Mosanto, Syngenta, dan Limograin. Keempat raksasa tersebut menguasai dan mendominasi lebih dari 50% industri bibit dunia. Sementara itu, Cargill, Bunge dan ADM menguasai lebih dari 90% perdaganagan gandum sejagad. Industri makanan dunia nyaris dikuasai oleh Nestle. Perusahaan ini merupakan perusahaan makanan terbesar di dunia. Konsumsi masyarakat Indonesia tidak disuplai oleh negara tetapi disediakan oleh perusahaan global. Soekarno jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa urusan pangan adalah hidup-mati bangsa. Sampai pada tahapan ini, kondisi tersebut membuat Muhammadiyah berada dalam posisi dilematis dalam melakukan penguatan kebijakan dan mempengaruhi dunia dalam bidang ekonomi. Pada sisi yang lain, perbankan yang didirikan/dirintis oleh Muhammadiyah pun “guling tikar” karena masih lemah dalam manajerial dan permainan perbankan dunia.
          Nasr menggunakan istialah “kelas menegah Muslim baru”. Seperti diungkapkan Nasr, konsumerisme menjadi salah satu karakter kelas menengah Muslim baru di negara Muslim yang mengalami economic booming. Tetapi, itu hanya sebagian saja dari keseluruhan kisah kelas menengah Muslim baru. Indonesia sepanjang sejarah kebangkitannya, kelas menengah Muslim baru semula bersikap a-polits vis-a-vis- rejim Soeharto; tetapi dengan segera mereka menjadi salah satu pilar utama gerakan Indonesia menuju demokratisasi Indonesia. Apa ukuran seseorang atau satu keluarga tertentu termasuk kelas menengah (middle class)? Secara sederhana, ukrannya adalah perbelanjaan per kapita sekitar 5-20 dollar (45.000-180.000) perhari. Sebaliknya, mereka dengan pendapatan kurang dari jumlah itu, apalagi Cuma dua dollar perhari, termasuk kelas bawah (lower class). Tegasnya bahkan miskin. Termasuk kelas menengah jika memiliki gelar sarjana, pekerjaan tetap (apakah ayah atau ibu atau kedua-duanya) dengan pemasukan tetap, rumah dan sejumlah kendaraan (meski secara cicilan) dan sejumlah tabungan. Untuk tambahan lain, mampu membiayai liburan dengan segenap anggota kelaurga minimal sekali dalam setahun. Sekitar 88,2 persen penduduk Indonesia beragama Islam; sehingga ada orang yang berkata, jika batu dilemparkan ke tengah kumpulan orang, ‘pastilah’ yang terkna lemparan itu adalah orang Muslim. Berkat kemerdekaan, sejak akhir 1950an terjadi ekspansi kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak bangsa pada berbagai tingkatannya. Hasil ekspansi pendidikan tinggi ini jelas sudah. Sejak akhir 1960an dan selanjutnya sampai sekarang terjadilah apa yang disebut almarhum Nurcholish Madjid sebagai “panen sarjana” kaum Muslimin Indonesia. Mobilitas pendidikan dan intektual hampir secara progresif menghasilkan mobilitas ekonomi dan sosial. Mereka yang beroleh pendidikan, khususnya perguruan tinggi, dapat berbagai lapangan kerja pada beragam sektor, yang sebelumnya tidak pernah diduduki kaum santri. Perkembangan membaik dalam ekonomi dan keuangan ini menimbulkan berbagai dampak perubahan yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Sekali lagi lihatlah dalam bidang pendidikan. Berkat kondisi ekonomi dan keuangan keluarga yang kian stabil, mereka dapat menabung untuk pendidikan anak-anak mereka. Sekolah dan madrasah elit ini segera menjadi “status sosial” baru kelas menengah Muslim.
          Mengingat amat pentingnya peran pendidikan dalam mobilitas intelektual, ekonomi, sosial dan keagamaan tantangan, dan tuntutan ke depan adalah meningkatkan mutu dan keterjangkauan sekolah/madrasah, khususnya swasta. Hal ini tidak lain, karena masih banyak sekolah/madrasah yang bukan hanya bermutu rendah, bahkan prasarana belajarnya saja sangat memprihatinkan. Pertumbuhan lapisan kelas menengah Muslim yang melibatkan proses santrinisasi dan resantrinisasi memunculkan berbagai dampak luas dan panjang dalam berbagai lapangan kehidupan. Santrinisasi kelas menengah Muslim selain lewat pendidikan, proses yang sama juga terlihat dalam bidang keagamaan. Santrinisasi dan resantrinisasi yang berlangsung secara konstan meningkatkan ‘kelengketan’ (attachment) kepada Islam. Dan ini terlihat dalam berbagai gejala dan ekspresi keagamaan baik bersifat substantif maupun simbolik.Gejala ini terlihat jelas dengan meningkat dan meluasnya pemakaian jilbab.  Peningkatan attachment itu juga terlihat dari terus bertambahnya jumlah calon jamaah haji dari tahun ke tahun. Dengan begitu, masa tunggu untuk bisa diberangkatkan menjadi kian dan makin panjang atara enam sampai duabelas tahun. Hasilnya, kian banyak yang melakukan umrah, yang disebut fiqh sebagai ‘haji kecil’ menurut berbagai kalkulasi jumlah jmaah umrah setiap tahunnya lebih dari dua juta orang. Dengan berbagai ekspresi attachment kepada Islam, kelas menengah Muslim Indonesia telah dan terus menjadi tulang punggung proliferasi lembaga-lembaga Islam yang bergerak hampir dalam seluruh bidang kehidupan. Bisa dipastikan, kecenderungan ini terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Harus diakui, ekspresi keagamaan kelas menengah Muslim Indonesia lebih terfokus dalam bidan-bidang yang selama ini sebagai ranah ‘Islam Kultural’.
Dalam bidang politik, kelas menengah terlihat tidak memiliki dampak yang signifikan. Sepanjang masa pasca-Soeharto, partai-partai Islam dan atau berbasis massa Muslim gagal memperoleh dukungan suara signifikan dalam tiga kali Pemilu 1999, 2004 dan 2009. Bagi ahli dan pengamat asing kenyataan ini sulit mereka pahami karena dalam persepsi mereka dengan terus meluasnya pemakaian jilbab, maka kekuatan politik Islam pasti menemukan momentumnya pula sesuai dengan teori ‘jebakan demokrasi’ (demicracy trap) yang mereka percayai. Kenyataan ini pada dasarnya merupakan konsekuensi dari santrinisasi dan resantrinisasi yang mengakibatkan lumernya batas-batas kategori keagamaan kuno seperti ‘santri’ dan ‘abangan’ yang pernah memunculkan ‘politik aliran’. Dengan pelumeran batas-batas itu, kelas menengah Muslim tidak lagi memberikan dukungan suaranya atas dasar politik aliran tersebut.
Membicarakan tentang kelas menengah, tidak bisa dilepaskan dari dunia kerja dan pendidikan. Tulisan ini ingin membicarakan sekilas pengantar tentang dinamika keberagamaan masyarakat kelas menengah dikaitkan dengan dua ranah utama kehidupan mereka, yakni dunia kerja dan pendidikan.  Dunia kerja terutama Protestan dan Katholik mempunyai perbedaan yang sangat kontras yakni etika kerja Protestan dinila progresif, sedangkan etika kerja Katholik justru lebih berpihak pada status quo dan lebih mengedepankan “kondisi perekonomian dan kehidupan masyarakat yang steady ... kerjasama, keamanan dan otoritas”.
Etika profesional sedemikina rupa tidak melulu diperkenalkan manakala individu memasuki dunia kerja. Pengenalan sejak kanak-kanak telah tertanam sejak usia dini pada kecenderungan ibu-ibu Katholik yang lebih puas apabila anak-anak mereka memperoleh pekerjaan dengan ciri adanya jaminan kstabilan dan keamanan kerja, betapapun pekerjaan semacam itu kebanyakan memberikan status dan penghasilan lebih rendah. Para ibu Yahudi dan Protestan berada pada kutub seberang. Ada tiga jenis kebutuhan menurut David McCelland, kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan akan afiliasi, warga Protestan Amerika memiliki kebutuhan akan prestasi ebih tinggi ketimbang warga Katolik. Berdasarkan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa keberhasilan Amerika, dan spesifik warga Protestan Paman Sam, ditentukan oleh seberapa jauh pula keberhasilan keluarga menginjeksikan nilai-nilai hidup sekaligus etika kerja Protestan ke dalam anggota keluarga mereka sejak masih usia belia. Hanya sekitar lima belas persen dari keluruhan subjek yang memandang bekerja sbagai ibadah (calling). Gaya berpikir pragmatis sekuler, bercirikan pertimbangan untung rugi, tetap merukan faktor dominan dibalik perilaku kerja sebagian besar penelitian. Untuk mengubah perilaku individu adalah penting untuk mengubah sikapnya trlebih dahulu juga ketika ransformasi dalam sebuah organisasi secara kolektif. Sikap mendahului perilaku. Dunia dalam berlaku sebelum dunia luar. Untuk menuju situasi yang lebih baik, perubahan tidak mutlak hsrus berawal dengan perubahan dimensi yang tidak kasat mata. Justru dengan terlebih dahulu mengubah aspek kasat mata (perilaku), sikap nantinya akan menyesuaikan dirinya.
Titik krusial pendidikan ini bisa diamati secara nyata pada komunitas Yahudi, masyarakat Yahudi yang tidak memiliki sentra pendidikan sungguh tak terbayangkan. Orientasi pada menjadi kaum terdidik itu menemukan habitat sempurna di masyarakat. Sepanjang 1930an hingg tahun 1990an, tokoh-tokoh ternama Yahudi meningkat hingga 900%. Di kalangn Nobel laureates (penerima hadiah Nobel), Yahudi terwakili sebanyak 30 hingga 40%. Sebuah angka yang luar biasa. Kebanyankan orang Yahudi, prestasi bermakna sebagai keberhasilan memperoleh pengetahuan agama yang diikuti dengan kesuksesan kerja.  Fakta komunitas “mencandu” akan prestasi menjadi peneguh akan pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Survey Pew Recearch Center pada tahun 2009 di tiga belas negara sedang berkembang dengan middle income menunjukkan bahwa kaum menengah, yang secara umum memiliki derajat kepuasan lebih tinggi atas hidup mereka, juga mengalami pergeseran terkait nilai-nilai hidup yang mereka anggap penting. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang warga Amerika tempuh, semakin rendah keterlibatan agama dalam aktivitas pengambila keputusan mereka sehari-hari. Demikian pula dikaitkan dengan tingkat pendapatan, semakin tinggi pendapatan warga, semakin mimin pula mereka menjadikan agama sebagai salah satu pertimbangan mereka dalam perbuatan keputusan hidup. Deskripsi ringkas penulis, akan jauh dari sasarannya apabila dakwah tetap berkutat pada sisi gelap manusia sebagai makhluk bergelimang dosa.
Dalam nomenklatur Muhammadiyah, dakwah bil-hal atau praksis yang membebaskan, meberdayakan, dan mencerahkan itulah yang kemudian hari disebut-sebut sebagai dakwah ‘pencerahan’. Ciri kelas menengah ke atas antara lain, pertama: kemapanan ekonomi dan profesi. Kedua, pendidikan dan intektual yang tinggi. Ketiga, kedudukan dan status sosial yang tinggi. Dari segi perilaku sosial dan keagamaan, kelas menengah ini memiliki tiga karakteristik. Pertama, tingkat kemandirian yang tinggi. Kedua, pemikiran dan perilaku keagamaan yang kritis. Ketiga, kebuthan akan pengakuan status yang diekspresikan melalui berbagai perilaku sosial keagamaan. Setelah seratus tahun pergerakan Muhammadiyah di tanah air, orang miskin, terlantar, tidak berpendidikan, kelas bawah masih ada dan banyak, tetapi berbeda dari yang terdahulu, sekarang di berbagai kota di Indonesia telah benar0benar muncul kelas menengah seperti yang digambarkan di atas, kaya berkecukupan, terdidik-terpelajar, berwawasan luas, terpandang, berpengaruh, dan begitu seterusnya. Tiga kata kuci penting yaitu, ‘penceahan’, ‘kelas menengah’, dan perspektif ‘teologis’. Teologi adalah juga world-view, pandangan dunia, cosmology, pandangan hidup yang dibentuk oleh pemahaman dan penafsiran seseorang, kelompok, madzhab pemikiran atau organisasi keagamaan terhadap seperangkat system of belief yang dimiliki oleh agama. Teologi adalah dinamis, memotivasi dan menggerakkan kehidupan, dan bukannya statis, melemahkan dan mendiamkan persoalan. Ternyata, menurut hasil kajian sosio-antropologi agama, pemikiran keagamaan dan keislaman sebenarnya tidak dapat dipisahkan begitu saja dari perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya kapanpun dan dimanapun. Dakwah pencerahan untuk kelas menengah ke atas hampir-hampir tidak dapat dipahami urgensinya, sebelum para da’i dan juru dakwah mampu dan dapat mendamaikan dan melerai pergumulan dan ketegangan pemikiran keagamaan yang ada dalam dirinya sendiri, yang terrepresentasikan dalam pergumulan dan perdebatan antara absolutist dan relativist tersebut.
Masih ada lagi lima corak penafsiran teologi Islam. Pertama, apologetic Interprestation (Interprstasi keagamaan yang bercorak apologetik, pembelaan berlebihan pada jenis atau corak pemahaman, tafsiran dan pandangannya sendiri atau kelompok dengan mengetepikan, menolak pandangan dan pemahaman yang lain). Kedua, menyadari perlunya penafsiran dalam memahami teks-teks keagamaan yang ada (mu’awwal). Ketiga, dalam memahami teks keagamaan diperlukan bukti pendukung yang lain, pendukung dari keilmuan yang lain, misalnya (isti’nas). Keempat, masih ada catatan-catatan kecil atau kritik minor yang perlu diajukan dan penting untuk dipertimbangkan (fihi syai’). Kelima, bahkan ada yang berpendapat bahwa diperlukan penafsiran yang radikal terhadap pemahaman dan tafsiran keagamaan yang ada (radical interpretation). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar