![]() |
Sandi Ibnu Syam |
Tokoh-tokoh terkemuka BPUPKI dari pihak nasionalis
“sekuler” semuanya hasil didikan Barat – adalah Radjiman Wediodiningrat,
Soekarno, Mohammad Hatta, Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonagoro, Sartono, R.P.
Suroso, dan Buntaran Martoatmodjo. Sementara itu dari kelompok pembela dasar
Islam, juru bicara terkemuka Ki Bagus Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Abdul Kahar
Muzakkir, dan KH. Abdul Wahid Hasyim. Di dalam BPUPKI kemudian dibentuklah
sebuah panitia kecil yang beranggotakan 9 orang – karena itu disebut juga
Panitia Sembilan- untuk membahas prinsip-prinsip dasar Negara. Panitia Sembilan
orang akhirnya mencapai sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta
pada tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian menjadi preambul konstitusi yang
diajukan ke siding BPUPKI. Dalam alinea keempat piagam itu disebutkan bahwa
Negara berdasarkan Ketuhanan “dengan menjalankan syariat-syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Sebagai orang yang tidak termasuk dalam Panitia
Sembilan, Ki Bagus Hadikusumo kemudian
memepertanyakan ketujuh kata tersebu. Ia menginginkan kata-kata “bagi
pemeluk-pemeluknya” dibuang sehingga rumusannya menjadi Ketuhanan, dengan
kewajiban syariat Islam” saja. Pembicaraan tentang tujuh kata ini mengundang
perdebatan hangat, sebagaimana juga terjadi di Panitia Sembilan. Namun
akhirnya, Piagam Jakarta diterima pada tanggal 11 Juli 1945. Setelah proklamasi
kemerdekaan, para anggota PPKI diundang untuk mengadakan rapat darurat pada
tanggal 18 Agustus 1945. Ketika itu Jepang telah member tahu Hatta, bahwa kaum
nasionalis dan mereka yang benar-benar bukan muslim benar-benar keberatan
terhadap beberapa rumusan Islam dalam undang-undang dasar sementara itu. Maka,
sebelum rapat, Hatta mengadakan pertemuan informal dengan tokoh-tokoh Islam,
yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman singodimejo, dan Mr. Teuku
M. Hasan.
Dalam pertemuan itu, mereka sampai pada kesimpulan
bahwa dalam kenyataannya Indonesia hanya dapat menjadi satu kesatuan dan tetap
bersatu jika di dalam undang-undang dasar tidak terdapat suatu ketentuan yang
secara langsung berkaitan dengan Islam. Oleh karena itu, Piagam Jakarta
mengalami perubahan dengan implikasinya di dalam batang tubuh undang-undang.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kesempatan rapat PPKI
itu Soekarno dan Mohammad Hatta, masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua,
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bersifat sementara dan menjanjikan
bahwa pada suatu saat yang tepat, undang-undang yang lebih terperinci dan lebih
sempurna akan dirumuskan dalam Majelis Permusyawaratan Rakayat. Dalam
kesempatan itu, menurut keduanya, umat Islam dapat mengajukan aspirasi politik
keagamaannya.
Ki Bagus Hadikusumo, berbeda dengan
pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini ia memilih diam. Dalam hatinya ia
sebenarnya menolak ajakan Mohammad Hatta itu. Hal itu dikemukakannya kepada Mr.
Kasman, orang kepercayaannya, yang mendesaknya untuk menerima saran Hatta itu.
Akan tetapi, ia tidak ingin dituduh menyemai perpecahan. Untuk menyalurkan
ketidakpuasan dan amarahnya, ia segera mengirim kawat kepada Majelis Tanwir
Muhammadiyah, yang kebetulan bersidang di Yogyakarta. Ia meminta agar penutupan
siding ditunda sampai ia kembali dari Jakarta. Setelah sampai di Yogyakarta dan
memasuki siding Tanwir, ia kemudian mengemukakan ketidakpuasannya tentang apa
yang terjadi dengan pengesahan UUD 1945. Ia mengecam kalangan nasionalis
“secular” dalam PPKI. Ia pun mengingatkan Majelis Tanwir, dan secara tidak
langsung umat Islammasih perlu terus bersiap-siap menghadapi segala tantangan
pada masa berikutnya.
Piagam Jakarta kemudian mengalami perubahan pada
tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka. Perubahan itu
berkenaan dengan alinera keempat preambul, yang semula berbunyi “Ketuhan,
dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi
Ketuhan Yang Maha Esa”. Rumusan terakhir ini didapat atas usul Ki Bagus
Hadikusumo. Rumusan itu diusulkan karena menurutnya mempunyai pengertian yang
sama (tauhid). Sebagai juru bicara nasionalis Islami yang memperjuangkan Islam
sebagai dasar Negara, Ki Bagus Hadikusumo menulis sebuah buku berjudul Islam sebagai dasar Negara dan Akhlak
Pemimpin (Yogyakarta: Pustaka Rahayu, 1954) yang menggambarkan
pengalamannya sebagai anggota BPUPKI ketika ia berhadapan dengan golongan nasionalis
“secular”. Melalui karya ini, pemikirannya tentang politik dapat disimak. Ia
memperjuangkan penerapan hokum Islam di Indonesia dan membelanya terhadap
tuduhan-tuduhan yang menurutnya tidak tepat sasaran. Ia mengatakan, seringkali
terdengar suara yang mengatakan bahwa hokum Islam itu adalah peraturan yang
sudah tua, tidak dapat dilakukan lagi di zaman sekarang ini, buktinya di
Indonesia yang kebanyakan pendudukna beragama Islam, tetapi hokum Islam nyata
tak dapat berjalan.
Memang benar, tetapi …. Harus diingat juga apa yang
menyebabkan hokum Islam tak dapat berjalan dengan sempurna di Indonesia. Sebab
tak lain ialah karena tipu muslihat curang yang dilakukan oleh Pemerintah
Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha
hendak melenyapkan agama Islam, tentu tidak akan menguntungkan dia. Oleh karena
itu, hokum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia sedikit demi sedikit hendak
dihapuskan dan digantikan dengan hokum lain yang dikehendakinya.
Di dalam BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo mengingatkan
apa yang terjadi pada hokum Islam pada tahun 1922, yaitu usaha Pemerintah
HIndia Belanda mengganti hokum warisan Islam dengan hokum adat dengan
melaksanakan propaganda hokum ada secara gencar di seluruh tanah Jawa. Ia juga
menjelaskan bagaimana usaha pemerintah Hindia Belanda dalam mengubah hokum
perkawinan Islam dengan “kawin-cacat”, yang akhirnya diurungkan karena khawatir
akan timbulnya peristiwa yang tidak diinginkan. Sebagai seorang yang mempunyai
visi politik, di samping memimpin organisasi Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo
juga aktif dalam partai politik Masyumi. Pada kepengurusan masa Bakti
1945-1949, ketika Masyumi baru berdiri, ia menjadi ketua muda I Majelis Syura
(Dewan Pertimbangan Partai) Pimpinan Pusat Masyumi. Pada pengurusan masa bakti
1949-1951 dan masa bakti 1951-1954, ia termasuk salah seorang anggota Pimpinan
Pusat Masyumi.
Sebagai seorang nasionalis Islami, ia ikut
berpartisipasi aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi
militer yang merupakan usaha Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Pada
tahun 1948, ia ikut memprakarsai berdirinya Markas Ulama dan Laskar Angkatan Perang Sabil (MU-LAPS),
sebuah wadah social keagamaan semimiliter, yang resmi berdiri pada 23 Juli
1948. Dalam susunan Pimpinan MU-LAPS, Ki Bagus Hadikusumo duduk sebagai
penasehat.
Selain Islam
sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, ia juga menulis beberapa buku
lagi dalam bahasa Jawa,yaitu : Risalah Katresnan Djati (Mataram,
Persatoean, 1935) Poestaka Hadi, (Mataram, Persatoean, 1936) Poestaka Islam,
(Mataram, Persatoean, 1940), Poestaka Ihsan, (Mataram, Persatoean, 1941), dan
Poestaka Imam (Mataram, Persatoean, 1954). Beberapa pandangannya dapat
disimpulkan dari karya-karya itu. Iman (tauhid), menurutnya tidak saja
mengandung nilai transcendental yang berhenti sampai disitu, tetapi juga
mengandung tujuan hidup manusia yang hakiki, yaitu terwujudnya ketertiban,
ketentraman, dan kedamaian. Dengan demikian, iman harus termanifestasi dalam
kehidupan manusia.
Dalam kesempatan membahas keimanan, ia mendorong
umat Islamuntuk menggunakan rasio. Ia mengingatkan banyaknya ayat Al-Qur’an
yang menganjurkan manusia untuk menggunakan rasio dalam rangka memperkokh
keimanan. Namun, ia mengingatkan, rasio itu tidak boleh menafikan adanya
nilai-nilai yang bersifat batiniah. Oleh Karen itu, ia melontarkan kritik pedas
terhadap materialisme –ateisme, yang begitu menggantungkan diri pada rasio dan
menolak iman. Pada tanggal 9 November 1995 Ki Bagus Hadikusumo mendapat anugrah
Bintang Republik Indonesia Utama dari pemerintah RI atas jasanya sebagai salah
satu tokoh perancang Pembukaan UUD-1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar