Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Selasa, 27 Juni 2017

SISI LAIN DARI KI BAGUS HADIKUSUMO (2)

 
Sandi Ibnu Syam

Tokoh-tokoh terkemuka BPUPKI dari pihak nasionalis “sekuler” semuanya hasil didikan Barat – adalah Radjiman Wediodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonagoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Buntaran Martoatmodjo. Sementara itu dari kelompok pembela dasar Islam, juru bicara terkemuka Ki Bagus Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Abdul Kahar Muzakkir, dan KH. Abdul Wahid Hasyim. Di dalam BPUPKI kemudian dibentuklah sebuah panitia kecil yang beranggotakan 9 orang – karena itu disebut juga Panitia Sembilan- untuk membahas prinsip-prinsip dasar Negara. Panitia Sembilan orang akhirnya mencapai sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian menjadi preambul konstitusi yang diajukan ke siding BPUPKI. Dalam alinea keempat piagam itu disebutkan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan “dengan menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sebagai orang yang tidak termasuk dalam Panitia Sembilan, Ki Bagus Hadikusumo  kemudian memepertanyakan ketujuh kata tersebu. Ia menginginkan kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dibuang sehingga rumusannya menjadi Ketuhanan, dengan kewajiban syariat Islam” saja. Pembicaraan tentang tujuh kata ini mengundang perdebatan hangat, sebagaimana juga terjadi di Panitia Sembilan. Namun akhirnya, Piagam Jakarta diterima pada tanggal 11 Juli 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan, para anggota PPKI diundang untuk mengadakan rapat darurat pada tanggal 18 Agustus 1945. Ketika itu Jepang telah member tahu Hatta, bahwa kaum nasionalis dan mereka yang benar-benar bukan muslim benar-benar keberatan terhadap beberapa rumusan Islam dalam undang-undang dasar sementara itu. Maka, sebelum rapat, Hatta mengadakan pertemuan informal dengan tokoh-tokoh Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman singodimejo, dan Mr. Teuku M. Hasan.
Dalam pertemuan itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dalam kenyataannya Indonesia hanya dapat menjadi satu kesatuan dan tetap bersatu jika di dalam undang-undang dasar tidak terdapat suatu ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan Islam. Oleh karena itu, Piagam Jakarta mengalami perubahan dengan implikasinya di dalam batang tubuh undang-undang.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kesempatan rapat PPKI itu Soekarno dan Mohammad Hatta, masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua, menyatakan bahwa undang-undang tersebut bersifat sementara dan menjanjikan bahwa pada suatu saat yang tepat, undang-undang yang lebih terperinci dan lebih sempurna akan dirumuskan dalam Majelis Permusyawaratan Rakayat. Dalam kesempatan itu, menurut keduanya, umat Islam dapat mengajukan aspirasi politik keagamaannya.
Ki Bagus Hadikusumo, berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini ia memilih diam. Dalam hatinya ia sebenarnya menolak ajakan Mohammad Hatta itu. Hal itu dikemukakannya kepada Mr. Kasman, orang kepercayaannya, yang mendesaknya untuk menerima saran Hatta itu. Akan tetapi, ia tidak ingin dituduh menyemai perpecahan. Untuk menyalurkan ketidakpuasan dan amarahnya, ia segera mengirim kawat kepada Majelis Tanwir Muhammadiyah, yang kebetulan bersidang di Yogyakarta. Ia meminta agar penutupan siding ditunda sampai ia kembali dari Jakarta. Setelah sampai di Yogyakarta dan memasuki siding Tanwir, ia kemudian mengemukakan ketidakpuasannya tentang apa yang terjadi dengan pengesahan UUD 1945. Ia mengecam kalangan nasionalis “secular” dalam PPKI. Ia pun mengingatkan Majelis Tanwir, dan secara tidak langsung umat Islammasih perlu terus bersiap-siap menghadapi segala tantangan pada masa berikutnya.
Piagam Jakarta kemudian mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka. Perubahan itu berkenaan dengan alinera keempat preambul, yang semula berbunyi “Ketuhan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi Ketuhan Yang Maha Esa”. Rumusan terakhir ini didapat atas usul Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan itu diusulkan karena menurutnya mempunyai pengertian yang sama (tauhid). Sebagai juru bicara nasionalis Islami yang memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, Ki Bagus Hadikusumo menulis sebuah buku berjudul Islam sebagai dasar Negara dan Akhlak Pemimpin (Yogyakarta: Pustaka Rahayu, 1954) yang menggambarkan pengalamannya sebagai anggota BPUPKI ketika ia berhadapan dengan golongan nasionalis “secular”. Melalui karya ini, pemikirannya tentang politik dapat disimak. Ia memperjuangkan penerapan hokum Islam di Indonesia dan membelanya terhadap tuduhan-tuduhan yang menurutnya tidak tepat sasaran. Ia mengatakan, seringkali terdengar suara yang mengatakan bahwa hokum Islam itu adalah peraturan yang sudah tua, tidak dapat dilakukan lagi di zaman sekarang ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan pendudukna beragama Islam, tetapi hokum Islam nyata tak dapat berjalan.
Memang benar, tetapi …. Harus diingat juga apa yang menyebabkan hokum Islam tak dapat berjalan dengan sempurna di Indonesia. Sebab tak lain ialah karena tipu muslihat curang yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha hendak melenyapkan agama Islam, tentu tidak akan menguntungkan dia. Oleh karena itu, hokum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia sedikit demi sedikit hendak dihapuskan dan digantikan dengan hokum lain yang dikehendakinya.
Di dalam BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo mengingatkan apa yang terjadi pada hokum Islam pada tahun 1922, yaitu usaha Pemerintah HIndia Belanda mengganti hokum warisan Islam dengan hokum adat dengan melaksanakan propaganda hokum ada secara gencar di seluruh tanah Jawa. Ia juga menjelaskan bagaimana usaha pemerintah Hindia Belanda dalam mengubah hokum perkawinan Islam dengan “kawin-cacat”, yang akhirnya diurungkan karena khawatir akan timbulnya peristiwa yang tidak diinginkan. Sebagai seorang yang mempunyai visi politik, di samping memimpin organisasi Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo juga aktif dalam partai politik Masyumi. Pada kepengurusan masa Bakti 1945-1949, ketika Masyumi baru berdiri, ia menjadi ketua muda I Majelis Syura (Dewan Pertimbangan Partai) Pimpinan Pusat Masyumi. Pada pengurusan masa bakti 1949-1951 dan masa bakti 1951-1954, ia termasuk salah seorang anggota Pimpinan Pusat Masyumi.
Sebagai seorang nasionalis Islami, ia ikut berpartisipasi aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer yang merupakan usaha Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Pada tahun 1948, ia ikut memprakarsai berdirinya Markas Ulama dan  Laskar Angkatan Perang Sabil (MU-LAPS), sebuah wadah social keagamaan semimiliter, yang resmi berdiri pada 23 Juli 1948. Dalam susunan Pimpinan MU-LAPS, Ki Bagus Hadikusumo duduk sebagai penasehat.
Selain Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, ia juga menulis beberapa buku lagi dalam bahasa Jawa,yaitu : Risalah Katresnan Djati (Mataram, Persatoean, 1935) Poestaka Hadi, (Mataram, Persatoean, 1936) Poestaka Islam, (Mataram, Persatoean, 1940), Poestaka Ihsan, (Mataram, Persatoean, 1941), dan Poestaka Imam (Mataram, Persatoean, 1954). Beberapa pandangannya dapat disimpulkan dari karya-karya itu. Iman (tauhid), menurutnya tidak saja mengandung nilai transcendental yang berhenti sampai disitu, tetapi juga mengandung tujuan hidup manusia yang hakiki, yaitu terwujudnya ketertiban, ketentraman, dan kedamaian. Dengan demikian, iman harus termanifestasi dalam kehidupan manusia.
Dalam kesempatan membahas keimanan, ia mendorong umat Islamuntuk menggunakan rasio. Ia mengingatkan banyaknya ayat Al-Qur’an yang menganjurkan manusia untuk menggunakan rasio dalam rangka memperkokh keimanan. Namun, ia mengingatkan, rasio itu tidak boleh menafikan adanya nilai-nilai yang bersifat batiniah. Oleh Karen itu, ia melontarkan kritik pedas terhadap materialisme –ateisme, yang begitu menggantungkan diri pada rasio dan menolak iman. Pada tanggal 9 November 1995 Ki Bagus Hadikusumo mendapat anugrah Bintang Republik Indonesia Utama dari pemerintah RI atas jasanya sebagai salah satu tokoh perancang Pembukaan UUD-1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar