Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Selasa, 27 Juni 2017

SISI LAIN DARI KI BAGUS HADIKUSUMO (1)

 
Sandi Ibnu Syam
Beliau lahir di Yogyakarta, 24 November 1890 dan wafat pada 3 Sepetember 1954. Seorang Ulama dan Pimpinan Muhammadiyah, pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan bertindak sebagai salah seorang juru bicara terkemuka dari kalangan nasionalis islami, anggota Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ia dilahirkan di kampong Kauman, Yogyakarta, dengan nama Hidayat atau Raden Dayat. Ayahnya Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem pamethakan/ putihan atau pejabat keraton dalam bidang keagamaan Islam. Sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Jawa, seseorang harus mempunyai jeneng cilik (nama cilik) dan jeneng tuwo (nama besar). Begitu juga Hidayat, setelah besar diganti namanya dengan Ki Bagus Hadikusumo. Nama “Hidayat” sendiri menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan santri. Nama “Hadikusumo” menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan priayi; “Ki” menunjukkan fungsi social tertentu, terutama fungsi kagamaan yang sama artinya dengan kiai; dan “Bagus” adalah panggilan yang biasa berlaku di lingkungan elite Jawa.
            Pendidikan formal hanya dilaluinya sampai tiga kelas dasar yang waktu itu disebut “Sekolah Ongko Loro”. Keulamaannya diperoleh terutama melalui pendidikan informal. Beberapa tahun ia belajar di Pondok Pesantren Wonokrom, Yogyakarta. Di Pesantren tradisional ini ia kemudian berkenalan dengan tradisi kelimuan dan keagamaan. Bidang ilmu yang lebih banyak digelutinya di Pesantren adalah bidang akhlak bercorak tasawuf yang menjadi kecenderungan umum Pesantren di Jawa waktu itu. Adapun ilmu fikih diperolehnya dari KH. Ahmad Dahlan. Pendiri Organisasi Muhammadiyah inilah yang member warna intelektual kepadanya. Setelah itu ia belajar secara autodidak dengan membaca kitab-kitab Rasail karya Ibnu Taimiyah, al-umm karya Imam Syafii, ihya ‘Ulum ad-Din karya al-Gazali, al-Manar karya Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, dan beberapa karya Ibnu Rusyd.
            Motivasi untuk menyebarkan ajaran Islam yang ditanamkan KH. Ahmad Dahlan dalam diri Ki Bagus Hadikusumo mendorongnya untuk bergabung dalam organisasi Muhammadiyah. Ia kemudian beberapa kali diutus oleh KH. Ahamad Dahlan untuk bertabligh ke berbagai pelosok. Bahkan, ia diangkat menjadi guru Kweekschool Muhammadiyah, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Sejak aktif berdakwah dan mengajar, ia mulai bercita-cita untuk menjadi seorang ulama. Ternyata kemudian ia menjadi seorang ulama yang aktif berdakwah.
Sejak belajar pada KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo sudah terhitung sebagai salah seorang anggota Muhammadiyah. Setelah itu ia menduduki jabatan-jabatan dalam Muhammadiyah, seperti menjadi ketua Majelis Tabligh (1922), ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi Majelis Pendidikan Muhammadiyah, hoofdbestur (Pengurus tertinggi) Muhammadiyah (1926) yang bertugas melengkapi putusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, khususnya tentang materi Kongres Masyarakat Pendidikan Muhammadiyah. Pada Kongres ke-26 (1937), ia sudah menjadi kandidat ketua umum yang cukup kuat. Kalau tidak menolak, bukan tidak mungkin pada kongres itu ia terpilih menjadi ketua umum Muhammadiyah. Pada kongres ke-29, ia kembali menjadi kandidat ketua umum. Ia kemudian diangkat menjadi salah seorang ketua Muhammadiyah untuk masa bakti pengurusan 1941.
Sebagai ketua umum akhirnya terpilih KH Mas Mansur. Ketika KH Mas Mansur disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang dipelopori pemerintah pendududkan Jepang di Indonesia pada tahun 1943, Ki Bagus Hadikusumo diserahi jabatan ketua umum Muhammadiyah dan terus terpilih sebagai ketua umum dalam kongres-kongres berikutnya sampai pada tahun 1953, ketika tidak bersedia lagi dipilih. Pada masa kepemimpinannyalah disusun muqaddimah Anggaran Dasar Muhamadiyah, yang kemudian menjadi dasar ideologis persyarikatan ini. Setahun setelah kongres tahun 1953 itu, ia mengembuskan nafas terkahir.
Sebagai seorang ulama, pada tahun 1922 ia diangkat pemerintah, melalui keputusan Raja No. 54 tertanggal 12 Januari 1922, menjadi anggota priesterraaden Commissie, sebuah panitia yang bertugas menyelidiki keadaan pengadilan agama dan menyampaikan saran-saran kepada pemerintah dalam rangka usaha perbaikan peradilam agama. Selain aktif dalam organisasi Muhammadiyah, menjelang Indonesia merdeka, ia ikut mendirikan dan kemudian menjadi aktivis Partai Islam Indonesia (PII). Ia ditunjuk menjadi salah seorang anggota panitia perumusan Anggaran Dasar partai tersebut. Pada kongres pertama PII di Yogyakarta (1940), ia terpilih menjadi salah seorang anggota Pengurus Besar (PB) PII. Tetapi partai itu kemudian dibubarkan pemerintahan Jepang. Ketika Masyumi berdiri pada tahun 1943, ia bersama KH Abdul Wahab terpilih menjadi penasehat tinggi.
Pada bulan Februari 1945, sebagai wakil umat Islam Indonesia, ia pergi ke Jepang bersama Soekarno dan Mohammad Hatta untuk memenuhi undangan Tennoo Heika (kaisar) dalam rangka membicarakan masalah-masalah yang berkenaan dengan janji kemerdekaan Indonesia. Untuk mempersiapkan usaha kea rah perwujudan kemerdekaan Indonesia, maka dibentuklah BPUPKI yang anggotanya dilantik pada 28 Mei 1945. Antara 29 Mei dan 1 Juni diadakan siding-sidang pertama.
Anggotanya pada mulanya berjumlah 62 orang, kemudian ditambah 6 orang lagi hingga berjumlah 68 orang. Dari jumlah itu, hanya 15 orang saja yang benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam; selebihnya mewakili aspirasi kelompok nasionalis “sekuler”. Wakil-wakil golongan Islam tersebut antara lain KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur (NU), Sukiman Wirdjosanjojo (PII), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), dan H. Agus Salim (Pergerakan Penyadar).

Bersambung......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar