![]() |
Sandi Ibnu Syam |
Beliau lahir di Yogyakarta, 24 November 1890 dan
wafat pada 3 Sepetember 1954. Seorang Ulama dan Pimpinan Muhammadiyah, pernah
menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan bertindak sebagai salah seorang juru bicara terkemuka dari
kalangan nasionalis islami, anggota Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia
(PPKI) dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ia dilahirkan di kampong Kauman, Yogyakarta, dengan
nama Hidayat atau Raden Dayat. Ayahnya Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem pamethakan/ putihan atau
pejabat keraton dalam bidang keagamaan Islam. Sudah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat Jawa, seseorang harus mempunyai jeneng
cilik (nama cilik) dan jeneng tuwo (nama
besar). Begitu juga Hidayat, setelah besar diganti namanya dengan Ki Bagus
Hadikusumo. Nama “Hidayat” sendiri menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan
santri. Nama “Hadikusumo” menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan priayi;
“Ki” menunjukkan fungsi social tertentu, terutama fungsi kagamaan yang sama
artinya dengan kiai; dan “Bagus” adalah panggilan yang biasa berlaku di
lingkungan elite Jawa.
Pendidikan
formal hanya dilaluinya sampai tiga kelas dasar yang waktu itu disebut “Sekolah
Ongko Loro”. Keulamaannya diperoleh terutama melalui pendidikan informal.
Beberapa tahun ia belajar di Pondok Pesantren Wonokrom, Yogyakarta. Di
Pesantren tradisional ini ia kemudian berkenalan dengan tradisi kelimuan dan
keagamaan. Bidang ilmu yang lebih banyak digelutinya di Pesantren adalah bidang
akhlak bercorak tasawuf yang menjadi kecenderungan umum Pesantren di Jawa waktu
itu. Adapun ilmu fikih diperolehnya dari KH. Ahmad Dahlan. Pendiri Organisasi
Muhammadiyah inilah yang member warna intelektual kepadanya. Setelah itu ia
belajar secara autodidak dengan membaca kitab-kitab Rasail karya Ibnu Taimiyah, al-umm
karya Imam Syafii, ihya ‘Ulum ad-Din karya
al-Gazali, al-Manar karya Syeikh
Muhammad Rasyid Ridha, dan beberapa karya Ibnu Rusyd.
Motivasi
untuk menyebarkan ajaran Islam yang ditanamkan KH. Ahmad Dahlan dalam diri Ki
Bagus Hadikusumo mendorongnya untuk bergabung dalam organisasi Muhammadiyah. Ia
kemudian beberapa kali diutus oleh KH. Ahamad Dahlan untuk bertabligh ke
berbagai pelosok. Bahkan, ia diangkat menjadi guru Kweekschool Muhammadiyah,
baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Sejak aktif berdakwah dan mengajar,
ia mulai bercita-cita untuk menjadi seorang ulama. Ternyata kemudian ia menjadi
seorang ulama yang aktif berdakwah.
Sejak belajar pada KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus
Hadikusumo sudah terhitung sebagai salah seorang anggota Muhammadiyah. Setelah
itu ia menduduki jabatan-jabatan dalam Muhammadiyah, seperti menjadi ketua
Majelis Tabligh (1922), ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi Majelis Pendidikan
Muhammadiyah, hoofdbestur (Pengurus
tertinggi) Muhammadiyah (1926) yang bertugas melengkapi putusan Kongres
Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, khususnya tentang materi Kongres Masyarakat Pendidikan
Muhammadiyah. Pada Kongres ke-26 (1937), ia sudah menjadi kandidat ketua umum
yang cukup kuat. Kalau tidak menolak, bukan tidak mungkin pada kongres itu ia
terpilih menjadi ketua umum Muhammadiyah. Pada kongres ke-29, ia kembali
menjadi kandidat ketua umum. Ia kemudian diangkat menjadi salah seorang ketua
Muhammadiyah untuk masa bakti pengurusan 1941.
Sebagai ketua umum akhirnya terpilih KH Mas Mansur.
Ketika KH Mas Mansur disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang dipelopori
pemerintah pendududkan Jepang di Indonesia pada tahun 1943, Ki Bagus Hadikusumo
diserahi jabatan ketua umum Muhammadiyah dan terus terpilih sebagai ketua umum
dalam kongres-kongres berikutnya sampai pada tahun 1953, ketika tidak bersedia
lagi dipilih. Pada masa kepemimpinannyalah disusun muqaddimah Anggaran Dasar
Muhamadiyah, yang kemudian menjadi dasar ideologis persyarikatan ini. Setahun
setelah kongres tahun 1953 itu, ia mengembuskan nafas terkahir.
Sebagai seorang ulama, pada tahun 1922 ia diangkat
pemerintah, melalui keputusan Raja No. 54 tertanggal 12 Januari 1922, menjadi
anggota priesterraaden Commissie, sebuah
panitia yang bertugas menyelidiki keadaan pengadilan agama dan menyampaikan
saran-saran kepada pemerintah dalam rangka usaha perbaikan peradilam agama.
Selain aktif dalam organisasi Muhammadiyah, menjelang Indonesia merdeka, ia
ikut mendirikan dan kemudian menjadi aktivis Partai Islam Indonesia (PII). Ia
ditunjuk menjadi salah seorang anggota panitia perumusan Anggaran Dasar partai
tersebut. Pada kongres pertama PII di Yogyakarta (1940), ia terpilih menjadi
salah seorang anggota Pengurus Besar (PB) PII. Tetapi partai itu kemudian
dibubarkan pemerintahan Jepang. Ketika Masyumi berdiri pada tahun 1943, ia
bersama KH Abdul Wahab terpilih menjadi penasehat tinggi.
Pada bulan Februari 1945, sebagai wakil umat Islam
Indonesia, ia pergi ke Jepang bersama Soekarno dan Mohammad Hatta untuk
memenuhi undangan Tennoo Heika (kaisar)
dalam rangka membicarakan masalah-masalah yang berkenaan dengan janji
kemerdekaan Indonesia. Untuk mempersiapkan usaha kea rah perwujudan kemerdekaan
Indonesia, maka dibentuklah BPUPKI yang anggotanya dilantik pada 28 Mei 1945.
Antara 29 Mei dan 1 Juni diadakan siding-sidang pertama.
Anggotanya pada mulanya berjumlah 62 orang, kemudian
ditambah 6 orang lagi hingga berjumlah 68 orang. Dari jumlah itu, hanya 15
orang saja yang benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam;
selebihnya mewakili aspirasi kelompok nasionalis “sekuler”. Wakil-wakil
golongan Islam tersebut antara lain KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi (PUI), Ki
Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), KH. Wahid
Hasyim, KH. Masykur (NU), Sukiman Wirdjosanjojo (PII), Abikusno Tjokrosujoso
(PSII), dan H. Agus Salim (Pergerakan Penyadar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar