BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kehidupan umat
islam di dunia menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikaji secara lebih
mendalam. Seperti yang diketahui bahwa saat ini umat islam merupakan yang
terbesar dibandingkan dengan penganut agama lain. Tidak terkecuali di
Indonesia. Selain Indonesia, ada beberapa negara yang hampir seluruh
penduduknya bahkan semua penduduknya beragama islam, misalnya adalah Maroko,
Aljazair, Libya, Pakistan dan Turki. Hal inilah yang sebenarnya dapat
dimanfaatkan oleh umat islam untuk menjalin kerjasama umat islam, tetapi yang
terjadi ternyata sangat sulit untuk membangun bentuk kerjasama tersebut. Hal
ini paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertama, kelompok yang
menghendaki adanya kaitan yang formal antara islam dalam negara dalam bentuk
negara islam, islam sebagai agama
negara, negara yang memberlakukan ajaran agama. Sedangkan kelompok kedua yang
tidak menghendaki adanya kaita antara islam dengan negara dalam bentuk apapun.
Kemudian muncul perubahan baru yang
muncul saat memasuki masa modern saat ini, yaitu dikenalnya masyarakat madani (civil society) yaitu
adanya kebebasan dari masyarakat untuk dapat hidup secara baik dalam berbangsa
dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Sistem Politik Islam?
2. Bagaimana kedudukan Politik dalam
Islam?
3. Bagaimana prinsip-prinsip dasar
Politik Islam?
4. Bagiamanakah konsep masayarakat
Madani itu?
5. Bagaimanakah korelasi antara
politik Islam dan masyarakat madani ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian Sistem Politik Islam
Dalam term politik Islam, politik itu identik dengan
siasah, yang secara kebahasaan artinya mengatur. Fikih siasah adalah aspek
ajaran Islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri
artinya segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai
pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain.
Politik dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah.
Dalam
fikih siasah disebutkan bahwa garis besar fikih siasah meliputi : (Acep
Djazuli.2000 : 15 )
a. Siasah Dusturiyyah (Tata
Negara dalam Islam)
b. Siasah Dauliyyah (Politik
yang mengatur hubungan antara satu negara Islam dengan negara Islam lain atau
dengan negara sekuler lainnya)
c. Siasah Maaliyah (Sistem
ekonomi negara).
Kedaulatan berarti kekuasaan
tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang
berbeda-beda di masayarakat. Dalam konsep Islam, kekuasaan tertinngi adalah
Allah swt. Ekspresi kekuasaan dan kehendak Allah tertuang dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Oleh karena itu, penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia
hanyalah wakil (Khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan
sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata. Disamping itu, kekuasaan adalah amanah
Allah yang diberikan kepada orang-orang berhak menerimanya. Pemegang amanah
haruslah menggunakan kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
B.
Kedudukan Politik Dalam Islam
Terdapat tiga pendapat dikalangan pemikir muslim tentang
kedudukan politik dalam syariat Islam, yaitu:
a. Kelompok yang menyatakan
bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap di dalamnya terdapat pula
antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Kemudian lahir sebuah istilah
yang disebut dengan fikih siasah (sistem ketatanegaraan dalam Islam) merupakan
bagian integral dari ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa
sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan oleh para khula ar-Rasyidin yaitu
sistem khilafah.
b. Kelompok yang berpendirian
bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat. Artinya agama tidak ada
hubungannya dengan urusan ketatanegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad
hanyalah seorang Rasul, seperti rasul-rasul lainnya yang bertugas menyampaikan
risalah Tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak bertugas untuk mendirikan dan
memimpin sautu negara.
c. Aliran ketiga menolak bahwa
Islam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat di dalamnya segala sistem
kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa
Islam sebagaimana pandangan barat yang hanya mengatur hubungsn dengan Tuhan.
Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.
Sejarah membuktikan bahwa
Nabi kecuali sebagai Rasul, meminjam istialh Harun Nasution, kepala negara,
juga beliau adalah kepala negara. Nabi menguasai suatu wilayah yaitu Yastrib
yang kemudian menjadi Madinah AL-Munawwarah sebagai wilayah kekuasaan Nabi
sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai aturan
dasar ketatanegaraannya. Sepeninggal Nabi, kedudukan beliau sebagai kepala
negara digantikan Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan tokoh-tokoh
sahabat, selanjutnya disebut khalifah. Sistem pemerintahannya disebut
“Khilafah”. Sistem “Khilafah” ini berlangsung hingga kepemimpinan berada di
bawah kekuasaan khalifah terakhir, Ali “karramah Allahu wajhu”
C. Prinsip-prinsip
Dasar Politik Islam
1. Teori Politik
Islam Dan Tokoh-tokohnya
Sebagian besar
masyarakat islam menginginkan adanya cara hidup yang terjadi secara total dalam
segala aspek kehidupan. Atau dengan kata lain menginginkan agama islam
merupakan kepaduan yang mencakup din
(agama), dunya
(dunia), serta dawlah
(negara). Jadi dalam hal ini segala permasalahan yang mencakup tentang
kehidupan sebenarnya dapat dikaikan dengan agama islam. Ada bentuk klasifikasi
tentang teori politik yang dilakukan oleh Munawir Sadzali, yaitu ada tiga model
atau aliran pemikiran. Aliran pertama, bahwa islam bukanlah semata-mata agama
yang hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan sebaliknya
bahwa islam adalah suatu agama sempurna dan lengkap dengan peraturan bagi
segala aspek kehidupan manusia, tokoh dari Aliran ini adalah Hasan Al-Banna,
Sayyid Quthub, Muhammad Rasyid Ridla, Al-Maududi. Aliran kedua yang
berpendirian bahwa agama islam adalah agama yang tidak mempunyai hubungan
dengan urusan kenegaraan. Tokonya adalah Ahmad Luthfi Sayyid, Ali Abdul Raziq,
dan Thaha Husain. Aliran yang terakhir yang berpendapat bahwa agama islam tidak
terdapat dalam sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika
bagi kehidupan bernegara. Tokohnya adalah Muhammad Husain Haikal.
Selain ketiga bentuk aliran atau
paham tersebut, ternyata ada dua bentuk konkret dalam pelaksanaan politik
islam. Yang pertama yaitu secara legal formal menerapkan setiap hukum
Islam/syariah ke dalam kehidupan bernegara, contohnya di negara Iran dan Timar
Tengah. Kemudian yang kedua secara tidak legal-formal, dengan kata lain ajaran
islam tidak secara mutlak diterapkan dalam ideologi dan konstitusi negara
tersebut, tetapi nilai-nilai agama islam ikut mewarnai kehidupan politik dan
bernegara.
2.
Prinsip Politik dalam Islam
Prinsip-prinsip politik yang terdapat dalam Islam dirumuskan
ke dalam
beberapa hal berikut :
- Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin
- Setiap kelompok harus memilih seorang pemimpin
- Pemimpin merupakan orang yang dapat diterima semua golongan
- Pemimpin yang Maha Mutlak adalah Allah SWT.
- Memperhatikan kepentingan kaum muslimin.
Prinsip-prinsip
dasar siasah dalam Islam
a.
Musyawarah
b.
Pembahasan
bersama
c.
Tujuan
bersama yakni untuk mencapai keputusan
d.
Keputusan
itu merupakan penyelesaian dari sautu masalah yang dihadpai bersama
e.
Keadilan
f.
Al-musaawah
( persamaan )
g.
Al-Hurriyyah
( kemerdekaan/kebebasan )
h.
Perlindungan
jiwa raga dan harta masyarakat.
D. Konsep Masyarakat Madani dan Prinsipnya
1. Pengertian
Masyarakat Madani
Istilah madani berasal dari Bahasa Arab “madaniy” kata “madaniy” berakar pada
kata kerja “madana” yang artinya mendiami, tinggal atau membangun. Dalam bahasa
Arab kata “madaniy” mempunyai beberapa arti, antara lain yang beradab, orang
kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil/perdata (Munawwir,1997;1320). Dari
kata “madana” juga muncul kata “madiniy” yang berarti urbanisme (paham
masyarakat kota). Dengan demikian masyarakat madani merupakan suatu bentuk
tatanan masyakat yang beradab, masyarakat sipil dan masyarakat yang berpaham
masyarakat kota yang akrab dengan pluralisme yang tercermin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam bahasa inggris masyarakat
madani sering diistilahkan dengan civil
society/ madman
society yang berarti masyarakat sipil. Adam B. Seligman
mendefinisikan civil society sebagai perangkat gagasan etis yang
mengehawantahkan dalam berbagai tatanan social, dan yang paling penting dari
gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan kepentingan
antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat dengan kepentinga
negara. (Abdul Mun’im,1994;6).
Dua tinjauan konsep masyarakat
madani, baik melalui pendekatan bahasa Arab maupun bahasa inggri memiliki makna
yang relatif sama, yaitu menginginkan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai peradaban demokrasi.
Masyarakat
madani sebagai masyarakat ideal memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Bertuhan.
b. Damai
c. Tolong-menolong
d. Toleran
e. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial
f. Berperadaban
tinggi
g. Berakhlak mulia
2. Prinsip-prinsip Dasar Masyarakat
Madani
Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik islam didasarkan pada
prinsip kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat Madinah dibawah kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW.
Prinsip dasar yang lebih detail
mengenai masyarakat madani diuraikan oleh Akram Dilya’ al-Umari dalam bukunya
Al-Mujtaman’ al-Madaniy fi’ Ahd al-Nubuwwah (Masyarakat madani pada Periode
Kenabian). Menurutnya ada beberapa prinsip dasar yang dapat diidentifikasi
dalam pembentukan masyarakat madani, antara lain :
1). Adanya sistem muakhah
(persaudaraan)
2). Ikatan Iman
3). Ikatan Cinta
4). Persamaan si kaya dan si miskin
5). Toleransi umat beragama.
Itulah lima prinsip yang dibuat oleh
Nabi untuk mengatur masyarakat madinah yang tertuang dalam suatu piagam yang
kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah.
Prinsip-prinsip masyarakat madani
seperi itu sangat ideal untuk di negara dan masyarakat manapun tentunya dengan
penyesuaian dengan kondisi lokal dan keyakinan serta budaya yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut.
E. Politik Islam dan Masyarakat
Madani
1. Konstelasi
Politik Islam di Indonesia
Menurut Bahtiar Effendy dalam buku Din Al-Islam tulisan Ajat Sudrajat, dkk
islam pernah dianggap sebagai persoalan ideologis di dalam sejarah politik
Indonesia modern. Upaya untuk mencari penyelesaian yang memungkinkan atas soal
islam sebagai ideologi, baik dalam konteks negara maupun umat islam, tak
kunjung selesai. Kancah percaturan politik Islam Indonesia bisa dirunut dengan
mengkaji peran partai-partai islam dalam pentas perpolitikan nasional. Partai
islam yang dibentuk pasca kemerdekaan adalah Masyumi, Perti, PSII, dan NU.
Pada mulanya yang masuk Masyumi
hanyalah empat organisasi islam yaitu, Muhammdiyah, NU, Persyarikatan Umat
Islam, dan Perkstsn Umat Islam. Namun, dalam perkembangan selanjutnya hampir
semua organisasi islam kecuali Perti baik lokal maupun nasional menjadi
anggotanya (Ajat Sudrajat,2008;119)
Perpecahan ditubuh Masyumi yang
ditandai dengan munculnya partai-partai baru yang melepaskan diri dari Masyumi,
seperti PSII yang melepaskan diri dan berdiri sendiri tahun 1947 dan partai NU
yang berdiri tahun 1952. Sejak tahun 1952 ini maka di Indonesia terdapat empat
partai islam, yaitu Masyumi,PSII, NU dan Perti yang sejak awal tidak mau
bergabung dengan Masyumi. Pada masa demokrasi Parlementer (1949-1957) yang
ditandai oleh jatuh bangunnya partai-partai politik, partai islam yang diwakili
Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Dalam pemilu pertama tahun1955 pertai islam
memperoleh 230 kursi. Selanjutnya mulai terjadi perdebatan dimajelis
konstituante dalam mempersoalkan dasar negara yang akan dianut Indonesia.
Partai islma gagal mewujudkan islam sebagai dasar negara.
Pada masa demokrasi terpimpin, partai
islam mulai menempatkan pada posisi yang berbeda-beda dalam hubungannya dengan
negara. Tetapi Masyumi menilai ikut serta dalam Demokrasi Terpimpin merupakan
penyimpangan terhadap ajaran islam. Sedangkan NU, PSII, dan Perti tetap
diizinkan untuk eksis, karena mendukung Demokrasi Terpimpin. Demokrasi
Terpimpin berakhir dengan keluarnya Supersemar tahun 1966 yang merupakan titik
awal lahirya Orde Baru.
Pada masa Orde Baru ditandai dengan
mulai berfusinya parta-partai yang ada dari 25 partai menajdi 10 partai. Khusus
partai Islam karena pengalamannya dalam pemilu 1971, maka pada tahun 1973
berfusi menjadi sebuah partai baru yaitu Partai Persatuan Pembangunan (P3).
Menurut Abdul Aziz Thaba (1996;246-302) hubungan islam dengan negara pada masa
Orde Baru ini bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori hubungan, yaitu hubungan
yang pertama bersifat Antagonistik, hubungan ini ditandai dengan kecurigaan
pemerintah terhadap gerak langkah partai-partai islam, terutama mantan tokoh
Masyumi, namun pemerintah Soeharto mendukung lahirnya Permusi dan
memperkokoh peran tentara (ABRI) dalam membela bangsa dan negara,
terutama membela Pancasila dan UUD 1945. Pada hubungan yang kedua bersifat
Resiprokalkritis (1982-1985) hubungan islam dan negara ditandai dengan proses
saling mempelajari dan saling memahami posisi masing-masing. Periode ini
diawali oleh political test
yang dilakukan oleh pemerintah dengan menyodorkan konsep asas tunggal bagi
orsospol dan selanjutnya untuk semua ormas yang ada di Indonesia.
Adapun hubungan ketiga yang bersifat
Akomodatif (1986-1998) dimulai dengan ormas-ormas islam terhadap asas
tunggal pancasila. Mereka berusaha membatasi seminimal mungkin campur tangan
pemerintah dalam urusan intern organisasi. Dipihak lain ”kecurigaan” terhadap
pemerintah semakin berkurang, begitu pula sebaliknya (Abdul Aziz,1996-;278).
Hubungan ini kemudian berubah total setelah berakhirnya kepemimpinan presiden
Soeharto. Dengan berakhirnya Orde Baru kemudian muncul Orde Reformasi, yang
masih bertahan hingga sekarang. Hubungan islam denga negara sekarang ini
semakin kuat, karena banyak pemimpin islam yang menduduki posisi penting dalam
pemerintahan.
2. Mewujudkan
Masyarakat Madani di Indonesia
Terwujudnya masyarakat madani di negara kita merupakan
wujud cita-cita kenegaraan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Nabi membangun masyarakat madaniah yang berperadaban memakan
waktu yang cukup lama, yakni sepuluh tahun. Beliau membangun masyarakat yang
adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat
kepada ajaranNya. Dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah
membedakan ”orang atas”, ”orang bawah”, atau ”keluarganya sendiri”.
Masyarakat madani tidak akan
terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil. Tegaknya hukum dan keadilan
tidak hanya perlu kepada komitmen-komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam
bentuk iktikat baik untuk hal tersebut. Iktikat baik dalam masyarakat, berupa
”amal sholih”, yaitu tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia. Amal
sholih atau kegiatan demi kebaikan dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan,
karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial dan menyangkut orang
banyak. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat
cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi
dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara
positif dan optimal.
Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial
yang luhur,seperti toleransi dan pluralisme adalah kelanujutan dari tegaknya
nilai-nilai keadaban itu. Bahwa masing-masing pribadi atau kelompok dalam suatu
lingkungan interaksi yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain
dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ad, tanpa saling memaksakan
kehenda, atau pandangan sendiri (Nurcholish Madjid,1999;164).
Bangsa Indonesia memiliki semua
perlengkapan yang diperlukan untuk menegakkan masyarakat madani. Kita semua
sangat berharap bahwa masyarakat madani akan segera terwujud dan tumbuh semakin
kuat di negara kita dalam waktu dekat. Zaman orde baru yang disusul orde
reformasi dalam berbagai bidang cukup beralasan kita berpengharapan seperti
itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam term politik Islam, politik itu identik dengan
siasah, yang secara kebahasaan artinya mengatur. Fikih siasah adalah aspek
ajaran Islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri
artinya segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai
pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain.
Politik dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah.
Istilah madani berasal dari Bahasa Arab “madaniy” kata “madaniy” berakar
pada kata kerja “madana” yang artinya mendiami, tinggal atau membangun. Dalam
bahasa Arab kata “madaniy” mempunyai beberapa arti, antara lain yang beradab,
orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil/perdata (Munawwir,1997;1320).
Dari kata “madana” juga muncul kata “madiniy” yang berarti urbanisme (paham
masyarakat kota). Dengan demikian masyarakat madani merupakan suatu bentuk
tatanan masyakat yang beradab, masyarakat sipil dan masyarakat yang berpaham
masyarakat kota yang akrab dengan pluralisme yang tercermin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dapat dipahami bahwa politik islam yang memiliki prinsip-prinsip yang pasti
(dari Al-Qur’an dan Sunnah) ternyata masih jauh dari kenyataan yang ada,
khususnya di Indonesia. Masyarakat madani yang merupakan satu tatanan
masyarakat ideal ditegakkan atas dasar dua semangat, yakni semangat rabbaniyah
dan semangat insaniyah. Hal ini dituntut demi tegaknya msyarakat madani.
Umumnya pada masalah keterbukaan dan persamaan hak bagi setiap orang. Prinsip
masyarakat dapat mengeliminasi segala bentuk pertentangan dan konflik yang
mungkin terjadi akibat pluralisme yang menjadi ciri dari bangsa kita.
Permasalahan politik islam di Indonesia hingga sekarang masih tetap menarik dan
tetap layak untuk dikaji.
B.
Saran
Islam adalah agama rahmat bagi
seluruh alam yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang sangat relevan dalam
kehidupan kita sehari-hari. Sistem politik dalam Islam seharusnya menjadi
bagian dari rahmat sebagai pedoman bagi umat Islam dan Masyarakat madani adalah
masyarakat yang ideal yang sangat di dambakan oleh umat manusia yang ada di
bumi ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasby, Subky, dkk.2007. BUKU DARAS.PPA Universitas Bramijaya ; Malang
RisalahUsrah 3 – Sistem-sistem Islam, Abu Urwah
Dullleng,
H. Fakhruddin, dan Amin Sahib, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Universitas
Negeri Makassar. 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar