Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Senin, 02 November 2015

Sistem Politik dalam Islam dan Masyarakat Madani



BAB I

Pendahuluan
   A. Latar Belakang
 Kehidupan umat islam di dunia menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Seperti yang diketahui bahwa saat ini umat islam merupakan yang terbesar dibandingkan dengan penganut agama lain. Tidak terkecuali di Indonesia. Selain Indonesia, ada beberapa negara yang hampir seluruh penduduknya bahkan semua penduduknya beragama islam, misalnya adalah Maroko, Aljazair, Libya, Pakistan dan Turki. Hal inilah yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh umat islam untuk menjalin kerjasama umat islam, tetapi yang terjadi ternyata sangat sulit untuk membangun bentuk kerjasama tersebut. Hal ini paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertama, kelompok yang menghendaki adanya kaitan yang formal antara islam dalam negara dalam bentuk negara islam, islam sebagai agama negara, negara yang memberlakukan ajaran agama. Sedangkan kelompok kedua yang tidak menghendaki adanya kaita antara islam dengan negara dalam bentuk apapun.
Kemudian muncul perubahan baru yang muncul saat memasuki masa modern saat ini, yaitu dikenalnya masyarakat madani (civil society) yaitu adanya kebebasan dari masyarakat untuk dapat hidup secara baik dalam berbangsa dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Sistem Politik Islam?
2. Bagaimana kedudukan Politik dalam Islam?
3. Bagaimana prinsip-prinsip dasar Politik Islam?
4. Bagiamanakah konsep masayarakat Madani itu?
5. Bagaimanakah korelasi antara politik Islam dan masyarakat madani ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengetian Sistem Politik Islam
Dalam term politik Islam, politik itu identik dengan siasah, yang secara kebahasaan artinya mengatur. Fikih siasah adalah aspek ajaran Islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
            Dalam fikih siasah disebutkan bahwa garis besar fikih siasah meliputi : (Acep Djazuli.2000 : 15 )
a.    Siasah Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam)
b.    Siasah Dauliyyah (Politik yang mengatur hubungan antara satu negara Islam dengan negara Islam lain atau dengan negara sekuler lainnya)
c.    Siasah Maaliyah (Sistem ekonomi negara).
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di masayarakat. Dalam konsep Islam, kekuasaan tertinngi adalah Allah swt. Ekspresi kekuasaan dan kehendak Allah tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu, penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (Khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata. Disamping itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang berhak menerimanya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
B.   Kedudukan Politik Dalam Islam
Terdapat tiga pendapat dikalangan pemikir muslim tentang kedudukan politik dalam syariat Islam, yaitu:
a.    Kelompok yang menyatakan bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Kemudian lahir sebuah istilah yang disebut dengan fikih siasah (sistem ketatanegaraan dalam Islam) merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan oleh para khula ar-Rasyidin yaitu sistem khilafah.
b.    Kelompok yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat. Artinya agama tidak ada hubungannya dengan urusan ketatanegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul, seperti rasul-rasul lainnya yang bertugas menyampaikan risalah Tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak bertugas untuk mendirikan dan memimpin sautu negara.
c.    Aliran ketiga menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat di dalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa Islam sebagaimana pandangan barat yang hanya mengatur hubungsn dengan Tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.
Sejarah membuktikan bahwa Nabi kecuali sebagai Rasul, meminjam istialh Harun Nasution, kepala negara, juga beliau adalah kepala negara. Nabi menguasai suatu wilayah yaitu Yastrib yang kemudian menjadi Madinah AL-Munawwarah sebagai wilayah kekuasaan Nabi sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai aturan dasar ketatanegaraannya. Sepeninggal Nabi, kedudukan beliau sebagai kepala negara digantikan Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan tokoh-tokoh sahabat, selanjutnya disebut khalifah. Sistem pemerintahannya disebut “Khilafah”. Sistem “Khilafah” ini berlangsung hingga kepemimpinan berada di bawah kekuasaan khalifah terakhir, Ali “karramah Allahu wajhu”
    



 C. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam
     1. Teori Politik Islam Dan Tokoh-tokohnya
 Sebagian besar masyarakat islam menginginkan adanya cara hidup yang terjadi secara total dalam segala aspek kehidupan. Atau dengan kata lain menginginkan agama islam merupakan kepaduan yang mencakup din (agama), dunya (dunia), serta dawlah (negara). Jadi dalam hal ini segala permasalahan yang mencakup tentang kehidupan sebenarnya dapat dikaikan dengan agama islam. Ada bentuk klasifikasi tentang teori politik yang dilakukan oleh Munawir Sadzali, yaitu ada tiga model atau aliran pemikiran. Aliran pertama, bahwa islam bukanlah semata-mata agama yang hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan sebaliknya bahwa islam adalah suatu agama sempurna dan lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia, tokoh dari Aliran ini adalah Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Muhammad Rasyid Ridla, Al-Maududi. Aliran kedua yang berpendirian bahwa agama islam adalah agama yang tidak mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan. Tokonya adalah Ahmad Luthfi Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan Thaha Husain. Aliran yang terakhir yang berpendapat bahwa agama islam tidak terdapat dalam sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara. Tokohnya adalah Muhammad Husain Haikal.
Selain ketiga bentuk aliran atau paham tersebut, ternyata ada dua bentuk konkret dalam pelaksanaan politik islam. Yang pertama yaitu secara legal formal menerapkan setiap hukum Islam/syariah ke dalam kehidupan bernegara, contohnya di negara Iran dan Timar Tengah. Kemudian yang kedua secara tidak legal-formal, dengan kata lain ajaran islam tidak secara mutlak diterapkan dalam ideologi dan konstitusi negara tersebut, tetapi nilai-nilai agama islam ikut mewarnai kehidupan politik dan bernegara.
2. Prinsip Politik dalam Islam        
            Prinsip-prinsip politik yang terdapat dalam Islam dirumuskan ke dalam beberapa hal berikut :
  • Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin
  • Setiap kelompok harus memilih seorang pemimpin
  • Pemimpin merupakan orang yang dapat diterima semua golongan
  • Pemimpin yang Maha Mutlak adalah Allah SWT.
  • Memperhatikan kepentingan kaum muslimin.
Prinsip-prinsip dasar siasah dalam Islam
a.    Musyawarah
b.    Pembahasan bersama
c.    Tujuan bersama yakni untuk mencapai keputusan
d.    Keputusan itu merupakan penyelesaian dari sautu masalah yang dihadpai bersama
e.    Keadilan
f.     Al-musaawah ( persamaan )
g.    Al-Hurriyyah ( kemerdekaan/kebebasan )
h.    Perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat.
 D. Konsep Masyarakat Madani dan Prinsipnya
1. Pengertian Masyarakat Madani
            Istilah madani berasal dari Bahasa Arab “madaniy” kata “madaniy” berakar pada kata kerja “madana” yang artinya mendiami, tinggal atau membangun. Dalam bahasa Arab kata “madaniy” mempunyai beberapa arti, antara lain yang beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil/perdata (Munawwir,1997;1320). Dari kata “madana” juga muncul kata “madiniy” yang berarti urbanisme (paham masyarakat kota). Dengan demikian masyarakat madani merupakan suatu bentuk tatanan masyakat yang beradab, masyarakat sipil dan masyarakat yang berpaham masyarakat kota yang akrab dengan pluralisme yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam bahasa inggris masyarakat madani sering diistilahkan dengan civil societymadman society yang berarti masyarakat sipil. Adam B. Seligman mendefinisikan civil society sebagai perangkat gagasan etis yang mengehawantahkan dalam berbagai tatanan social, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan kepentingan antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat dengan kepentinga negara. (Abdul Mun’im,1994;6).
Dua tinjauan konsep masyarakat madani, baik melalui pendekatan bahasa Arab maupun bahasa inggri memiliki makna yang relatif sama, yaitu menginginkan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban demokrasi.
Masyarakat madani sebagai masyarakat ideal memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.    Bertuhan.
b.    Damai
c.    Tolong-menolong
d.    Toleran
e.    Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial
f.     Berperadaban tinggi
g.    Berakhlak mulia
 2. Prinsip-prinsip Dasar Masyarakat Madani
            Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik islam didasarkan pada prinsip kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat Madinah dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Prinsip dasar yang lebih detail mengenai masyarakat madani diuraikan oleh Akram Dilya’ al-Umari dalam bukunya Al-Mujtaman’ al-Madaniy fi’ Ahd al-Nubuwwah (Masyarakat madani pada Periode Kenabian). Menurutnya ada beberapa prinsip dasar yang dapat diidentifikasi dalam pembentukan masyarakat madani, antara lain :
1). Adanya sistem muakhah (persaudaraan)
2). Ikatan Iman
3). Ikatan Cinta
4). Persamaan si kaya dan si miskin
5). Toleransi umat beragama.
Itulah lima prinsip yang dibuat oleh Nabi untuk mengatur masyarakat madinah yang tertuang dalam suatu piagam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah.
Prinsip-prinsip masyarakat madani seperi itu sangat ideal untuk di negara dan masyarakat manapun tentunya dengan penyesuaian dengan kondisi lokal dan keyakinan serta budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

E. Politik Islam dan Masyarakat Madani 
1. Konstelasi Politik Islam di Indonesia
            Menurut Bahtiar Effendy dalam buku Din Al-Islam tulisan Ajat Sudrajat, dkk islam pernah dianggap sebagai persoalan ideologis di dalam sejarah politik Indonesia modern. Upaya untuk mencari penyelesaian yang memungkinkan atas soal islam sebagai ideologi, baik dalam konteks negara maupun umat islam, tak kunjung selesai. Kancah percaturan politik Islam Indonesia bisa dirunut dengan mengkaji peran partai-partai islam dalam pentas perpolitikan nasional. Partai islam yang dibentuk pasca kemerdekaan adalah Masyumi, Perti, PSII, dan NU.
Pada mulanya yang masuk Masyumi hanyalah empat organisasi islam yaitu, Muhammdiyah, NU, Persyarikatan Umat Islam, dan Perkstsn Umat Islam. Namun, dalam perkembangan selanjutnya hampir semua organisasi islam kecuali Perti baik lokal maupun nasional menjadi anggotanya (Ajat Sudrajat,2008;119)
Perpecahan ditubuh Masyumi yang ditandai dengan munculnya partai-partai baru yang melepaskan diri dari Masyumi, seperti PSII yang melepaskan diri dan berdiri sendiri tahun 1947 dan partai NU yang berdiri tahun 1952. Sejak tahun 1952 ini maka di Indonesia terdapat empat partai islam, yaitu Masyumi,PSII, NU dan Perti yang sejak awal tidak mau bergabung dengan Masyumi. Pada masa demokrasi Parlementer (1949-1957) yang ditandai oleh jatuh bangunnya partai-partai politik, partai islam yang diwakili Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Dalam pemilu pertama tahun1955 pertai islam memperoleh 230 kursi. Selanjutnya mulai terjadi perdebatan dimajelis konstituante dalam mempersoalkan dasar negara yang akan dianut Indonesia. Partai islma gagal mewujudkan islam sebagai dasar negara.
Pada masa demokrasi terpimpin, partai islam mulai menempatkan pada posisi yang berbeda-beda dalam hubungannya dengan negara. Tetapi Masyumi menilai ikut serta dalam Demokrasi Terpimpin merupakan penyimpangan terhadap ajaran islam. Sedangkan NU, PSII, dan Perti tetap diizinkan untuk eksis, karena mendukung Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin berakhir dengan keluarnya Supersemar tahun 1966 yang merupakan titik awal lahirya Orde Baru.
Pada masa Orde Baru ditandai dengan mulai berfusinya parta-partai yang ada dari 25 partai menajdi 10 partai. Khusus partai Islam karena pengalamannya dalam pemilu 1971, maka pada tahun 1973 berfusi menjadi sebuah partai baru yaitu Partai Persatuan Pembangunan (P3). Menurut Abdul Aziz Thaba (1996;246-302) hubungan islam dengan negara pada masa Orde Baru ini bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori hubungan, yaitu hubungan yang pertama bersifat Antagonistik, hubungan ini ditandai dengan kecurigaan pemerintah terhadap gerak langkah partai-partai islam, terutama mantan tokoh Masyumi, namun pemerintah Soeharto mendukung lahirnya Permusi dan  memperkokoh peran tentara (ABRI) dalam membela bangsa dan negara, terutama membela Pancasila dan UUD 1945. Pada hubungan yang kedua bersifat Resiprokalkritis (1982-1985) hubungan islam dan negara ditandai dengan proses saling mempelajari dan saling memahami posisi masing-masing. Periode ini diawali oleh political test yang dilakukan oleh pemerintah dengan menyodorkan konsep asas tunggal bagi orsospol dan selanjutnya untuk semua ormas yang ada di Indonesia.
Adapun hubungan ketiga yang bersifat Akomodatif  (1986-1998) dimulai dengan ormas-ormas islam terhadap asas tunggal pancasila. Mereka berusaha membatasi seminimal mungkin campur tangan pemerintah dalam urusan intern organisasi. Dipihak lain ”kecurigaan” terhadap pemerintah semakin berkurang, begitu pula sebaliknya (Abdul Aziz,1996-;278). Hubungan ini kemudian berubah total setelah berakhirnya kepemimpinan presiden Soeharto. Dengan berakhirnya Orde Baru kemudian muncul Orde Reformasi, yang masih bertahan hingga sekarang. Hubungan islam denga negara sekarang ini semakin kuat, karena banyak pemimpin islam yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

2. Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia
            Terwujudnya masyarakat madani di negara kita merupakan wujud cita-cita kenegaraan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nabi membangun masyarakat madaniah yang berperadaban memakan waktu yang cukup lama, yakni sepuluh tahun. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaranNya. Dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan ”orang atas”, ”orang bawah”, atau ”keluarganya sendiri”.
Masyarakat madani tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil. Tegaknya hukum dan keadilan tidak hanya perlu kepada komitmen-komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk iktikat baik untuk hal tersebut. Iktikat baik dalam masyarakat, berupa ”amal sholih”, yaitu tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia. Amal sholih atau kegiatan demi kebaikan dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial dan menyangkut orang banyak. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan optimal.
Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur,seperti toleransi dan pluralisme adalah kelanujutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Bahwa masing-masing pribadi atau kelompok dalam suatu lingkungan interaksi yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ad, tanpa saling memaksakan kehenda, atau pandangan sendiri (Nurcholish Madjid,1999;164).
Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk menegakkan masyarakat madani. Kita semua sangat berharap bahwa masyarakat madani akan segera terwujud dan tumbuh semakin kuat di negara kita dalam waktu dekat. Zaman orde baru yang disusul orde reformasi dalam berbagai bidang cukup beralasan kita berpengharapan seperti itu.         









BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
           Dalam term politik Islam, politik itu identik dengan siasah, yang secara kebahasaan artinya mengatur. Fikih siasah adalah aspek ajaran Islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Istilah madani berasal dari Bahasa Arab “madaniy” kata “madaniy” berakar pada kata kerja “madana” yang artinya mendiami, tinggal atau membangun. Dalam bahasa Arab kata “madaniy” mempunyai beberapa arti, antara lain yang beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil/perdata (Munawwir,1997;1320). Dari kata “madana” juga muncul kata “madiniy” yang berarti urbanisme (paham masyarakat kota). Dengan demikian masyarakat madani merupakan suatu bentuk tatanan masyakat yang beradab, masyarakat sipil dan masyarakat yang berpaham masyarakat kota yang akrab dengan pluralisme yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dapat dipahami bahwa politik islam yang memiliki prinsip-prinsip yang pasti (dari Al-Qur’an dan Sunnah) ternyata masih jauh dari kenyataan yang ada, khususnya di Indonesia. Masyarakat madani yang merupakan satu tatanan masyarakat ideal ditegakkan atas dasar dua semangat, yakni semangat rabbaniyah dan semangat insaniyah. Hal ini dituntut demi tegaknya msyarakat madani. Umumnya pada masalah keterbukaan dan persamaan hak bagi setiap orang. Prinsip masyarakat dapat mengeliminasi segala bentuk pertentangan dan konflik yang mungkin terjadi akibat pluralisme yang menjadi ciri dari bangsa kita. Permasalahan politik islam di Indonesia hingga sekarang masih tetap menarik dan tetap layak untuk dikaji.
B.   Saran
Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang sangat relevan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sistem politik dalam Islam seharusnya menjadi bagian dari rahmat sebagai pedoman bagi umat Islam dan Masyarakat madani adalah masyarakat yang ideal yang sangat di dambakan oleh umat manusia yang ada di bumi ini.















DAFTAR PUSTAKA
Hasby, Subky, dkk.2007. BUKU DARAS.PPA Universitas Bramijaya ; Malang
RisalahUsrah 3 – Sistem-sistem Islam, Abu Urwah
Dullleng, H. Fakhruddin, dan Amin Sahib, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Universitas Negeri Makassar. 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar