Nun jauh dalam lubuk hatinya yang sudah lama terpendam, ia telah
menunggu seorang yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Namun, tak kunjung datang
ia hanya terus menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan itulah dirinya kini ia
telah memasuki usia paruh baya. Ia ditinggal suaminya sudah sejak lama sekitar
20 tahun lebih. Namun ia tak pernah goyah sedikitpun untuk mencari yang lain
walaupun sebenarnya ada juga yang bermaksud baik datang kepadanya. Akan tetapi,
ia menolak lantaran menunggu sesosok manusia yang mengarunia empat orang anak dan
anak laki-laki keduanya telah lama tiada sekitar 14 tahun yang lalu. Kini ia
ditemani tiga orang anaknya. Anak pertamanya sedang menyelesaikan kuliahnya di
Makassar di salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah. Anak keduanya juga telah
masuk di sebuah universitas negeri di Makassar. Dan yang bungsu masih duduk
dibangku Sekolah Dasar di kampungnya. Dan di antara semua saudaranya hanya ia
yang mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Walaupun keadaan
ekonominya pas-pasan tetapi karena kedua anaknya tersebut boleh jadi punya
bakat masing-masing sehingga mereka mampu untuk melanjutkan sekolah hingga ke
jenjang yang lebih tinggi. Tak pelak, ia sangat bersyukur dan sangat menyayangi
anak-anaknya. Ia berharap anak-anaknya kelak berguna baginya dan orang lain.
Kini ia tinggal di rumah yang sudah tak layak ditinggali namun apa boleh buat
tempat yang ia tinggali belum pernah direnovasi selama rumah tersebut dibangun
dan itupun adalah satu-satunya rumah peninggalan ayahnya. Dan sekarang ia dan
anak-anaknya tinggal disitu sedangkan saudaranya yang lain ada yang sudah punya
rumah dan ada juga yang Cuma numpang di rumah saudaranya.
Ia adalah seorang perempuan yang menjadi ibu dan ayah bagi
anak-anaknya. Ini terbukti anak bungsunya yang didengar langsung anak sulungnya
bahwa ibunya juga sekaligus ayahnya. Karena anak sulungnya laki-laki, anak
bungsunya tersebut sangat akrab sekali dengan kakaknya tersebut boleh jadi
karena tidak mendapat kasih sayang dari ayahnya sehingga anak bungsunya
tersebut ketika datang dari Makassar untuk liburan anak bungsunya tersebut
selalu bersama bahkan sangat ditunggu kedatangannya ketika baru pulang dari
Makassar. Sebagai orang tua ia kemudian berwirausaha apa saja yang bisa dijual
dan itu dilakukan telah mendapat pelajaran juga dari orang tuanya yang juga
biasa berdagang di pasar dan ia pun mengambil alih profesi tersebut. Dan setiap
menjelang subuh ia bergegas dan menyiapkan segala keperluannya untuk dibawah ke
pasar. Ia biasa pergi ke pasar dengan jalan kaki dan terkadang juga dia
menumpang ojek yang akan ke pasar. Dari hasil dagangannya itu hanya mampu untuk
membeli keperluan sehari saja seperti ikan, sayur dan lainnya. Belum lagi anak
bungsunya yang kuat sekali jajan sampai-sampai ketiak anak bungsunya tidak
diberikan uang jajan ia trerus merengek untuk diberi uang. Terkadang iapun
pusing tujuh keliling sebab dagangannya belum ada orang yang membeli sudah
minta jajan. Ia biasa memarahinya bahkan tak segan-segan memukulnya. Iapun
tersadar bahwa ia sangat menyayangi anaknya namun karena rewel dan tak bisa
diam ia pun biasa melampiaskan kepadanya dan juga semua anaknya biasa kena
kemarahannya. Namun sebenanrnya itu dilakukannya karena ia begitu cinta kepada
anak-anaknya.
Ia biasa merenung
diri memikirkan nasibnya, yang dililit kemiskinan dan biasa menyalahkan
suaminya mengapa ia tega ditinggal pergi. Ia biasa dikatakan telah gila, stres,
sinting oleh orang-orang dikampungnya dan termasuk saudara-saudaranya. Namun
anaknya sangat salut kepadanya ia tak mengubris ketika ada yang mengatakan
seperti itu. Wajar saja, mana ada orang yang ikhlas dimadu oleh suaminya.
Selama dua puluh tahun lebih tidak diberikan nafkah lahir dan batin oleh
suaminya. Orang-orang mengatakan bahwa suaminya dikatakan hidup tetapi mati dan
dikatakan mati tetapi masih hidup. Inilah kata mungkin pantas bagi suaminya
yang rela meninggalkan begitu saja. Harapannya tak pupus ditelan masa ia
senantiasa mengingatkan kepada anaknya yang kuliah di Makassar untuk datang
kepadanya untuk meminta uang sebagai tanggungjawabnya. Harapan untuk bersama
lagi dengan suaminya tinggi sekali dan tak pernah padam oleh apapun itu, ia
mengalami gangguan psikologi kejiwaan karena ulah suaminya. Menunggu yang tak
pasti mungkin sebuah kalimat yang tepat untuknya. Tulisan ini mencoba menggambarkan
betapa ia sangat kesepian dalam kesendiriannya mencoba untuk terus bersabar
menanti, menanti dan terus menanti sampai kapanpun hingga harapannya dapat
terwujud. Salah satu harapannya adalah ia ingin membangun rumah untuk dirinya
dan anak-anaknya. Besar harapannya untuk bisa tinggal layak seperti kebanyakan
orang dapat tidur dengan nyenyak. Ia biasanya tidak dapat tidur dengan nyenyak
akibat suara bising seng yang diakibatkan oleh angin bersamaan dengan hujan. Ia
tak takut tidur di rumah yang hanya ditemani lampu kaleng sinanya tak mampu
menyinari suasana rumah hampir roboh tersebut. Baru-baru ini ini ia terpaksa
tidak bermalam lagi di rumah tersebut karena rumah itu sujud kebelakangan
(baca: roboh). Kini ia tinggal bersama dengan anak bungsunya sebab kedua
anaknya tinggal di Makassar untuk melanjutkan kuliahnya. Ia sebenarnya tak
membiarkan kedua anaknya tersebut untuk kuliah. Namun kedua anaknya memberikan
pengertian bahwa mudah-mudahan dengan anaknya kuliah di Makassar nantinya dapat
mengurangi bebanya di kemudian hari.
Ia biasa dipanggil
oleh orang dengan sebutan “sia” itu nama panggilannya baginya sedang nama yang
tertera di ijasahnya adalah syamsiah dan terkadang juga dipanggil degan sebutan
salasia. Namanya ayahnya bernama Jumaka dan Ibunya bernama Sala’. Ia adalah
anak ketiga dari lima bersaudara. Juga ia mempunyai saudara tiri lima orang
dari ayah yang sama dengan ibu yang berbeda yang tak lain adalah saudara dari
ibunya yang bernama Hanang. Ia tinggal di salah satu kabupaten di Sulawesi
selatan tepatnya di Jeneponto kecamatan Tamalatea kelurahan Bontotangnga
lingkungan Bumbungloe. Semua saudaranya dengan ia akur-akur saja namun
terkadang pertikaian antar saudara tidak bisa dihindari itu wajar saja. Siapa
pun akan mengalami hal seperti itu disetiap keluarganya. Sebagai contoh antara
ia dan saudara kandung sendiri yakni kakak pertamanya yang perempuan tidak akur
hingga beberapa tahun lamanya. Namun sekarang sudah berbaikan dengannya dan
juga antara saudara bungsunya juga pernah berselisih. Kini saudara bungsunya
telah tiada meninggalkan seorang suami dan juga empat orang anak. Tiga
laki-laki dan satu perempuan. Walaupun begitu ia seakan derajatnya di mata
orang terutama di kampungnya terangkat
dengan anaknya yang kuliah di Makassar. Ada orang bijak mengatakan bahwa orang
tua itu sebenarnya tak mengharapkan apa-apa dari anaknya. Namun ketika anaknya
telah berhasil ia hanya akan mendapatkan namanya dihargai di mata orang yang
ada disekelilingnya. Suatu ketika ia pernah menangis meronta-ronta oleh akibat
ulah anaknya sendiri yakni anak sulungnya ketika itu ia tak tahu sama sekali
anaknya tersebut menggadaikan kebunnya selama sepuluh dengan mengambil uang dua
juta untuk diinvestasikan dari bisnisnya. Ia diiming-imingi dengan impian yang
amat tinggi untuk bisa sejahtera dalam waktu yang relatif singkat. Tak dinanya,
malah ia ditipu. Akhirnya impiannya tinggal kenangan saja. Dan anaknya tersebut
mendapat berbagai cibiran dan cemohan dari orang-orang yang tak menyukainya.
Dan menjadikan hal tersebut sebagai senjata dari orang-orang yang
bertanggungjawab untuk melumpuhkan semangatnya. Namun, hal itu bagi anak
sulungnya tersebut dijadikan sebagai cambuk untuk tidak mengulanginya lagi dan
akan selalu untuk berbuat yang wajar-wajar saja. Hingga kini, masalah itu
selalu saja diungkit-ungkit bagi mereka yang tak senang padanya dan menjadikan
itu sebagai hinaan baginya. Anak sulungnya tersebut menganggap bahwa ia selalu
diperhatikan dan dipikirkan bagi yang membencinya. Seakan terasing di kampung
sendiri. Anak sulungnya tersebut bagi kalangan sebayanya bukan bermaksud riya’
tetapi hanya sebagai bentuk kesyukurannya. Ia disebut orang mempunyai kelebihan
tersendiri bagi kalangan sebayanya.
Dari sebuah kata
menjadi kalimat sederhana kemudian beralih menjadi paragraf yang mempunyai
makna tersendiri. Dari makna itu mudah-mudahan ditemukan hikmah yang dalam
paragraf tersebut setelah itu menjadi selembar halaman dalam sebuah kertas yang
akan beruntai menjadi lembar demi lembar dan akhirnya menjadi sebuah bacaan
yang punya sarat akan makna dan hikmah di dalamnya. Tulisan ini ditulis hanya
sebuah refleksi dari dari anak akan ibundanya yang amat disayanginya agar semua
orang tahu bahwa betapa sulitnya mengaringi samudra kehidupan yang dihadapi
oleh seorang ibu dari anaknya dan seorang istri yang lama ditinggal oleh
suaminya yang kurang lebih duapuluh tahun lamanya. Dan tulisan ini muncul
begitu saja dibenak penulis untuk ditulis dalam lembaran kosong yang sangat
bersedia sekali dicoret-coreti dan tangan ini asyik dalam tariannya di atas
lembaran kosong ini. Penulis berharap dengan ditulisnya sedikit serpihan
kehidupan membawa makn yang sangat berarti betapa kita hidup hanya sementara
dan untuk abadi hanyalah melalui tulisan. Itulah adalah kata dari orang-orang
bijak yang memaknai sebuah tulisan dan akan menjadi sejarah dalam kehidupan
ini. Apa yang telah tertulis di atas juga hanya untuk mengurangi beban penulis
untuk menyimpan dalam memory yang terbatas ini yang suatu saat akan lupa dan
khilaf. Dan tulisan ini mencoba menggali potensi bagi penulis dalam hal
penulisan. Ini adalah fenomena yang penulis rasa sudah sangat langka. Apalagi
sekarang banyak yang pintar dalam berbicara dan beretorika dalam menulis amat
susah baginya. Namun, tidak semua juga orang seperti itu adakalanya. Bisa
bicara di depan orang banyak dan lihai dala menulis. Bahkan yang lebih para
lagi tidak bisa bicara apalagi menulis. Sekian dari penulis semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar