QURBAN
Oleh: Muh. Sultan Faisal
Pengertian
Qurban Berqurban merupakan sebuah syariat yang sudah
ada semenjak generasi manusia pertama. Dalam Al Qur’an bisa kita simak
bagaimana kisah aktivitas berqurban yang dilakukan oleh anak-anak nabi Adam ‘alaihissalam.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman : “Ceritakanlah kepada mereka
kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika
keduanya mempersembahkan Qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka
berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil):
“Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah:27).
Selanjutnya aktivitas berqurban ini juga
menjadi amaliyah bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihissalam. Dan bahkan
kemudian dikenal dari sinilah sumber syariat Qurban umat nabi Muhammad Shalallahu’alaihi
Wasallam berasal. Sebagaimana beliau menerangkan ketika ditanya oleh
salah seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, apakah Qurban itu?” beliau menjawab:
“Qurban adalah sunahnya bapak kalian Nabi Ibrahim.” (HR. Ahmad).
Hukum berqurban Dalam Al Mausu’ah Fiqhiyah disebutkan
bahwa Jumhur ulama berpendapat hukum berqurban adalah sunnah mu’akkadah.[5] Yakni pendapat
dari mazhab Syafi’iyah, Hanabilah dan perkataan yang kuat dari kalangan mazhab
Malikiyah. Ini pula yang diklaim menjadi pendapat Abu Bakar, Umar, Bilal, Abu
Mas’ud al Badri, Sa’id bin Musayib, Alqamah, Aswad, Ishaq, Abu Tsur dan Ibnu
Mundzir. Demikian pula menurut satu riwayat, Abu Yusuf juga
menetapkan bahwa hukum Qurban menurutnya sunnah muakadah.[6]
Sedangkan Abu Hanifah dan para pengikut mazhabnya
berpendapat bahwa hukum berqurban adalah wajib sekali setiap tahun bagi
orang-orang yang muqim dan memiliki kemampuan.[7] Mereka yang
meninggalkan berqurban padahal memiliki kemampuan, terhitung sebagai orang yang
bermaksiat kepada Allah. Yang juga turut memandang bahwa syariat Qurban
hukumnya wajib adalah Al Laits, Al Auza'i, dan sebagian pengikut mazhab Imam
Malik.[8]
Dalil yang digunakan oleh para ulama yang mewajibkan
Adalah sebuah hadits yang berbunyi : “Barangsiapa yang memiliki kelapangan
(rezeki) dan dia tidak berqurban, maka janganlah ia dekati tempat shalat kami.”
(HR. Ibnu Majah)
Dalam mengomentari hadits ini, Imam Ash Shan’ani rahimahullah
berkata : “Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berqurban bagi yang
memiliki kelapangan rezeki, karena ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam melarang mendekati tempat shalat, menunjukkan bahwa itu merupakan
meninggalkan kewajiban, seakan Beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat
jika meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firmanNya : “Maka dirikanlah
shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim
secara marfu’ berbunyi: “(wajib) atas penduduk setiap rumah pada tiap
tahunnya untuk berqurban.” Lafaz hadits ini dzahirnya menunjukkan wajibnya
berqurban.[9]
Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa
dua hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), sebab kedua hadits
tersebut dha’if. Sedangkan ayat : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu;
dan berqurbanlah” Tidak bermakna wajib kurban melainkan menunjukkan urutan
aktifitas, yakni menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Id.
Kalangan ini pun berdalil, seandainya hadits di atas
katakan saja shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam
riwayat lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda : “Jika
kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak berqurban maka janganlah
mengambil sedikit pun dari bulu dan kulitnya.”( HR.Muslim)
Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa
berqurban itu terkait dengan kehendak manusianya. Oleh karena itu Imam
Asy Syafi’i secara khusus menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya
berqurban alias sunah muakkadah.[10]
Hadits lainnya yang menunjukkan tidak wajibnya
Qurban : “Aku diwajibkan untuk berqurban, namun tidak wajib bagi kalian.”
(HR. Ahmad dan Al Baihaqi)
IV.
Waktu Penyembelihan
Pada umumnya para ulama menetapkan bahwa waktu
penyembelihan Qurban dimulai setelah Shalat ‘Ied (10 Zulhijjah) hingga selesai
hari-hari tasyrik, yakni 11,12,13 Zulhijjah. Lewat itu maka bukan lagi disebut
Hewan Qurban (Al Udh-hiyah) tetapi sedekah biasa. Hal ini berdasarkan
hadits dari Jubeir bin Muth’im Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda : “Semua hari-hari tasyriq merupakan waktu
penyembelihan.”(HR. Ahmad)
Penetapan awal waktu penyembelihan setelah shalat
Ied, sesuai dengan ayat : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berqurbanlah.”
Ayat diatas menunjukkan bahwa an nahr
(penyembelihan) dilakukan setelah shalat ‘Ied dikerjakan. Lebih gamblang lagi
diterangkan dalam sebuah riwayat dari sahabat Jundab Al Bajali Radhiyallahu’anhu
: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat pada Idul
Adha, kemudian berkhutbah dan berkata: barangsiapa yang menyembelih sebelum
shalat maka dikembalikan tempatnya, dan barangsiapa yang belum menyembelih maka
sembelihlah dengan menyebut nama Allah.”(HR. Muslim)
V.
Jenis Hewan Sembelihan
Tidak semua hewan bisa dijadikan sembelihan Qurban.
Hanya hewan tertentu yang telah ditentukan syariat yang boleh digunakan untuk
melaksanakan syariat yang satu ini. Sebab, ini adalah ibadah yang sudah
memiliki petunjuk bakunya dalam syariat yang tidak boleh diubah, baik dengan
cara dikurang ,ditambah atau dipindah.
Mengenai jenis hewan yang boleh dijadikan Qurban
diantaranya diterangkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah :
“Ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa hewan Qurban itu hanya dapat diambil
dari hewan ternak (An Na’am) tidak selainnya. Mereka juga sepakat bahwa yang
lebih utama adalah unta (Ibil), lalu sapi/kerbau (Baqar), lalu
kambing (Ghanam), demikianlah urutannya.[11]
Dalil-dalil berqurban dengan unta dan sapi adalah,
dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu : “Kami haji bersama
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kami berqurban dengan Unta untuk tujuh
orang, dan Sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim)
Untuk kambing, dalilnya adalah: “Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam menyembelih Unta dengan tangannya sendiri sambil
berdiri, di Madinah Beliau menyembelih dua ekor kambing Kibas yang putih.”
(HR. Bukhari)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk Qurban satu keluarga, dan
pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau
bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu
yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam seseorang
(suami) menyembelih seekor kambing sebagai Qurban bagi dirinya dan
keluarganya.” (HR. Tirmidzi).
Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing Qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan, “Yaa Allah ini (qurba) dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud dan Al Hakim).
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor sapi dijadikan Qurban untuk 7 orang.
Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Ini adalah pendapat jumhur ulama kecuali
Imam Malik dan sebagian pengikutnya.[12]
Pendapat jumhur ini didasarkan kepada hadits riwayat Jabir Radhiyallahu’anhu
beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami
pun berserikat sepuluh orang untuk Qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor
sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam masalah pahala, ketentuan Qurban sapi sama
dengan ketentuan Qurban kambing. Artinya bagian 7 orang untuk Qurban seekor
sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut
berserikat tersebut. Meskipun tentunya yang lebih utama apabila seseorang itu
berqurban untuk dirinya dan keluarganya saja.
Adapun tentang hadits : “…Kambing hanya boleh
untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” maksudnya
adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang,
biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang, dst.[13]
VI. Syarat-Syarat Hewan Layak Qurban
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menuliskan ada dua syarat dari
hewan yang akan dikurbankan :
1. Hendaknya yang sudah besar, jika selain jenis Adh Dha’nu
(benggala, biri-biri, kibasy, dan domba). Jika termasuk Adh Dha’nu maka
cukup jadza’ atau lebih.[14]
Unta dikatakan besar jika sudah mencapai umur lima tahun. Sapi jika sudah
dua tahun. Kambing jika sudah setahun penuh. Bila hewan-hewan ini telah
mencapai umurnya masing-masing maka sudah boleh dijadikan hewan kurban.
2. Hendaklah sehat dan tidak cacat. Maka tidak boleh ada pincang, buta
sebelah, kurap (penyakit kulit), dan kurus. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda : “ Empat macam cacat fisik yang tidak boleh dijadikan
kurban ; Hewan yang jelas buta, jelas sakit, pincang dan pecah kepalanya sampai
rusak otaknnya.” (HR. al-Jama’ah)
VII. Upah Untuk Penjagal
(Penyembelih)
Boleh saja memberikan imbalan kepada penyembelih hewan Qurban. Namun tidak
boleh imbalan itu diambilkan dari bagian daging Qurban. Hendaknya diambilan
dari sumber dana lain. Sebab daging Qurban adalah harta yang
dipersembahkan, oleh karena itu dia tidak boleh dijadikan sebagai alat
pembayaran atau dijual belikan, termasuk bahkan kulitnya. Demikianlah
menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama. Namun, penyembelih dibolehkan diberikan
sedekah darinya, dan tidak dinamakan upah.
Dalilnya adalah sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan aku untuk
mengurusi penyembelihan unta-untanya dan
membagi-bagikan kulit dan dagingnya, dan saya diamanahkan agar tidak memberikan
si tukang potong dari hasil potongan itu (sebagai upah).” Ali berkata: “Kami
memberikannya upah dari kantong kami sendiri.” (HR.
Muslim)
VIII. Cara Pembagian Daging Kurban
Ulama bersepakat bahwa orang yang berqurban boleh
untuk turut serta memakan daging hewan Qurban yang disembelihnya. Jadi sama
sekali tidak benar bila ada yang beranggapan orang yang berqurban tidak boleh
memakan sedikitpun daging Qurbannya. Karena Allah ta’ala telah berfirman : “Apabila
telah roboh (hewan Qurban itu), maka makanlah sebahagiannya, dan (sebahagian
lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (al
Hajj :36)[15]
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan
cara pembagian daging hewan Qurban sebagai berikut : “Si pemilik hewan
kurban dibolehkan makan sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh
menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia
boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan boleh
juga menjadi tiga bagian, untuknya sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan
disedekahkan sepertiga.”[16]
Demikian penjelasan tentang masalah ini, semoga
bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar