Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Minggu, 28 September 2014

Puasa Sunnah Arafah


 Puasa Sunnah Arafah

Tanggal 9 Dzulhijjah adalah tanggal istimewa bagi umat Islam yang sedang berada di tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji, karena pada tanggal ini mereka akan melakukan wukuf di Arafah yang merupakan rukun inti dari ibadah haji. Sementara itu, bagi yang belum mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji, kita juga dapat melakukan ibadah lain yang nilai pahalanya tak kalah jauh dengan wukuf di Arafah yakni dengan melaksanakan Puasa Arafah.

Hukum Puasa Arafah sendiri adalah Sunnah Muakkad, yakni sunnah yang sangat dianjurkan. Meskipun sunnah namun Puasa Arafah ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan bagi umat Islam di seluruh bumi, kecuali memang ada halangan yang tak memungkinkan untuk melakukan ibadah shaum ini. Puasa Arafah memiliki keutamaan yang luar biasa. Adapun waktu pelaksanaannya adalah sama dengan Wukuf di Arafah (bagi yang sedang beribadah Haji) yakni tanggal 9 Dzulhijjah 1435 yang bertepatan pada tanggal 03 Oktober 2014 hari ini puasa arafah adalah puasa sunnah yang  sangant di anjurkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.   

Niat Puasa Arafah

NAWAITU SAUMA ARAFAH SUNNATAN LILLAHI TA'ALA
“ Saya niat puasa Arafah , sunnah karena Allah ta’ala.” 

Keutamaan Puasa Arafah

Menghapuskan dosa selama dua tahun yakni satu tahun sebelumnya dan satu tahun ke depan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya.” (HR. Muslim).

Pembebasan dari api neraka. Sebagian ulama menjelaskan bahwa pembebasan dari neraka pada hari Arafah diberikan Allah bukan hanya kepada jamaah haji yang sedang wukuf, melainkan juga untuk kaum muslimin yang tidak sedang menjalankan haji. Terlimpahkannya ampunan Allah terhadap dosa selama dua tahun melalui puasa Arafah sangat terkait dengan keutamaan kedua ini. “Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim).

Ke-Mustajab-an Doa di Puasa Arafah. Secara umum doa orang yang berpuasa akan dikabulkan oleh Allah. Ditambah lagi dengan keutamaan waktu hari Arafah yang merupakan sebaik-baik doa pada waktu itu, maka semakin kuatlah keutamaan terkabulnya doa orang yang berpuasa Arafah pada hari itu. “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir (Tidak ada Ilah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. MilikNyalah segala kerajaan dan segala pujian, Allah Maha Menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, Hasan).( sumber:www.galaunews.com).

Nilainya lebih baik dan tinggi dari jihad: "Tidak ada amal yang dilakukan pada hari-hari lain yang lebih baik daripada yang dilakukan pada sepuluh hari ini." Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad?" Beliau menjawab, "Tidak pula jihad, kecuali seorang lelaki yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan membawa apapun." [H.R. al-Bukhari (969). An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/251), "Yang dimaksud dengan sepuluh hari di sini adalah sembilan hari pertama dari bulan Dzulhijjah] ."Tidak ada hari-hari yang beramal shalih pada hari itu lebih baik dari-pada yang dilakukan pada hari-hari ini." Yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.Nabi s.a.w. bersabda; “Tidak ada hari yang paling banyak Allah membebaskan hambanya pada hari tersebut dari neraka dari hari ‘Arafah” (Riwayat Imam Muslim). Termasuk 3 Orang yang Dihormati MALAIKAT,Sabda Rasullullah S.A.W lagi: “Tiga kelompok manusia yang akan dijabat tangannya oleh para malaikat pada hari mereka keluar dari kuburnya yaitu :-
1. Orang-orang yang mati syahid
2. Orang-orang yang mengerjakan solat malam dalam Bulan Ramadhan.
3. Orang berpuasa di hari Arafah.

 

Pahalanya Melebihi Malam Lailatul Qadr

 

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari lain yang lebih disukai Allah SWT daripada 10 hari pertama di bulan Zulhijah.” Puasa di siang harinya adalah sama dengan puasa setahun penuh, dan ibadah di malam harinya setara dengan ibadah di malam Laylat al-Qadar. (Tirmidzi dan Ibnu Majah). (Sumber:koarhan.blogspot.com)

 

Hukum Puasa Arafah Bagi yang Berada di Arafah (Sedang Haji).
Ada tiga pendapat dalam permasalahan ini:

Diharamkan.
Ini adalah pendapat Yahya bin Said Al-Anshari dan ini yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata, “Nabi -alaihishshalatu wassalam- melarang melakukan puasa arafah di arafah.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Ibnu Majah)
Akan tetapi hadits ini lemah karena berasal dari jalan Mahdi Al-Abdi Al-Hajari dari Ikrimah dari Abu Hurairah, sementara Mahdi Al-Hajari ini adalah rawi yang majhul hal. Al-Uqaili berkata, “Tidak ada yang mendukung riwayatnya. Telah diriwayatkan dari beliau -alaihishshalatu wassalam- dengan sanad-sanad yang baik bahwa beliau tidak melakukan puasa arafah di arafah, akan tetapi tidak shahih dari beliau adanya larangan untuk puasa arafah di arafah.

Disunnahkan untuk berbuka di arafah.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan hadits Maimunah bintu Al-Harits dan Ummu Al-Fadhl bintu Al-Harits yang keduanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 1575, 1887, 1888) dan Muslim (no. 1123) bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- meminum susu pada hari arafah.

Disunnahkan berpuasa di arafah.
Ibnu Az-Zubair, Usamah bin Zaid, dan Aisyah -radhiallahu anhum- berpuasa arafah di arafah. Hal itu membuat kagum Al-Hasan dan dia membawakan pendapat ini juga dari Utsman. Ibnu Al-Mundzir menukil pendapat ini dari Ishak bin Rahawaih, dan merupakan pendapat lama dari Asy-Syafi’i. Al-Khaththabi juga membawakan pendapat ini dari Ahmad dan ini pendapat yang dipilih oleh Al-Ajurri. Hanya saja sebagian di antara ulama di atas ada yang memberikan batasan sunnahnya jika puasa itu tidak membuat badannya lemah untuk melakukan wuquf dan berdoa di arafah.
Mereka berdalil dengan keumuman hadits, “Dia menghapuskan (dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Adapun hadits Maimunah dan Ummu Al-Fadhl, maka Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Kedua hadits ini dijadikan dalil akan disunnahkannya berbuka (tidak puasa) pada hari arafah di arafah. Hanya saja pendalilan ini kurang tepat, karena perbuatan beliau -alaihishshalatu wassalam- semata tidaklah menafikan disunnahkannya berbuka pada hari itu. Karena terkadang beliau meninggalkan sesuatu yang disunnahkan hanya untuk menunjukkan bolehnya, sehingga dalam keadaan itu lebih utama bagi beliau untuk tidak berpuasa karena adanya maslahat dakwah.” Lihat Fath Al-Bari (4/238)

Tarjih:
Yang kuat -wallahu a’lam- adalah pendapat yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar yaitu pendapat yang ketiga berdasarkan argumen yang beliau sebutkan. Apalagi konteks hadits Maimunah dan Ummu Al-Fadhl menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai apakah Nabi -alaihishshalatu wassalam- berpuasa arafah di arafah ataukah tidak -dan ketika itu beliau tengah berada di arafah-, maka kedua shahabiah ini mengirimkan susu kepada Nabi -alaihishshalatu wassalam- lalu beliau minum sementara beliau berdiri di arafah -dalam sebagian riwayat: di atas tunggangannya- sementara para sahabat melihat beliau minum. Maka yang nampak dari sini adalah beliau minum hanya untuk menunjukkan beliau tidak mewajibkan berpuasa pada hari itu.
Hanya saja hukum sunnah ini tentu saja berlaku jika puasa itu tidak membuat badannya lemah untuk melakukan wuquf dan berdoa di arafah -sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama-. Jika puasa tersebut membuatnya lemah sehingga tidak bisa maksimal untuk beribadah di arafah maka lebih afdhal baginya untuk berbuka dan tidak berpuasa. Wallahu a’lam bishshawab.
[Lihat: Al-Majmu’ (6/349-350), Al-Inshaf (3/310), dan Al-Muhalla masalah. 793].[Rujukan utama: Ithaf Al-Anam bi Ahkam wa Masail Ash-Shiyam hal. 158-160].(Sumber:
rizaalmanfaluthi.com). Wallahu A’lam

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar