Kata Mutiara

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu

Selasa, 23 September 2014


MENCEGAH PERPECAHAN

Islam adalah agama yang dibina di atas persatuan ‘Akidah Islamiyah yang kokoh, seyogianya kita tidak terjebak dengan perbedaan bangsa dan suku. Dalam ayat di atas Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu. Maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga

dengan apa yang ada pada sisi

mereka (masing-masing). (Al-

Mu’minum: 52 – 53).

Rasulullah bersabda:

Artinya: Yahudi terpecah

menjadi 71 atau 72 golongan

Nasrani terpecah menjadi 71 atau

72 golongan dan umatku akan

berpecah belah menjadi 73

golongan.

Sudah menjadi kecenderungan

manusia, bahwa tiap golongan/

kelompok merasa bangga dengan apa

yang mereka miliki. Dengan harapan

akan mendapatkan kemenangan,

padahal dalam surat al-Anfal 45-47

ditegaskan bahwa teguh di hadapan

musuh, menjalin hubungan dengan

Allah dengan banyak berzikir, taat

pada Allah dan Rasul-Nya, tidak

berbantah-bantahan, dan sabar

terhadap konsekuensi perjuangan

adalah sumber kemenangan.

Seandai Allah menghendaki umat

ini bersatu dan tidak terjadi

perpecahan tentu itu mudah bagi-

Nya sebagaimana firman Allah:

Artinya: Seandai Tuhanmu

menginginkan, niscaya Dia

menjadikan manusia umat yang

satu. (Hud: 118)

Untuk mempersatukan umat yang

diperlukan bukanlah dengan cara

menghapus perbedaan pendapat,

tapi bagaimana memenej perbedaan

tersebut ke arah positif dan

mashlahat.

Kaum Muslimin jamaah Jum’at

rahimakumullah.

Para ulama memberikan pedoman

bagaimana menyikapi perbedaan

pendapat dalam masalah ijtihadiyah

di antaranya adalah:

1. Tidak Menganggap Sesat Pihak

Lain Yang Berbeda Pendapat

Dalam masalah ijtihadiyah,

masing-masing pihak sebenarnya

berangkat dari niat luhur yang sama,

yaitu ketaatan pada Allah. Bukan

membid’ahkan, menganggap fasiq,

atau mengafirkan pihak lain yang

berbeda pendapat.

Nabi saw pernah mencontohkan

sikap ini. Ibnu Umar menceritakan,

bahwa sehabis Perang Ahzab,

Rasulullah memerintahkan sahabat

untuk menyerang Yahudi Bani

Quraizhah yang melanggar perjanjian

damai. Sebelum berangkat, Nabi

berpesan, “Tidak ada yang boleh

shalat Asyar kecuali di tempat Bani

Quraizhah.”

Dalam perjalanan, waktu shalat

Asyar masuk. Sahabat berbeda

pendapat, antara shalat di jalan atau

shalat di tempat tujuan. Akhirnya,

masing-masing kelompok shalat

dengan ijtihadnya sendiri.

Sekelompok melakukan shalat Asyar

di jalan, sementara yang lain

melakukan shalat di tempat Bani

Quraizhah.

Ketika perang usai, peristiwa

tersebut diceritakan kepada Nabi.

Bagaimana sikap Rasul? Beliau

tidak mencela seorang pun dari

sahabat. (HR. Bukhari-Muslim)

Pendapat kedua kelompok

sahabat itu tentu ada yang benar dan

ada yang salah. Namun, Rasulullah

sama sekali tidak mencela mereka.

Dalam Al-Qur'an Allah berfirman:

Artinya: Dan janganlah kamu

menyerupai orang-orang yang

bercerai-berai dan berselisih

sesudah datang keterangan yang

jelas kepada mereka (Ali Imran: 105).

2. Melakukan Dialog Yang Sehat

dan Saling Pengertian

Perbedaan pendapat kerap tidak

bisa dihindari. Baik karena dalil yang

memang berpeluang untuk

ditafsirkan berbeda, atau karena

tingkat pemahaman yang tidak sama.

Namun, bukan berarti perbedaan

pendapat kemudian dibiarkan. Usaha

untuk memperkecil ruang perbedaan

di antara umat tetap harus dilakukan.

Caranya, dialog yang sehat dengan

saling menghargai antara pihak-pihak

yang berbeda.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah

menulis, “Tidak seorang pun yang

boleh memaksa orang lain untuk

mengikuti pendapatnya. Yang bisa

dia lakukan adalah mengemukakan

dalilnya.” (Majmu’ Fatawa, XXX/80)

Kaum Muslimin jamaah Jum’at

rahimakumullah.

3. Tidak Memaksakan Pendapat

Seseorang tidak mungkin memaksakan

pendapatnya kepada orang lain,

semua orang selain Nabi dan Rasul

dapat diterima atau ditolak pendapatnya.

Tidak ada seorang pun yang

wajib ditaati dalam setiap perkataannya

kecuali para Nabi dan Rasul,

tidak pula wajib bagi manusia untuk

mengikutinya. Yang mutlak ditaati

sebagaimana mana firman Allah:

Artinya: "Hai orang-orang yang

beriman, taatilah Allah dan taatilah

Rasul-Nya," (An-Nisa': 59)

4. Tidak Fanatik Buta

Pendapat seseorang boleh jadi

telah jelas keliru. Karena

bertentangan dengan dalil-dalil

syariat. Tapi, pengikut-pengikut

orang itu bersikukuh bahwa

pendapat itu benar. Sikap ini disebut

fanatik buta atau ta’asshub. Ulama

dahulu memperingatkan pengikutnya

agar tidak terjebak kepada sikap

fanatik ini karena Al-Qur’an telah

menegaskan:

Artinya: Ikutilah apa yang

diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu dan janganlah kamu

mengikuti pemimpin-pemimpin

selain-Nya. Amat sedikitlah kamu

mengambil pelajaran

(daripadanya). (Al A’raf: 3)

Kaum Muslimin jama’ah Jum’at

rahimakumullah

5. Menghindari Pendapat Yang

Keliru

Tidak semua perkara setiap

mujtahid bebas untuk memilih

pendapat yang ada. Kenyataannya,

beberapa masalah ijtihadiyah telah

final. Artinya, pendapat yang benar

dan salah dalam persoalan tersebut

telah jelas. Sehingga ruang untuk

berbeda pendapat tidak ada lagi.

Seperti riba fadhl hukumnya haram.

Pendapat yang jelas keliru

tersebut dikenal sebagai pendapat

syadz atau disebut sebagai zallah

(ketergelinciran) ulama. Ulama tetap

manusia. Kekeliruan yang tidak

disengaja tetaplah hal yang wajar

terjadi. Di sinilah umat dituntut untuk

tetap bijak dalam bersikap terhadap

ulama mereka. Semoga Allah

senantiasa memberikan hidayah

kepada semua. Amin.l
(disarikan dari bulletin al-mufiid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar