MENCEGAH PERPECAHAN
Islam adalah agama yang dibina di atas persatuan ‘Akidah Islamiyah yang
kokoh, seyogianya kita tidak terjebak dengan perbedaan bangsa dan suku. Dalam ayat di atas Allah
berfirman yang artinya: Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah
agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu. Maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut
Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi
beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada sisi
mereka (masing-masing). (Al-
Mu’minum: 52 – 53).
Rasulullah bersabda:
Artinya: Yahudi terpecah
menjadi 71 atau 72 golongan
Nasrani terpecah menjadi 71 atau
72 golongan dan umatku akan
berpecah belah menjadi 73
golongan.
Sudah menjadi kecenderungan
manusia, bahwa tiap golongan/
kelompok merasa bangga dengan apa
yang mereka miliki. Dengan harapan
akan mendapatkan kemenangan,
padahal dalam surat al-Anfal 45-47
ditegaskan bahwa teguh di hadapan
musuh, menjalin hubungan dengan
Allah dengan banyak berzikir, taat
pada Allah dan Rasul-Nya, tidak
berbantah-bantahan, dan sabar
terhadap konsekuensi perjuangan
adalah sumber kemenangan.
Seandai Allah menghendaki umat
ini bersatu dan tidak terjadi
perpecahan tentu itu mudah bagi-
Nya sebagaimana firman Allah:
Artinya: Seandai Tuhanmu
menginginkan, niscaya Dia
menjadikan manusia umat yang
satu. (Hud: 118)
Untuk mempersatukan umat yang
diperlukan bukanlah dengan cara
menghapus perbedaan pendapat,
tapi bagaimana memenej perbedaan
tersebut ke arah positif dan
mashlahat.
Kaum Muslimin jamaah Jum’at
rahimakumullah.
Para ulama memberikan pedoman
bagaimana menyikapi perbedaan
pendapat dalam masalah ijtihadiyah
di antaranya adalah:
1. Tidak Menganggap Sesat Pihak
Lain Yang Berbeda Pendapat
Dalam masalah ijtihadiyah,
masing-masing pihak sebenarnya
berangkat dari niat luhur yang sama,
yaitu ketaatan pada Allah. Bukan
membid’ahkan, menganggap fasiq,
atau mengafirkan pihak lain yang
berbeda pendapat.
Nabi saw pernah mencontohkan
sikap ini. Ibnu Umar menceritakan,
bahwa sehabis Perang Ahzab,
Rasulullah memerintahkan sahabat
untuk menyerang Yahudi Bani
Quraizhah yang melanggar perjanjian
damai. Sebelum berangkat, Nabi
berpesan, “Tidak ada yang boleh
shalat Asyar kecuali di tempat Bani
Quraizhah.”
Dalam perjalanan, waktu shalat
Asyar masuk. Sahabat berbeda
pendapat, antara shalat di jalan atau
shalat di tempat tujuan. Akhirnya,
masing-masing kelompok shalat
dengan ijtihadnya sendiri.
Sekelompok melakukan shalat Asyar
di jalan, sementara yang lain
melakukan shalat di tempat Bani
Quraizhah.
Ketika perang usai, peristiwa
tersebut diceritakan kepada Nabi.
Bagaimana sikap Rasul? Beliau
tidak mencela seorang pun dari
sahabat. (HR. Bukhari-Muslim)
Pendapat kedua kelompok
sahabat itu tentu ada yang benar dan
ada yang salah. Namun, Rasulullah
sama sekali tidak mencela mereka.
Dalam Al-Qur'an Allah berfirman:
Artinya: Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka (Ali Imran:
105).
2. Melakukan Dialog Yang Sehat
dan Saling Pengertian
Perbedaan pendapat kerap tidak
bisa dihindari. Baik karena dalil yang
memang berpeluang untuk
ditafsirkan berbeda, atau karena
tingkat pemahaman yang tidak sama.
Namun, bukan berarti perbedaan
pendapat kemudian dibiarkan. Usaha
untuk memperkecil ruang perbedaan
di antara umat tetap harus dilakukan.
Caranya, dialog yang sehat dengan
saling menghargai antara pihak-pihak
yang berbeda.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah
menulis, “Tidak seorang pun yang
boleh memaksa orang lain untuk
mengikuti pendapatnya. Yang bisa
dia lakukan adalah mengemukakan
dalilnya.” (Majmu’ Fatawa, XXX/80)
Kaum Muslimin jamaah Jum’at
rahimakumullah.
3. Tidak Memaksakan Pendapat
Seseorang tidak mungkin memaksakan
pendapatnya kepada orang lain,
semua orang selain Nabi dan Rasul
dapat diterima atau ditolak pendapatnya.
Tidak ada seorang pun yang
wajib ditaati dalam setiap perkataannya
kecuali para Nabi dan Rasul,
tidak pula wajib bagi manusia untuk
mengikutinya. Yang mutlak ditaati
sebagaimana mana firman Allah:
Artinya: "Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya," (An-Nisa': 59)
4. Tidak Fanatik Buta
Pendapat seseorang boleh jadi
telah jelas keliru. Karena
bertentangan dengan dalil-dalil
syariat. Tapi, pengikut-pengikut
orang itu bersikukuh bahwa
pendapat itu benar. Sikap ini disebut
fanatik buta atau ta’asshub. Ulama
dahulu memperingatkan pengikutnya
agar tidak terjebak kepada sikap
fanatik ini karena Al-Qur’an telah
menegaskan:
Artinya: Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. Amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran
(daripadanya). (Al A’raf: 3)
Kaum Muslimin jama’ah Jum’at
rahimakumullah
5. Menghindari Pendapat Yang
Keliru
Tidak semua perkara setiap
mujtahid bebas untuk memilih
pendapat yang ada. Kenyataannya,
beberapa masalah ijtihadiyah telah
final. Artinya, pendapat yang benar
dan salah dalam persoalan tersebut
telah jelas. Sehingga ruang untuk
berbeda pendapat tidak ada lagi.
Seperti riba fadhl hukumnya haram.
Pendapat yang jelas keliru
tersebut dikenal sebagai pendapat
syadz atau disebut sebagai zallah
(ketergelinciran) ulama. Ulama tetap
manusia. Kekeliruan yang tidak
disengaja tetaplah hal yang wajar
terjadi. Di sinilah umat dituntut untuk
tetap bijak dalam bersikap terhadap
ulama mereka. Semoga Allah
senantiasa memberikan hidayah
kepada semua. Amin.l
(disarikan dari bulletin al-mufiid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar