KARAKTERISTIK
HUKUM ISLAM
I. PENDAHULUAN
Hukum pada intinya merupakan suatu
aturan yang mengikat pada tiap diri seseorang sebagai kontrol, dan dengan
kontrol itu diharapkan seseorang tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar
batas dan nantinya akan merugikan orang lain. Hukum itu sendiri muncul karena
pada dasarnya setiap diri manusia memiliki dua sifat yang cenderung
bertentangan. Yang satu selalu ingin melakukan kebaikan karena memang manusia
pada dasarnya memiliki nurani yang bersih namun pada sisi yang lain manusia
juga tak terlepas dari “nafsu ” memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu
(makan, minum, berbuat kemaksiatan, dll) . Untuk itu, perlu adanya sebuah
pembatas sebagai kontrol agar terciptanya sebuah ketenteraman dan kemaslahatan
dalam sebuah masyarakat.
Dalam hal ini yang menjadi persoalan
dasar adalah hukum yang pernah diterapkan dalam sebuah masyarakat itu beragam.
Kita ambil contoh saja hukum Islam dan hukum positif yang mana keduanya
sama-sama mengikat. Dan tentu prinsip dari masing-masing hukum itu berbeda
pula. Hukum positif tidak diperbolehkan menembus pada aspek privat, yakni
hal-hal yang tidak berimplikasi pada publik. Sedangkan hukum Islam sebaliknya,
yakni mengatur hal-hal yang demikian. Misalkan, setiap orang Islam harus melaksanakan
sholat fardhu. Tentu apabila ada orang yang tidak melaksanakannya tidak akan
dihukum melalui pengadilan sebagai lembaga eksekusi hukum positif.
II. LATAR BELAKANG MASALAH
Menanggapi dari pendahuluan tadi,
pemakalah akan mengulas bagaimana sebenarnya karakteristik dari hukum Islam
yang membedakan dengan hukum lainnya itu, mengapa hukum Islam mengatur sampai
pada aspek moral pada setiap insan. Padahal hukum positif tidak mengikat sampai
hal yang sekecil itu.
III. PEMBAHASAN
A. Hukum Islam Bersifat Sempurna dan
Universal
Allah adalah Tuhan yang
Mahasempurna, maka hukum yang Dia buat harus sempurna pula. Karena apabila
tidak, tentu berdampak pada persepsi manusia. Mereka akan meragukan
kepercayaannya mengenai adanya Tuhan di alam ini. Dalam asma’ul husna disebutkan
bahwa Ia memiliki sifat اول, أخر, ظاهر, باطن, yang pertama, dan terakhir, yang
dhohir dan batin. Jadi Ia juga memiliki hukum yang berlaku sepanjang zaman.
Bukan hanya mengatur pada aspek legal kemasyarakatan tetapi juga mengatur
kepentingan-kepentingan ukhrawi.[1]
Hal ini bisa dipahami melalui kata ظاهر, kita bisa memaknai bahwasanya hukum
yang bersifat dhohir adalah hukum yang mengikat/mengatur tentang keduniaan. Dan
bisa dikatakan cakupan hukum yang dhohir sama dengan hukum positif yang biasa
diberlakukan bagi warga negara. Yang kedua kata باطن, kita bisa memaknai bahwasanya hukum
yang bersifat batin adalah hukum yang mengatur pada aspek ukhrawi. Dan inilah
yang tidak dimiliki oleh hukum positif lainnya.
Dalam bukunya Dr. Muhammad
Muslehuddin (1991 : 48), Jackson telah mengungkapkan :
Hukum Islam menemukan sumber
utamanya pada kehendak Allah sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ia
menciptakan sebuah masyarakat mukmin, walaupun mereka mungkin terdiri atas
berbagai suku dan berada di wilayah-wilayah yang amat jauh terpisah. Agama,
tidak seperti nasionalisme atau geografi, merupakan suatu kekuatan kohesif utama.
Negara itu sendiri berada di bawah (subordinate) Al-Qur’an, yang
memberikan ruang gerak sempit bagi pengundangan tambahan, tidak untuk dikritik
maupun perbedaan pendapat. Dunia ini dipandang hanya sebagai ruang depan bagi
orang lain dan sesuatu yang lebih baik bagi orang yang beriman. Al-Qur’an juga
menentukan aturan-aturan bagi tingkah laku menghadapi orang-orang lain maupun
masyarakat untuk menjamin sebuah transisi yang aman. Tidak mungkin memisahkan
teori-teori politik atau keadilan dari ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan
aturan-aturan tingkah laku, mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan
politik. Ini menimbulkan hukum tentang kewajiban-kewajiban daripada hak-hak,
kewajiban moral yang mengikat individu, dari mana tidak (ada otoritas bumi
yang) bisa membebastugaskannya, dan orang-orang yang tidak mentaatinya akan
merugikan kehidupan masa mendatangnya.
Dari ungkapan Jackson di atas, telah
jelas bahwa Islam menentukan aturan-aturan tingkah laku mengenai hal-hal yang
bersifat legal kemasyarakatan/publik, yang diungkapkan pada kalimat :
“ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan aturan-aturan tingkah laku, mengenai
kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan politik”. Dan yang kedua, mengenai
aspek moral/individu, yang diungkapkan pada kalimat terakhir. Inilah ciri utama
yang dimiliki hukum Islam yang tidak ada bandingannya.
Yang kedua hukum Islam itu bersifat
universal. Mencakup seluruh manusia ini tanpa ada batasnya. Tidak dibatasi pada
negara tertentu, benua, daratan, atau lautan. Seperti halnya pada ajaran-ajaran
nabi sebelumnya.[2]
Misalkan, Nabi Musa hanya mencakup pada kawasan Mesir dan sekitarnya, Nabi Isa
mencakup pada kawasan Israel, dan lain sebagainya. Ini didasarkan pada
Al-Qur’an yang memberikan bukti bahwa hukum Islam tersebut ditujukan kepada
seluruh manusia di muka bumi. Allah berfirman :
Artinya : “Dan Kami (Allah) tidak
mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, untuk
membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.” (As-Saba’ : 28)
Artinya : “Dan Kami (Allah) tidak
mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
(Al-Anbiyya’ : 107)
B. Dinamis dan Elastis
Hukum Islam bersifat dinamis yang
berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.[3]
Atau bisa dikatakan sangat cocok untuk diterapkan pada setiap zaman. Mungkin
ada beberapa orang yang berasumsi bahwa kedinamisan suatu hukum itu tidak
mungkin terjadi. Pada dasarnya sesuatu di alam ini akan berubah, begitu juga
sebuah hukum yang sudah pasti bisa berubah sewaktu-waktu. Untuk itu, sifat
dinamis ini harus dikaitkan dengan sifat elastis (luwes). Lalu bagaimana sifat
elastis pada hukum Islam ini dapat kita lihat? Dalam Islam, kita kenal dengan
sebutan ijtihad yang mana menurut Iqbal di sebut dengan “prinsip gerak dalam
Islam”.[4]
Ijtihad ini memungkinkan bagi orang Islam untuk menyesuaikan hukum yang ada
pada masa Rasul (saat hukum Islam diciptakan) dengan keadaan sekarang yang
terjadi di lingkungannya. Inilah yang disebut dengan keelastisan hukum Islam.
Sifat dinamis dan elastis ini dapat
kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya adalah jual beli yang sesuai
dengan syariat Islam. Pada masa Rasulullah, jual beli dilakukan dengan saling
tatap muka, artinya antara si penjual dan si pembeli saling bertemu untuk
melakukan akad. Tetapi pada zaman sekarang ini, jual beli bahkan tanpa hadirnya
salah satu orang tersebut bisa dilakukan seperti di Swalayan, Plaza, Mall, dan
sebagainya. Nah, dari persoalan ini bagaimana kedudukan hukum Islam menanggapi
sistem seperti ini agar jual beli itu sesuai dengan syari’at Islam. Untuk itu,
perlu adanya hukum asal/nash yang menerangkan jual beli. Diantaranya Q.S.
Al-Baqarah : 275 dan 282, An-Nisa’ : 29, Al-Jum’ah : 9.
“Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”
Prinsip dihalalkannya jual beli dari
ayat-ayat tersebut adalah adanya kerelaan antara kedua belah pihak, bukan
termasuk riba, tidak dilakukan pada waktu Jum’at, dan sebagainya. Fathurrahman
Djamil mengatakan bahwa “Ijab dan Qabul dalam jual beli adalah untuk
menunjukkan prinsip an taradhin. Ketika prinsip tersebut terpenuhi,
meski tanpa lafal ijab dan qabul seperti ketika masuk plaza, maka hukumnya
sah.”
C. Sistematis
Hukum Islam memiliki sifat yang
sistematis, artinya bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah ajaran yang
sangat bertalian. Beberapa diantaranya saling berhubungan antara satu dengan
yang lainnya. Contohnya saja wajibnya hukum shalat tidak terpisahkan dengan
wajibnya hukum zakat. Itu menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan aspek
kebatinan saja yang mengutamakan hal-hal ukhrawi tetapi juga diperintahkan
untuk mencapai aspek keduniaan.[5]
Al-Qur’an menyebutkan :
اعمل
لدنياك كانك تعيش ابدا واعمل لاخرتك كأنك تموت غدا
Artinya : “Bekerjalah kamu untuk
kepentingan duniawimu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah kamu
untuk kepentingan ukhrawimu seakan-akan kamu akan mati besok.”
Fathurrahman Djamil mengungkapkan
bahwa “hukum Islam senantiasa berhubungan satu dengan yang lainnya. Hukum Islam
tidak bisa dilaksanakan apabila diterapkan hanya sebagian dan ditinggalkan
sebagian yang lain.” Seperti halnya ayat di atas, kita dapat menganalisa bahwa
apabila kita hanya selalu beribadah untuk mencapai akhirat dengan mengabaikan
hal-hal keduniaan, pasti pencapaian tersebut tidak akan terwujud. Karena untuk
menuju kehidupan akhirat itu tentu kita harus menjalani kehidupan dunia ini.
D. Memperhatikan Aspek Kemanusiaan
dan Moral
Manusia merupakan mahluk sosial di
mana ia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan orang lain. Untuk itu
sifat tolong menolong merupakan hal yang wajib bagi setiap insan. Dalam hukum
Islam dikenal dengan istilah ta’awun, zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang
kesemuanya itu merupakan wujud kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi oleh
nilai-nilai hukum Islam.[6]
Ayat-ayat hukum yang menunjukkan bahwa kewajiban manusia untuk saling
tolong-menolong di jelaskan pada ayat berikut :
وتعاونوا
على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان
Artinya : “Bertolonglah-tolonglah
kamu atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong atas
(perbuatan) dosa dan permusuhan.
Sedangkan mengenai hukum
diwajibkannya zakat, dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 60, berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya shodaqoh
(zakat) itu diberikan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus
zakat, para muallaf, hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, untuk
memperjuangkan agama Allah (sabilillah), dan Ibnu sabil. Sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Yang kedua adalah aspek moral, untuk
membentuk suatu interaksi sosial kemanusiaan tentu manusia harus memiliki aspek
moral (akhlaq) yang baik. Karena untuk mewujudkan pergaulan yang sehat,
akhlaqlah yang menjadi pondasi utama. Bila akhlaq itu sudah terkontaminasi
dengan keburukan dan kemaksiatan, maka tidak akan mewujudkan suatu pergaulan
sosial yang baik dan nantinya juga dapat berimbas pada pelanggaran
aturan-aturan hukum positif. Dalam Al-Qur’an disebutkan :
Artinya :”Sesungguhnya pada (diri)
Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta banyak mengingat
kepada Allah.” (Q.S. Al-Ahzab : 21)
IV. KESIMPULAN
Dilihat dari berbagai karakteristik
hukum Islam yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek moral
(privat) pada hukum Islam yang mengikat pada setiap diri insan itu bertujuan
untuk kepentingan akhirat mereka. Berbeda dengan hukum positif yang hanya
mengedepankan aspek legal. Ini disebabkan, hukum positif hanya bertujuan untuk
menciptakan masyarakat yang aman dan tenteram dalam berkehidupan. Namun, hukum
Islam mengatur kedua hal tersebut.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
paparkan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami yakin dalam pemaparan
materi makalah ini masih ada banyak kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami
yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta
: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991
Djamil, Fathurrahman, Filsafat
Hukum Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997
Usman, Suparman, Hukum Islam, (Jakarta
: Gaya Media Pratama), .hal 64
Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Proyek Pembinaan dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama RI, 1987
[1] Dr. Muhammad Muslehuddin, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta
: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal 47
[2] DR. H. Fathurrahman Djamil, M.A., Filsafat
Hukum Islam, (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 49
[6] Filsafat Hukum Islam, Jakarta,
Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987, hal 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar