Seperti biasa Aku pergi ke sekolah naik Angkutan Sekolah yang bisa
menampung tiga puluh orang. Warna mobil yang biasa Aku tumpangi berwarna biru
langit. Di atas mobil tersebut berjejer tempat duduk dan bahkan jika tempat
duduk sudah muat ada juga yang berdiri terutama laki-lakinya. Aku bersama
dengan Mirna, Risna, Rahmia, Basma dan yang lainnya. Tak berapa lama kemudian
kami semua telah sampai di sekolah sebuah Pesantren yang letaknya sangat
strategis. Pada saat turun dari mobil angkutan sekolah diikuti oleh siswa dan
siswi yang lainnya.. Ada suara yang memanggilku setengah berteriak. Kulihat dia
memakai rok abu-abu baju putih dengan jilbab putih datang menghampiriku.
“Risa” Teriak Dani datang dari sebelah utara Pesantren dengan lari-lari
kecil.
“Eh, Dani baru sampai juga yah” jawabku menyambut kedatangan Dani.
“Tumben, cepat datang” Mirna juga ikut menyahut dan menoleh ke
Dani.
“Iya, kan anak rajin” Seru Dani sambil tersenyum tipis.
Merekapun
melangkah masuk di sebuah Pesantren yang bernama Darul I’tishan Embo. Letaknya
sangat strategis karena berada di perempatan di Desa Embo. Pesantren yang
tergolong baru. Di Pesantren ini ada beberapa kelas dan tempat asrama yang
disediakan bagi yang rumahnya jauh dan ingin nyantri ketika malam harinya.
Masyarakat setempat sangat antusias memasukkan anaknya ke Pesantren ini untuk
memperdalam ilmu agama disamping itu juga ada ilmu-ilmu umum yang diajarkan
dengan metode dan kurikulum yang ada disini Pesantren ini.
“Gimana jika sebelum pulang
kita ngumpul bareng” jawabku
“Ngapain, kira-kira apa rencanamu, Sa” desah Dani
“Ada aja, nanti kalian semua tahu jika kalian mau” jawabku lagi.
“Ok, deh” jawabnya dengan serempak.
“Aku duluan masuk ke kelas yach” kata Mirna sambil berlalu jalan
menuju ke kelasnya.
“Aku juga duluan masuk ke kelas, Bu guru sudah datang” seru Risna
Aku, Risna, Dani,
dan Mirna adalah sahabat semenjak kami pertama kali masuk di Pesantren ini.
Juga masih ada beberapa orang lagi. Persahabatan yang berlangsung selama tiga
tahun ini. Kami harus saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Walau
kami juga harus tahu bahwa tidak selamanya kami semua harus selalu bersama.
Namun, silaturahim tetap menjadi prioritas kami. Jika tidak, entahlah apa yang
akan terjadi.
Kata orang lebih
baik diputuskan sama pacar dibanding putus hubungan dengan sahabat. Sebab pacar
belum tentu setia dan mau berbagi seperti sahabat. Dan untuk menjalin sebuah
persahabatan akan lebih kuat dan sejati jika dilhat sebagai sesama makhluk
spiritual yang sama-sama ingin berdamai. Persahabatan tidak akan dapat abadi
jika hanya melihat aspek fisik belaka. Persahabatan akan lebih bernilai dan
abadi apabila di dasari oleh kesadaran spiritual. Sebuah kesadaran yang
menempatkan manusia pada derajat yang sama. Perbedaan tidak diukur dengan
kedudukan atau harta. Ukurannya adalah amal perbuatan. Bersahabatlah karena
perbuatan bukan karena hartanya.
Aku pun berharap
seperti itu persahabatan kami tetap langgeng hingga ajal menjemput kami. Aku
tak ingin hanya karena masalah sepele persahabatan kami terancam bubar. Itulah
yang selalu Aku hindari. Kami satu sama lain merasa saling kesepian jika tak
bertemu dengan mereka semua.
Tak
terasa tiga tahun kami disini sekolah di Pesantren ini ada banyak canda, tawa,
sedih, senang dan lainnya. Dinamika kehidupan terus berjalan tanpa henti. Bel
pulang telah berbunyi seperti janjiku tadi pagi untuk menyuruh mereka berkumpul
di kelas. Mereka semua telah datang.
“Terima kasih teman-teman telah menyempatkan untuk berkumpul”
jawabku datar saja.
“Aku punya rencana gimana kalau sebelum kita berpisah dari sekolah
ini untuk mengadakan pesta kecil-kecilan, lagian kita kan hampir tamat dan
boleh jadi setelah lepas sekolah kita semua jarang bertemu” Aku kemudian
utarakan dan menjelaskan kepada sahabat-sahabatku tentang rencanaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar