MATA
KULIAH : ULUMUL
HADITS I
DOSEN : Prof.Dr.H.Arifuddin
Ahmad,M.Ag
MAKALAH
“Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits”
Disusun Oleh:
Sandi Ibnu Syam
PENDIDIKAN ULAMA
TARJIH
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TAHUN 2013/2014
KATA PENGANTAR
Penulisan makalah yang bersipat sederhana ini, di buat
berdasarkan tugas kelompok yang di berikan oleh dosen pembimbing mata kuliah
Ulumul hadits yang berjudul sejarah perkembangan ilmu hadits.Dengan menucapkan syukur Alhamdulillah, kami semua dapat menyusun, menyesuaikan, serta dapat menyelesaikan sebuah makalah yang amat sederhana ini. Di samping itu, kami mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yan telah banyak membantu kami dalam menyelesaikan pembuatan sebuah makalah ini, baik dalam bentuk moril maupun dalam bentuk materi sehinggadapat terlaksana denan baik.
Kami, sangat menyadari sepenuh nya bahwa makalah kami ini memang masih banyak terdapat kekurangan serta amat jauh dari kata kesempurnaan. Namun, kami semua telah berusaha semaksimal mungkin dalam membuat sebuah makalah ini. Di samping itu, kami sangat mengharapkan kritik serta saran nya dari semua rekan-rekan demi tercapai nya kesempurnaan yang di harapkan di masa akan datang.
Makassar, 28 April 2013
Penulis , kelompok empat.
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………..…………………………………………
BAB 1. PENDAHULUAN
1,1. Latar belakang…………………………………………………..………………….
1,2. Tujuan penulisan………………………………………………..…………………..
BAB 2. PEMBAHASAN
2,1. Pengertian ilmu hadist…………………………………………………………..…
2,2. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist……………………………
2,3. Cabang-cabang ilmu hadist………………………………………………………
BAB 3. PENUTUP
3,1. Kesimpulan………………………………………………………………………..
3,2. Saran………………………………………………………………………………
BAB 1
PENDAHULUAN
1,1. LATAR BELAKANGPENDAHULUAN
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuai dengan keahlian masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan dengan hadits begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang membahas hadits Nabi juga begitu banyak.
1,2. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan tugas ini, yaitu :
- Untuk memenuhi kewajiban penulis terhadap dosen yang bersangkutan, dan
- Untuk menambah wawasan penulis mengenai sejarah perkembangan ilmu hadist dan cabang-cabangnya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2,1. PENGERTIAN ILMU HADITSPEMBAHASAN
Ilmu hadits (Ulum al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Secara etimologis, seperti yang telah diungkapkan oleh As-Suyuti, ilmu hadits adalah
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ إِتِّصَالِ اْلحَدِيْثِ بِرَسُوْلِ اللهِ ص. م. مِنْ حَيْثُ أَحْوَالِ رِوَاتِهِ ضَبْطًا وَعَدَالَةً وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَّةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَانْقَطَا عًا وَغَيْرِ ذلِكَ.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedhobitan dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya”.
Prof. Dr. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy yang dikutip oleh Abdullah Karim, mendefinisikan Ulum al-Hadits adalah ilmu-ilmu yang berpautan dengan hadits. Semua ilmu yang berkaitan dengan hadits, dapat diistilahkan dengan ilmu hadits, yang bentuk jamaknya adalah Ulum al-Hadits. Walaupun macam ilmu-ilmu hadits itu banyak, namun dapat dikategorikan pada dua rumpun ilmu, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
1. Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah artinya meriwayatkan, menceritakan, memindahkan. Menurut para ulama yang dikutip oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat adalah suatu macam ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan sifat-sifatnya. Karena ilmu ini sifatnya hanya mengumpulkan hadits-hadits saja tanpa memeriksa sah atau tidaknya yang orang sandarkan kepada Nabi SAW.
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi dalam bukunya Nawir Yuslem, bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah adalah:
عِلْمُ اْلحَدِيْثِ اْلخَا صُّ بِالرِّوَايَةِ عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى نَقْلِ أَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْتِهَا وَتَحْرِيْرِ أْلفَاظِهَا.
“Ilmu hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya”.
Definisi yang hampir senada juga dikatakan oleh Zafar Ahmad Ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam bukunya Qawa’id fi Ulum al-Haditsnya;
عِلْمُ اْلحَدِيْثِ اْلخَا صُّ بِالرِّوَايَةِ هُوَ: عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ أَقْوَالِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالُهُ وَ أَحْوَالُهُ وَرِوَايَتُهَا وَضَبْطُهَا وَتَحْرِيْرُأَلْفَاظِهَا.
“ Ilmu hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan , perbuatan dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya”.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ilmu hadits riwayah pada dasarnya membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Ilmu hadits riwayah ini sudah ada semenjak Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadits itu sendiri. Para sahabat Nabi SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadits Nabi, mereka berupaya untuk memperoleh hadits Nabi SAW dengan cara mendatangi majlis Rasul SAW serta mendengar serta menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau.
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadits riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam sebagai ulama pertama yang menghimpun hadits Nabi SAW, atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 H/717 M-102 H/720 M).
Adapun faedah dengan adanya ilmu hadits riwayah adalah
a. Supaya kita dapat membedakan mana yang orang sandarkan kepada Nabi SAW dan mana yang disandarkan kepada selain beliau.
b. Agar supaya hadits tidak beredar dari mulut kemulut atau dari satu tulisan ke tulisan yang lain tanpa sanad.
c. Agar dapat diketahui jumlah hadits yang orang sandarkan kepada Nabi SAW.
d. Agar dapat diperiksa sanad dan matan-nya sah atau tidaknya.
2. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.
Definisi yang lain seperti halnya yang diungkapkan oleh Izzuddin bin Jama’ah yang dikutip oleh M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi adalah:
عِلْمُ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَاْلمَتْنِ.
“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”.
Ibnu al-Akfani yang dikutip oleh Munzier Suparta mendefinisikan ilmu hadits dirayah sebagai berikut:
علم يعرف منه حقيقة الر واية وشروطها وأنواعها وأحكا مها وحال الرواة وشروطهم واصناف المرويا ت وما يتعلق بها.
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya”.
Yang dimaksud dengan:
- Hakikat periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya kepada sumber hadits atau sumber berita.
- Syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui al-Sama’ (pendengaran), al-Qira’ah (pembacaan), al-Washiah (berwasiat), al-Ijazah (pemberian izin dari perawi).
- Macam-macam periwayatan adalah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain.
- Hukum-hukum periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadits.
- Keadaan para perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
- Macam-macam hadits yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits yang dapat dihimpun pada kitab-kitab hadits.
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat rawi dan lain-lain. Dan ilmu hadits dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan ulumul hadits, musthalah al-hadits atau ushul al-hadits. keseluruhan nama-nama tersebut meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadits, dari segi diterima dan ditolaknya.
Ilmu hadits dirayah mulai dibahas pada pertengahan abad ke-2 H. Akan tetapi pada waktu itu masih belum merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Buku-buku yang berkaitan dengan ilmu ini antara lain ditulis oleh Aliy Ibnu al-Madini (161-234 H), al-Bukhari (198-252 H), at-Turmuzi (200-279 H). Ilmu ini mulai ditulis dalam sebuah buku secara khusus oleh al-Qadi Ibnu Muhammad ar-Ramahhurmuzi (265-360 H) dengan judul al-Muhaddis al-Fasil Bayn ar-Rawi wa al-Wa’iy. Kemudian disusul oleh al-Hakim Abu Abdillah Abu Abdillah an-Naysaburi (321-405 H), selanjudnya Abu Nu’aym al-Isbahani, berikutnya al-Khatib Abu Bakr al-Bagdadi (w. 463 H) dan lain-lain.
Adapun tujuan dan faedah ilmu hadits dirayah adalah:
1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits da ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Nabi SAW sampai sekarang.
2. Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits.
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4. Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam menentukan suatu hukum syara’.
Dengan melihat uraian ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah di atas, tergambarkan adanya kaitan yang sangat erat, antara yag satu dengan yang lainnya. Hal ini karena, setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaannya sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan hadits riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin ilmu hadits riwayahberdiri tanpa ilmu hadits dirayah, begitu juga sebaliknya.
2,2. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Ilmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Uraian berikut akan menitkberatkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi tiga periodesasi yaitu awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa kekininan.
1. Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebe Ketigatulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau.
Pada masa ini kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadits) yang menjadi cikal bakal ilmu hadits terutama ilmu hadits dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadits tersebut.
Pada masa Sahabat yang dimulai dari khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadits-hadits Nabi SAW. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:
a. Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
b. Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
a. Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
b. Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi, keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
c. Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.
Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadits menyangkut sanad maupun matan hadits semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah hadits, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadits, yaitu orang yang menyampaikan sebuah hadits harus bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang dibawanya.
Perinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab (15-94 H), Al-Hasan Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi (17-104 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Dalam catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para ulama-ulama berikutnya.
Kemudian muncul ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405 H), yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits, yang isinya membagi ilmu hadits menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), yang menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu hadits, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami’.
Setelah itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H) dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadits yang dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab At-Taqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Demikian perkembangan ilmu hadits pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang datang belakangan.
2. Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadits.
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadits dalam sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadits yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi. Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).
3. Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)
Perkembangan ilmu hadits abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadits dari ulama muhaditsin adalah Asy-Syaikh Thahir Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadits dan As-Sayid Jamaluddin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits fi Fununil Hadits, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya
Ulama kontemporer yang masih bergelut membahas dan mendalami ilmu hadits adalah Dr. Mahmud At-Thahhan dalam karyanya yang berjudul Taisir Musthalah Al-Hadits.
Demikianlah perkembangan ilmu hadits yang mengalami kemajuan dari waktu kewaktu untuk menjadi sebuah ilmu yang sempurna.
2,3. CABANG-CABANG ILMU HADITS
a. ilmu rijalil hadits ialah :
“Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari para sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya..”
Ilmu ini dipelajari dengan seksama karena hadits itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad.
b. ilmu jarihiwatta’adil ialah :
“ Ilmu yang menerangkan tentang hal-hal cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang pentakdilanya (memandang adil para perawi) dengan mamakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.”
c. ilmu fannal mubhamat ialah:
“ Ilmu untuk mengetahui nama-nama orang yang tidak disebut didalam matan atau didalam sanat.”
d. ilmu tashif wattahri ialah:
“ Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dirubah titiknya (yang dinamai mushaf) dan bentuknya yang dinamai muharraf.”
e. ilmu ilalil hadits ialah:
“ Ilmu yang menerangkan sebab–sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat merusak hadits.”
f. ilmu ghoribil hadits ialah:
“ Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui makananya dan kurang terpakai oleh umum.”
g. ilmu naskh wal mansukh ialah:
“ Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkanya.”
h. ilmu asbabi wurudil hadits ialah:
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi menuturkan itu.”
i. ilmu talfiqil hadits ialah:
“ Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan lahirnya.”
j. ilmu musthalah ahli hadits ialah:
“ Ilmu yang menrangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits).”
BAB 3
PENUTUP
3,1. KESIMPULANPENUTUP
Dari beberapa uraian di atas, yang telah kami bahas. Maka kami mengambil kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1. Ilmu hadits (Ulum al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Secara etimologis, seperti yang telah diungkapkan oleh As-Suyuti, ilmu hadits adalah
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ إِتِّصَالِ اْلحَدِيْثِ بِرَسُوْلِ اللهِ ص. م. مِنْ حَيْثُ أَحْوَالِ رِوَاتِهِ ضَبْطًا وَعَدَالَةً وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَّةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَانْقَطَا عًا وَغَيْرِ ذلِكَ.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedhobitan dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya”.
2. ilmu hadits riwayah pada dasarnya membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
3. Hakikat periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya kepada sumber hadits atau sumber berita.
4. Syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui al-Sama’ (pendengaran), al-Qira’ah (pembacaan), al-Washiah (berwasiat), al-Ijazah (pemberian izin dari perawi).
5. Macam-macam periwayatan adalah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain.
6. Hukum-hukum periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadits.
7. Keadaan para perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
3,2. SARAN
Sebagai penutup dari makalah ini, tak luput pula kami ucapkan ribuan terima kasih pada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah ini. Di samping itu, masih banyak kekurangan serta jauh dari kata kesempurnaan, tetapi kami semua telah berusaha semaksimal munkin dalam pembutan makalah yang amat sederhana ini. Maka, dari pada itu .kami semua sangat berharap kepada semua rekan-rekan untuk memberi kritik atau sarannya, sehingga dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi yan lebih baik, seperti yang kita harapkan.
Tiada kata yan dapat kami ucapkan, selain rasa terima kasih atas semua motivasi dari rekan-rekan sekalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar