Ibnu Syam (Ketua Umum PD IPM Jeneponto) |
Kisah ini bermula ketika Aku duduk dibangku MA
tepatnya di MA Muhammadiyah Tanetea di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Saat itu, Aku sedang mengendarai sepeda untuk meluangkan waktu sejenak setelah
seharian penuh belajar di kelas. Ini sudah menjadi kebiasaanku melakukan
touring ke kampung-kampung dengan naik sepeda hanya seorang diri dan kembali
pulang ketika matahari meninggalkan siang yang dihiasi warna kemerah-merahkan
di ufuk barat. Tiba-tiba HP-ku berdering pertanda ada orang yang menelpon. Aku
berhenti sejenak untuk mengangkat teleon. Ternyata yang menelpon adalah seorang
perempuan yang kira-kira seumuran denganku. Aku kira yang menelpon temanku
ternyata sepupunya ketika Aku tanya dan ia juga memperkenalkan dirinya bahwa ia
bersepupu dengan Nurjannah yang juga salah satu kader IPM.
Hari pun berlalu, perempuan itu selalu menelpon saya
untuk lebih kenal lagi. Hasilnya ia salah satu siswi di Pesantren Embo yang
juga sekolah di MA. Sekitar beberapa minggu kenalan dengannya Aku berniat untuk
ke sekolahnya bertemu dengannya. Kaki dengan siap mengayuh sepeda Aku kemudian
meluncur ke sekolahnya setelah Aku pulang dari sekolahku. Dibawah terik
matahari yang menyengat Aku tetap mengayuh hanya untuk bertemu dengannya. Boleh
jadi betul kata para pecinta, “Wujud dicinta wulan pun tiba”. Mungkin itulah
yang Aku rasakan sebagai seseorang yang menyukai seorang perempuan.
Akhirnya Aku sampai disekolahnya yang memang memakan
waktu bebepara menit sebab jarak antara rumah dan sekolahnya sekitar 1 km.
sesampainya disana aku tak mendapati dirinya disekolah lalu Aku menunggu hampir
satu jam dan Aku berniat pulang ke rumahku sebab telpon dan sms saya tidak
direspon. Aku pun bergegas memutar sepedaku untuk pulang ke rumahku tetapi
dalam perjalanan pulang HP-ku berdering tanda ada yang menelpon. Dengan sigap
Aku ambil HP-ku setelah berhenti dan mengangkat telpon ternyata yang ditunggu-tunggu yang menelpon.
Ia memberitahu Aku bahwa ia sedang tidak ada ditempat sehingga ia tidak
membalas smsku maupun tidak mengangkat telponku. Ia juga memberitahu Aku bahwa
ia sementara ada di rumahnya temannya.
Banyak kata pujangga yang Aku ucapkan padanya
melalui telpon maupun sms dan ia pun sering melakukan hal itu. Seiring
berjalannya waktu, Aku jadian dengannya tepat pada 5 November 2011 beberapa
tahun yang lalu. Inilah awal kami berdua menjalani masa-masa yang indah.
Masa-masa di mana seorang remaja yang ingin beranjak dewasa untuk saling
menyukai antara satu dengan lainnya. Satu hal yang ingin Aku tekankan bahwa kami
ingin berubah menjadi lebih baik indikatornya adalah melakukan hal-hal yang
baik dan bukan sebaliknya seperti orang yang pacaran pada umumnya. Ini kami
jalani sampai beberapa tahun hingga setelah Aku menginjakkan kaki di kota
Daeng.
Pagi-pagi buta Aku telah beranjak dari tidur untuk
menunaikan shalat subuh. Suasana masih terasa lengang sebab kebanyakan
manusia-manusia waktu subuh tidurnya terasa nyenyak sekali. Shalat subuh telah
Aku tunaikan saatnya siap-siap untuk mengikuti pelaksanaan Ujian Nasional di MA
Babussalam DDI Kassi. Ada beberapa Madrasah yang ikut nimbrung di MA Babussalam
DDI Kassi termasuk Madrasah yang ditempati oleh sang kekasih hati. Ujian
Nasional ini dilaksanakan bertujuan untuk sampai dimana kemampuan seorang siswa
dalam mengukur kecerdasannya dalam menjawab soal-soal yang terbagi atas dua
paket. Ini akan terasa sulit bagi mereka yang memang betul-betul tidak belajar
apalagi jika siswa diliputi rasa kecemasan yang tinggi apakah mereka lulus atau
tidak. Sehingga banyak kepala sekolah/madrasah ataupun guru pada sebuah
sekolah/madrasah mengambil langkah-langkah strategis agar siswa-siswinya lulus.
Selama mengikuti Ujian Nasional banyak pengalaman
yang bisa Aku dapatkan salah satu adalah kami semua yang satu Madrasah di MA
Muhammadiyah Tanetea kumpul bersama di Ujian Nasioanl ini yang selama masa-masa
aktif sekolah mereka jarang sekali masuk bahkan tidak sama sekali. Ada juga
yang memang sibuk membantu orang tua mereka atau hal lain yang mereka tidak
aktif mengikuti mata pelajaran di Madrasah. Di UN ini kami bisa bersua dengan
bercanda ria mengikuti UN ini dengan gembira walaupun ada di antara kami yang
cemas tidak lulus sebisa mungkin kami lawan. Bahkan ada teman-temanku yang
saling menyukai akibat dari pandangan pertama selama UN ada juga yang ditolak
mentah-mentah. Dunia pelajar seperti itu pacaran sesame satu atap yang lebih
kerennya disebut sebagai cinlok (cinta lokasi) ada juga bukan sesama mereka salah
satunya adalah Aku sendiri dan mereka yang sedang dirundung cinta.
Setiap pagi Aku ke tempat UN naik Pete-Pete
(Mobil Angkutan Umum) yang ada di Jeneponto lalu lalang di jalan raya yang
mempunyai arah tujuan ke Makassar ada juga yang hanya sampai di Perbatasan
Takalar. Benda itu Aku sebut sebagai Kuda besi berwarna merah dan biru berplat
warna kunig dengan model mobil yang berbeda-beda. Mobil pete-pete ini
biasanya mengangkut siswa, pedagang, pegawai dan lain-lain sebagainya. Mobil
pete-pete ini terkadang dicarter jika ada rombongan, diantaranya ada pesta
pernikahan, wisata rekreasi, dan lain-lain. Terkadang juga mereka kurang sekali
mendapatkan pendapatan hasil dari mobil tersebut. Inilah siklus kehidupan
banyak warna warni di dalamnya. Sebagai manusia hanya bisa berusaha sekuat
tenaga dan pikiran dan penentu dari semua itu adalah Allah swt.
Banyak diantara manusia yang lalai mengingat Allah
swt. padahal kita tahu bersama bahwa yang memberikan kita hidup, rezeki,
kesempatan, kesehatan dan lain sebagainya itu semua karena ada Allah swt yang
senantiasa memberikan rahmatnya kepada manusia. Namun, seperti dalam bahasa
Indonesia ada kata antonym yang berarti lawan kata. Banyak juga manusia yang
bersyukur atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Dengan melaksanakan
kewajibannya sebagai makhluk ciptaan Allah swt. jangan karena selalu mencari
harta hingga Tuhan yang memberikan kita hidup, rezeki kita lupakan. Jika
demikian maka Allah akan melupakan diri pribadi kita itu semua tertuang dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Siapa pun yang pernah ke Makassar akan mengenal pete`-pete`, entah
ia pernah menaikinya atau sekadar melihatnya menepi untuk menaikkan atau
menurunkan penumpang, atau sekadar menyaksikan pete`-pete` menyusuri jalan raya
di Kota Daeng. Tapi tidak, pete`-pete` tidak hanya terlihat namun juga terdengar
sebab mode transportasi darat warga Kota Coto ini biasanya dilengkapi
dengan sound system yang memuntahkan musik dalam volume yang nyaring.
Juga pete`-pete` tidak berhenti terbaca di koran lokal dan running
text TV lokal sebab pete`-pete` adalah entitas yang selalu ingin
diantisipasi oleh kekuasaan politik melalui wacana dan praktik perencanaan
kota.
Bentuk pete`-pete` telah banyak mengalami perubahan, sekarang
bentuknya mirip kapsul dengan 3 pintu yang terdiri dari 2 pintu di sisi kanan
dan kiri bagian depan badan pete`-pete` dan 1 pintu di bagian tengah sebagai
lubang gerbang penumpang naik dan turun. 2 pintu di depan digunakan oleh sang
supir pada bagian kanan dan penumpang pada bagian kiri untuk naik atau turun
pete`-pete` sekaligus celah yang digunakan oleh semua penumpang membayar tarif
kepada sang supir. Selain sang supir dan para penumpang, tak ada lagi subjek
lain di atas/di dalam pete`-pete`, sebab tidak ada kondektur/karnek/knek
pete`-pete`; penumpang membayar tarif pete`-pete` langsung kepada sang
supir.
Secara etimologis, penamaan pete`-pete` hingga hari ini adalah
strategi linguistik untuk melawan pelupaan; pada awalnya mode transportasi
darat yang muncul pada pertengahan 1980 ini tidak memiliki nama yang jelas.
Pete`-pete` adalah nama bagi uang receh yang digunakan oleh para penumpang
untuk membayar jasa sang supir karena telah menjual mobilitas geografis yang
bisa menghemat waktu dan tenaga para penumpang. Lambat laun, nama pete`-pete`
pun lekat bukan sebagai sebentuk uang logam minim harga namun sebagai nama bagi
sebentuk kendaraan yang membantu warga Kota Makassar agar bisa bergerak lebih
jauh menyusuri kotanya. Bagi saya ini adalah strategi berbahasa untuk melawan
lupa dengan cara mengalihmaknakan pete`-pete` dari maknanya sebagai uang receh
menjadi kendaraan umum bertarif ekonomis. Dengan cara ini maka kata pete`-pete`
tetap tinggal dibenak pengguna meskipin telah beralih makna secara radikal.
Itulah sekilas informasi tentang mobil “pete-pete” yang
sering digunakan oleh masyarakat umum dalam bepergian. Tentunya ada sejarah
tersendiri mengapa mobil “pete-pete” dinamakan seperti itu. Hmm, hampir
Aku lupa bahwa dalam tulisan ini kan yang Aku bahas tentang kekasihku kenapa
jadi begini. Ok. Baiklah Aku lanjutkan perjalanan ceritaku bersama sang kekasih
yang pernah bersemayam di hatiku. Rentetan demi rentetan perjalananku. UN telah
usai dan sisa menunggu hasil pengumuman. Daripada ke sekolah tidak belajar juga
mendingan Aku ikut nasehat dari Ibu untuk bekerja pada sepupu ipar yang juga
seorang kontraktor diberbagai kabupaten. Jaringan usahanya luas dan beliau
mendapat beberapa kepercayaan dari perusahaan untuk mengelola kontraktor dari
beliau punya pengalaman pasang surut dalam menekuni aktivitasnya sebagai
kontraktor.
Masih basah diingatanku Aku akan bekerja sebagai buruh dalam sebuah
proyek yang dikelola oleh Dg. Baso suami Dg. Ina. Awalnya Aku bekerja di Kota
Pare-Pare selama beberapa hari dan akhirnya Aku ikut bersama dengan beberapa
Tukang Batu dan buruh naik mobil hingga akhirnya kami sampai di Sidrap tepatnya
di Kampung Tanru’ Tedong yang beberapa kilometer lagi sampai diperbatasan
antara Kabupaten Sidrap dan Wajo. Aku bekerja sebagai buruh galian yang akan
dijadikan sebagai pondasi jaraknya sekitar 4-5 m di pinggir jalan provinsi. Aku
bekerja disini selama kurang lebih satu bulan lamanya. Setiap pagi jam 8 masuk
kerja dan pulang sekitar jam 5 sore. Ada banyak pengalaman yang Aku petik dari
bekerja sebagai buruh bahwa betapa sulitnya mencari pekerjaan yang bisa
menutupi kebutuhan keluarga dan perjuangan yang keras dan harus mampu kuat
secara tenaga. Selama di Sidrap Aku dinasehati oleh Dg. Baso untuk tetap saja
bekerja sebagai buruh galian. Jika dipikir-pikir sih tidak salah karena melihat
kondisi keluargaku yang dari kecukupan sehingga itu menjadi alasan ditambah
oleh Ibu dan nenek Aku untuk tetap saja bekerja sebagai buruh bahkan menjadi
Tukang nantinya. Tetapi tidak bisa Aku pungkiri juga bahwa Aku ini mempunyai
secerca harapan dan cita-cita besar. Aku akui bahwa selama berada di Sidrap
hati dan pikiranku melayang-layang entah kemana seperti laying-layang yang
terbang atau seperti burung merpati yang elok dipandang sementara terbang ke
angkasa tinggi mencari sesuatu. Ak tanamkan dalam diriku untuk bisa melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi lagi.
Aku pernah membayangkan bahwa Aku sementara menanjaki sebuah gunung
yang tinggi dan Aku telah berada di tengah-tengah gunung dan tentunya Aku tidak
boleh turun dan tetap menanjaki gunung hingga sampai ke puncaknya. Apalagi
pesan dari Kepala SMPN 1 Tamalatea ketika selesai UN pada saat Aku masih SMP,
beliau pernah mengatakan dihadapan para siswanya bahwa jangan pikirkan
bagaimana satu atau dua tahun ke depan tetapi pikirkanlah bagaimana kehidupanmu
sepuluh tahun yang akan datang. Tentunya ini sebuah kalimat yang mampu
menggugah siapa saja yang mendengarnya. Aku salah satu dari sekian banyak siswa
menyimpan kalimat bijak itu di memori jangka panjangku untuk selalu mengingat
kalimat itu.
Dengan persiapan untuk bertemu dengan kakanda Ahmad untuk
membicarakan apakah Aku akan lanjut di salah satu perguruan tinggi yang beliau
maksud. Tetapi pada akhinya Aku tidak pernah bertemu dengan beliau hanya lewat
telpon saja. Hingga suatu ketika ada kegiatan Pelatihan Kader Dasar Taruna
Melati I (PKD TM I) di SMK 8 Jeneponto disana Aku menjadi panitia pada kegiatan
tersebut dan mendapat kabar ada pendaftaran di Unismuh Makassar lewat
Pendidikan Tarjih Muhammadiyah yang dibiayai oleh Unismuh hingga selesai
kuliah. Saat itu hadir Sekretaris PDM Jeneponto di SMK 8 Jeneponto untuk
memberikan motivasi untuk lannjut kuliah disana dan ada juga orang Jeneponto
yang sementara kuliah disana.
Singkat cerita Aku pun telah mendapat rekomendasi dari PDM
Jeneponto bersama Rusli ke Makassar untuk ke Unismuh Makassar mendaftar sebagai
Mahasiswa baru. Kami berdua berangkat dengan apa adanya hanya bermodalkan sewa
mobil pergi dan pulang sebab kami targetkan akan nginap Cuma dua hari saja
setelah itu balik lagi ke Jeneponto. Betul kami Cuma dua hari di Makassar Aku
dan Rusli balik lagi karena persiapan yang kami bawa belum lengkap dan kami
memang hanya mendaftar saja dulu. Kota Daeng begitu elok orang lalu lalang
jalanan macet dengan polusi udara yang beterbangan Aku termenung di lantai 4
Rusunawa C tempat dimana Aku tinggal dan belajar nantinya.
Kami berdua yang sejak kecil bersahabat tetap menjaga kebersamaan
walau memang kami harus akui banyak perbedaan di antara kami berdua tetapi
bukan berarti tidak menyurutkan semangat dan saling larut dalam permasalahan.
Semenjak itu pula Aku dan Rusli resmi menjadi Mahasiswa di Unismuh Makassar.
Dan harus diketahui bahwa di antara semua satu kelasku di MA Muhammadiyah
Tanetea Jeneponto hanya kami berdua yang mampu melanjutkan pendidikan ke
Perguruan TInggi Swasta milik Amal Usaha Muhammadiyah. Ada banyak dinamika yang
kami lalui sewaktu mengikuti perkuliahan di Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah (PUTM) Unismuh Makassar. Selama tiga setengah tahun kuliah hanya
Aku sendiri yang sampai finish dan wisuda di Balai Sidang Muktamar 47 Muhammadiyah
Unismuh Makassar. Temanku Rusli gugur ditengah jalan sebab ada sesuatu hal. Dan
saat itu pula Aku menjadi Ketua Umum Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar
Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto.
Aku dan kekasihku pun hubungan kami tidak baik lagi karena membuat
Aku sangat kecewa dengan apa yang dilakukannya. Malam itu Aku tiba-tiba
ditelpon dan memberitahukan kepadaku bahwa ia mempunyai kekasih lain selain
dariku. Dan bukan hanya itu hal ini diluar dugaanku Aku awalnya tidak percaya
tetapi ia dengan meyakinkanku dengan apa yang sebenarnya terjadi. Sesuatu itu
adalah bahwa ia telah melakukan hubungan diluar nikah dengan seorang lelaki dan
ia mengatakan tidak perawan lagi. Ini hal tidak Aku terima selama ini dengan
gigih Aku pertahankan hubungan jarak jauh kami sebab Aku menimba ilmu. Walau
banyak perempuan yang datang menghampiri. Padahal sepupu dan keluarganya telah
ketahui bersama setelah kelulusanku Aku berniat untuk melamarnya. Tetapi
sia-sia saja apa yang Aku lakukan selama ini. Bukan hanya itu, ia Aku anggap
sebagai pengisi waktu kosongnya saja. Apakah ia tidak paham dan punya
pengertian bahwa Aku juga mempunyai kesibukan kuliah di Makassar.
Daripada Aku larut dalam masalah ini Aku kuatkan hatiku untuk tetap
semangat bahwa masih banyak perempuan lain lagi yang lebih baik lagi. Apakah
ini suatu jalan untuk mencari pendamping hidup di taman sendiri sebab akan
lebih paham lagi jika nantinya Aku mempunyai kesibukan di semua kegiatan
Muhammadiyah. Hingga detik ini Aku tetap teguh pendirian untuk tidak lagi
mengenal yang namanya “Pacaran”. Yah… inilah adalah salah satu bagimana agar
IPM di Jeneponto dan Muhammadiyah secara keseluruhan itu tetap terjaga. Apalagi
Aku diberi amanah sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar
Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto tentu sangat riskan jika Aku “pacaran” dengan
perempuan baik itu kader maupun bukan itu menjadi salah satu pemicu kehancuran
sebuah organisasi. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk untuk
tidak lagi mengenal kata “pacaran” sebelum suatu kelak nanti mendapatkan
pendamping hidup yang mau menerima Aku apa adanya dengan segala keterbatasan
dan kesederhanaan.
Kekasihku, jika Aku pernah mengikrarkan sebuah janji suci untuk
meminang kelak saat selesai kuliahku. Dan semua keluargamu telah tahu termasuk
sepupumu. Tetapi, entah mengapa 180 derajat terbalik dengan semua yang
kuperjuangkan selama ini. Okelah kamu menganggapku seorang pengecut, munafik,
atau apapun yang kamu katakana. Aku juga telah tahu bahwa semua keluargamu
kecewa dengan keputusanku. Semua itu Aku tahu dapat informasi darimu. Sekali lagi,
kekasihku itu tidak dapat merubah keputusanku. Bahkan Aku tidak mau lagi
mendengar bahkan melihat dirimu saja Aku sudah tidak mau lagi bertemu denganmu.
Bahkan ketika di hari kebahagiaanku tepat pada 27 Agustus 2016, Aku dan di
antara ratusan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar di Wisuda dan
beberapa orang se angkatanku di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Unismuh
Makassar.
Aku tak membiarkanmu hadir walau jarakmu tinggal beberapa ratus
meter lagi. Aku tak sudi lagi bertemu denganmu walau kamu memelas meminta
bertemu dan foto bersama denganku di Wisudaku ini. Dan nyatanya memang kamu
tidak datang itu kesyukuran buatku. Aku hanya tak ingin mengenang masa pahit
yang Aku rasakan saat denganmu. Dan Alhamdulillah Ibuku dan kedua adikku hadir
termasuk Riska Asmasari teman Adikku Isma datang untuk hadir di wisudaku saat
Aku memberitahukan bahwa Aku di wisuda, Riska datang dengan sepupunya yang jika
tidak salah seumuran dengan Adikku Erna.
Kekasihku, maafkan Aku jika selama ini khilaf dan Aku tidak bisa
melanjutkan apa yang pernah Aku ikrarkan. Jika keluargamu kecewa Aku terima
dengan penuh keikhlasan. Apapun yang terjadi suatu kelak. Itu urusanmu bukan
urusanku. Dan carilah orang lebih baik lagi daripada Aku ini. Jika engkau
kecewa denganku semua itu akan sirna suatu saat nanti kebenaran akan terlihat. Dan
Aku yakin keluargamu akan kecewa jika tahu semua ini. Entah kapan dan dimana
mereka tahu biarlah waktu yang menjawab semua itu. Apakah melalui tulisanku ini.
Ataukah ada hal yang lain. Aku hanya berusaha menutupi semua itu dengan menjauh
darimu. Walau pernah juga Aku utarakan bahwa dalam shalat istikharahku engkau
cenderung dalam ada dalam setiap ingatanku yang menandakan engkau menjadi
pendamping hidupku. Tetapi, harus diingat semua itu dengan ikhtiar dan doa. Apakah
kelak bersatu atau tidak hanya Allah yang tahu. Sekarang dan sampai kapanpun
itu rasa kekecewaanku masih ada dalam hatiku jika mengingat dan namamu disebut.
Kekasihku, sekali lagi maafkan Aku tidak meneruskan apa yang telah
aku ikrarkan sejak itu. Biarlah itu menjadi kenangan bagi kita berdua. Menjadi kenangan
terindah. Satu lagi, Aku pernah membaca sebuah kalimat di Mushallah SMAN 2
Binamu yang sekarang berubah menjadi SMAN 3 Jeneponto. Kalimat itu “masa sulitmu
hari ini menjadi cerita indah ketika suksesmu nanti”. Kalimat itu dicoret di
tembok bagian bawah dinding Mushalla yang saat melihatnya Aku senantiasa
mengingat semua masa sulitku dan mudah-mudahan itu menjadi inspirasi bagi suatu
kelak nantinya.
Akhirnya, Aku hanya ingin menyampaikan bahwa tulisanku ini sekedar
menjadi penenang hati, pelepas penat dan sebagai bahan renungan untuk diriku
yang pernah mengenal seseorang yang kesebut ia dengan sebutan dalam tulisanku
ini dengan kata “kekasih” agar pemaknaannya biasa-biasa saja. Aku menuliskan
kisahku ini bersama kekasih yang bercokol di hatiku, kini tak ada lagi dia bersandar
didekatku. Seperti dalam buku Boy Candra “Senja, Hujan dan Cerita yang telah
usai” buku tersebut menceritakan tentang seseorang pernah saling jatuh cinta
tetapi pada akhirnya terjadi perpisahan antara keduanya. Boleh jadi, hal itu
terjadi dengan apa yang Aku alami saat ini.
Tulisan di atas sebenarnya ingin Aku kirimkan kepada Rumah Baca
Ikatan yang pernah mengadakan sayembara tulisan kepada seluruh kader
Muhammadiyah dan simpatisan Muhammadiyah beberapa bulan yang lalu. Mereka (baca:
Rumah baca Ikatan) mengambil tema sentral “Mengapa Aku Muhammadiyah” lewat
Facebook group PP IPM yang dibagikan. Dan saat membuka Aku pikir-pikir bisa
juga menyumbangkan sebuah tulisan pengalamanku dalam ber Muhammadiyah. Lalu saat
mengajar di SMAN 3 Jeneponto dihadapan semua siswaku Aku utarakan pengumuman
bagi mereka yang berminat menulis. Aku membacakan semua item-itemnya secara
rinci yang Aku copy paste dari Facebook group PP IPM ke dalam Microsoft word
lalu Aku simpan di dokemen dalam Notebook ini.
Alhasil sampai detik ini tulisan ini belum selesai-selesai Aku
tulis boleh jadi penyakitku kambuh lagi “malas” atau ada kesibukan lain
sehingga untuk menyempatkan menulis ini sangatlah susah. Namun, yang pasti
sampai detik ini juga virus untuk terus menulis semakin tinggi untuk bisa
membuat sebuah karya yang mampu dibaca oleh orang lain. Jika demikian, ada
sesosok yang menginspirasi Aku ini untuk terus menulis. Dia juga seorang kader
IPM Jeneponto yang sementara menimba ilmu di Universitas Negeri Makassar. Saat memberikan
bukunya “Pelangi Bertasbih di SMA” lewat Adikku Isma ia menyisipkan secarik
kertas isinya sebuah pesan untukku agar setelah membaca bukunya dan tulisannya
dalam buku tersebut untuk bisa berkarya juga seperti beliau ini. Dalam secarik
kertas tersebut ada tanda tangan dan namanya tetapi bukan nama aslinya kusebut
sesosok itu dengan sebutan “khumairah”. Ya itu nama dalam secarik kertas tersebut.
Hinnga kini masih kusimpan rapi di antara himpitan tulisan yang jika membacanya
seperti kea lam lain.
Aku hanya mampu berucap terima kasih banyak untuknya memberikan
inspirasi dalam menuliskan huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi
kalimat, paragraph demi paragraph menjadi sebuah lembaran-lembaran. Aku harus
akui bahwa Aku bukanlah seorang penulis handal yang mampu menciptakan sebuah
kata yang teramat indah yang mampu mempengaruhi orang lain dengan cara
pandangku. Tulisanku ini biasa-biasa saja. Aku hanya berusaha menulis sedikit
demi sedikit jika Aku bergairah untuk menulis sebuah tulisan yang mampu dibaca
oleh orang lain.
Satu lagi sebagai penutup dari tulisanku ini Aku mengutip dari buku
Tere Liye, “Kau, Aku dan Sepucuk Surat Angpau” mengisahkan seorang bujang
bernama Borno dengan perempuan yang ia kagumi. Di buku tersebut ada seorang
tokoh pemeran yang bernama Pak Tua (baca: Pak Hidir) yang senantiasa memberikan
kepada Borno tentang arti kehidupan dan cinta. Pak Tua tersebut menceritakan pengalamannya
dengan temannya sepasang suami istri yang sama-sama buta yang bernama Fulan dan
Fulani. Di akhir ceritanya Pak Tua kepada Borno menggambarkan kedua temannya
tersebut bahwa cinta adalah perbuatan. Tulisan dan kata-kata indah semua itu
omong kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar